“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melakukannya Tanpa Ragu
“Cincinnya... hilang.”
Meski ada sesuatu yang yang menegang di dalam dadanya, namun Alan berusaha menjaga raut wajahnya tetap tenang saat menjawab pertanyaan Lira.
“Tapi, Mas... itu kan cincin pernikahan kita.” Ada kekecewaan yang tergambar jelas di wajah wanita itu. Padahal cincin itu adalah simbol penting pernikahan mereka.
Alan menarik napas perlahan. “Maafin aku, Sayang. Mas sungguh tidak sengaja menghilangkannya. Aku juga baru sadar kalau cincin itu setelah sampai di tempat orang yang menolong waktu itu.”
Lira terdiam, berusaha memahami situasi. Ia lalu tersenyum tipis menatap jemari Alan yang kosong, seolah berharap cincin itu akan tiba-tiba muncul kembali di sana.
“Sayang sekali...” gumam Lira lirih, rasa kecewanya masih belum sepenuhnya menghilang. “Padahal Mas sendiri yang pilih cincin itu dulu.”
Alan tersenyum tipis, berusaha menenangkan hati Lira. “Nanti Mas ganti, ya,” ujarnya lembut. “Kita buat cincin baru yang lebih bagus dari yang dulu.”
Alan menatap istrinya. Ada rasa bersalah dalam dadanya karena telah berbohong pada Lira. Yang sebenarnya terjadi adalah, ia memang sengaja melepas cincin pernikahan itu tepat sesaat setelah ia duduk di hadapan pemuka agama yang menikahkannya dengan Tara.
Seingatnya ia menyimpan cincin itu di saku celana yang dipinjamkan Arif padanya, karena saat itu celana miliknya sobek parah akibat peristiwa berdarah itu.
Ia melakukan itu karena tidak ingin ada kesalahpahaman yang lebih besar, tak ingin siapapun di desa itu tahu bahwa ia sebenarnya telah beristri. Jika sampai warga esa saat itu tahu, mungkin nasibnya dan Tara akan lebih kacau lagi, karena bisa dituduh berselingkuh.
Dan bukan hanya cincin pernikahan mereka saja yang ia lepaskan dari jarinya malam itu.
Bahkan cincin perak polos peninggalan ibunya yang biasa tersemat di jari tengah tangan kirinya, malam itu tanpa pikir panjang ia lepas untuk kemudian ia pasangkan sendiri di jari manis Tara. Bukan karena ia ingin melakukannya, tapi lebih karena keadaanlah yang memaksanya.
Lira akhirnya mengangguk kecil diiringi senyuman tipis. Ia berusaha menerima keadaan itu. Karena yang terpenting sekarang adalah suaminya telah kembali dengan selamat ke sisinya.
Ia lalu mengamit lengan Alan, mengajak suainya itu masuk.
“Rico, hubungi dokter Damian sekarang. Minta dia untuk memeriksa kondisi Mas,” ujarnya menoleh sebentar ke arah Rico.
“Baik, Nyonya,” jawab Rico mengangguk.
Lira juga meminta kepala pelayan untuk menyiapkan makanan kesukaan Alan begitu mereka tiba di dalam rumah. Ia berfikir pasti beberapa hari tinggal di desa, suainya itu pasti kurang mendapatkan asupan gizi.
Begitu keduanya berada di dalam kamar, Alan duduk di tepi ranjang, melepas dua kancing atas kemejanya. Ia merasa lelah setelah perjalan panjang yang baru saja ia lakukan.
Lira mendekat, dan dengan cekatan membantu Alan melepas kemeja yang sudah kusut itu sembari menatap wajah suaminya yang tampak letih dengan beberapa bekas luka goresan di bagian pipi dan juga pelipis.Namun ketika ia hendak melipatnya, Lira merasa ada sesuatu di saku kemeja itu.
Ia merogohnya dan mengeluarkan sebuah amplop kecil yang tampak usang. Ia menatap benda itu heran seraya memandang suaminya. “Mas, ini apa?” tanyanya.
Alan yang tadinya hendak berbaring mengurungkan niat, lalu menoleh ke arah Lira. Meski wajahnya sempat menegang, namun selanjutnya ia tersenyum samar. “Oh, itu... itu pemberian pria yang telah menolongku,” jawabnya datar.
Lira menatapnya sejenak, kemudian membuka amplop itu tanpa banyak pikir.
Untuk beberapa saat lamanya ia terdiam menatap isi di dalamnya, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Mas, ini... mereka memberimu ini?”
Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh yang jumlahnya sangat tak seberapa itu dan menunjukkannya pada Alan.
Alan hanya mengangguk pelan, enggan menjelaskan lebih jauh.
Lira menatap lembaran uang di tangannya lagi, ia pun sempat terkekeh kecil. “Ya ampun, Mas... ini... ini lucu sekali. Seorang Alan Hardinata, pemilik perusahaan dengan aset triliunan diberi amplop berisi uang recehan yang bentukannya saja sudah tidak layak disebut uang.”
Namun tawanya mereda ketika menyadari Alan menatap tajam ke arahnya. “Aku tidak bermaksud menghina, sayang. Aku hanya... terkejut saja,” ujarnya meralat ucapan.
Alan menghela napas, kemudian tersenyum tipis ke arah istrinya. “Kamu simpan saja di laci. Anggap saja sebagai kenang-kenangan.”
Lira mengangguk, memasukkan uang lusuh itu kembali ke dalam amplop lalu meletakkannya di laci nakas.
Ia lalu mendekati Alan lagi lalu memeluk pria itu dengan manja. “Aku kangen Mas,” ujarnya seraya mengecup rahang suaminya.
Alan membalas pelukan itu, jemarinya terulur menelusuri rambut panjang Lira dengan gerakan lembut. “Mas juga sangat merindukanmu,” sahutnya sebelum mengecup kening wanita itu.
Lira menutup mata menikmati sentuhan itu, ada kehangatan yang merayap di dadanya.
Ia lalu menongak, menatap wajah suainya yang begitu dekat. “Mas jangan pergi lama-lama lagi, ya. Aku takut kehilangan Mas,” bisiknya meminta.
Alan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap mata istrinya dalam diam, lalu menunduk sedikit mengecup bibir wanita itu dengan lembut.
Seperti biasa Lira akan langsung membalasnya dengan penuh perasaan. Ciuman mereka berlanjut, lembut dan sarat makna, seolah keduanya ingin melepaskan semua kerinduan yang mereka rasakan saat itu juga.
Keheningan kamar perlahan berubah menjadi keintiman yang hangat. Tidak ada kata yang terucap, hanya napas yang saling berpadu dan sentuhan yang saling mencari.
Saat akhirnya keintiman itu mereda, Alan berbaring setengah miring seraya memandangi wajah lelah Lira yang kini terlelap di sisinya. Dengan gerakan hati-hati tangannya terulur menyibak beberapa helai rambut Lira yang menempel di pipi dan menyelipkannya ke belakang telinga.
Sekilas ia tersenyum. Ada rasa lega di hatinya ketika akhirnya ia bisa kembali pulang, memeluk kembali wanita yang dicintainya, serta meninggalkan kekacauan yang sempat menahannya di desa Cimara, dan juga meninggalkan seseorang di sana yang tak seharusnya masuk dalam kehidupannya.
Seketika Alan jadi teringat kembali pada cincin pernikahan miliknya yang entah kenapa dengan begitu ceroboh ia meninggalkan benda itu di sana. Untungnya, meskipun terlihat kecewa, Lira mau menerima kebohongannya dan tidak lagi mempermasalahkan hal itu.
Alan menghela napas. Sekali lagi ditatapnya wajah Lira yang masih terlelap. Jika ia harus berbohong untuk melindungi kedamaian ini, maka ia akan terus melakukannya tanpa ragu.
Alan bangkit perlahan dari ranjang. Setelah mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, ia kemudian melangkah keluar menuju ruang kerjanya yang berada tepat di sebelah kamarnya.
Begitu pintu tertutup, ekspresi Alan berubah, wajahnya yanga terlihat lembut saat menatap Lira kini digantikan oleh sorot yang dingin dan tegas.
Alan menyalakan ponselnya lalu menghubungi Rico, asistennya.
“Siapkan semuanya sekarang juga, Ko. Aku ingin melihat siapa saja yang berani bermain-main denganku.”
Telepon terputus. Alan menyandarkan punggungnya di kursi lalu memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras sedang kedua tangannya terkepal di atas lengan kursi. Dalam hati ia bertekad, tidak akan mengampuni siapapun yang terlibat dalam insiden hari itu.