Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
“Apa ini ada hubungannya sama Caca?” selidik Saka sambil menatap tajam sepupunya.
Marvin menoleh dan membalas tatapan Saka dengan tatapan dinginnya, Saka tahu dibalik tatapan dingin itu ada sesuatu yang kembali runtuh.
Ketukan dipintu membuat Marvin mengurungkan niatnya membuka suara, dengan cepat ia meminta siapapun di balik pintu itu untuk masuk.
Seorang office girl masuk membawakan dua cangkir kopi dan meletakkannya di meja kaca tepat di hadapan Marvin dan Saka. Saka mengucapkan terima kasih dan menunggu office girl itu meninggalkan mereka. Setelah mengangguk hormat, office girl itu melangkah dan menghilang dibalik pintu ruangan Marvin.
“jadi?” tanya Saka, kembali menunggu jawaban dari Marvin.
Marvin mengambil cangkir dihadapannya dan sedikit menyesap kopi hitam itu. “Fani membuntuti gue dan Caca minggu lalu.” Tutur Marvin memulai ceritanya, setelah berpikir keras ia rasa bercerita pada Saka bukanlah hal yang buruk.
“Fani?” Saka menyipitkan matanya tidak mengerti apa hubungan sikap Marvin dengan Fani. “untuk apa dia membuntuti kalian?”
“Menjatuhkan Caca.” Jawab Marvin singkat sambil kembali menyesap dan menikmati kopinya. “Malam itu gue menyadari satu hal, Caca sedang dalam kondisi yang tidak baik di kerjaannya dan semua karena gue.” Lanjut Marvin lagi.
Akhirnya Marvin menceritakan semua kejadian malam itu pada Saka. Mulai dari makan malam, kemunculan Fani, ia yang mengetahui bahwa karir Bianca sedang tidak baik-baik saja karena dirinya, kekhawatiran akan kehilangan Bianca baik sebagai Psikolog maupun wanita yang ia cintai, pengakuannya dan penolakkan Bianca sampai pada akhirnya ia meminta Leo menemaninya minum. “Bahkan gue gak tau Ka, gue menyesal apa engga melakukan hal yang justru membuat hubungan ini semakin jauh.”
Saka sedari tadi hanya diam menyimak setiap kalimat yang terlontar dari mulut sepupunya itu, ada sedikit senyum tipis mengembang secara samar ketika tahu Marvin ditolak oleh Bianca namun segera disembunyikan oleh pemuda itu. Sepanjang ia memerhatikan sepupunya bercerita, ada satu hal yang Saka sadari, Marvin sudah mau menceritakan masalahnya meski terlihat sangat dipaksakan oleh pria itu.
“Jadi sampai hari ini kalian belum ada komunikasi lebih lanjut?” Marvin menggeleng menanggapi pertanyaan Saka, “terus lu gak datang untuk konsultasi?” sekali lagi Saka melontarkan pertanyaan dan kembali dijawab dengan gelengan kepala oleh sepupunya itu.
“gue mau tahu, dia bakal nyari apa engga.” Sahut Marvin berusaha terlihat santai walaupun Saka tahu Marvin sedang menekan sesuatu dalam dadanya. “Tapi setelah lewat satu minggu dia tetap tidak mencari.” Lanjut Marvin dengan tawa mengejek yang jelas ditujukan untuk dirinya sendiri.
“Setelah lu tau dia gak nyari, lu mau gimana Vin?”
Seketika Marvin terdiam mendengar pertanyaan Saka, ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya, ia hanya ingin menunggu sampai Bianca yang mencari dan mengajaknya untuk bertemu.
“udah gue duga,” gumam Saka sambil menenggak kopi yang sedari tadi tidak disentuhnya. “Coba rubah sudut pandang lu Vin, jangan selalu sangkut pautin sama masa lalu yang menimpa hidup lu.” Setelah mengatakan hal itu Saka berdiri dan meninggalkan Marvin yang mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.
*
Vivi sedang menyiapkan makan malam ketika suara mobil Bianca terdengar sedang memasuki garasi. Wanita paruh baya itu segera membersihkan tangannya dan berjalan untuk menyambut putrinya pulang. Belakangan ini Bianca terlihat begitu tidak bersemangat, Vivi menduga semua itu dikarenakan waktu yang Bram berikan kepadanya semakin menipis.
“Hai sayang.” Sapa vivi sambil merentangkan tanganya, sudah beberapa kali Bianca selalu pulang malam hampir tiga bulan ini, seolah menghindari dirinya dan Bram.
Bianca yang melihat vivi menyambutnya segera menghamburkan diri ke dalam pelukan wanita itu, pelukan seorang mama yang selalu mampu menenangkannya di saat dirinya tidak tahu harus bercerita ke siapa.
“Kau terlihat lelah dan tidak semangat belakangan ini, apa ada masalah?” tanya vivi sambil mengusap lembut punggung Bianca.
Bianca hanya menggeleng pelan. “semua baik-baik saja, ma. Hanya lelah dengan pekerjaan.”
“ambillah waktu untuk berlibur, Ca.” Tutur Vivi masih dengan suara yang lembut sambil mengurai pelukkan itu. “Bersih-bersihlah dulu, mama sedang menyiapkan makan malam. Mama dan papa akan menunggumu.” Tutur Vivi sambil mendorong kecil tubuh Bianca untuk beranjak menuju kamarnya, beristirahat sejenak dan membersihkan diri.
Bianca melangkah masuk ke kamarnya, hatinya masih terus gelisah sejak satu minggu lalu, tepatnya ketika Marvin mengungkapkan perasaannya, Bianca pikir akan membicarakannya ketika mereka bertemu di sesi minggu ini, tapi nyatanya pria itu malah menghindar dan tidak datang kemarin.
Bianca menjatuhkan dirinya diatas tempat tidur, memejamkan matanya sambil terus berpikir apa yang sudah ia lalui sejak pria pewaris Dirgantara itu masuk dalam ruang prakteknya, banyak hal berubah, banyak hal yang Bianca tidak sadari memporak porandakan celah-celah di hatinya.
‘apa aku menyukainya? Apa feelingku tepat kalau dialah anak laki-laki itu, anak laki-laki yang selalu aku harapkan bisa aku temui?’ batin Bianca menanyakan banyak hal yang terus bersuara dalam kepalanya beberapa bulan ini.
Entah sudah berapa lama Bianca bergelut dengan pikirannya sendiri sampai ia mendengar ketukan pintu dan salah satu suara ART yang menyadarkannya.
“Nona Bianca, Tuan dan Nyonya sudah menunggu di meja makan.”
“Iya, Bi. Aku akan segera menyusul.” Sahut Bianca sedikit keras, kemudian wanita itu bergegas masuk ke kamar mandi membersihkan dirinya dengan cepat, tidak ingin membuat Bram dan Vivi menunggu terlalu lama.
*
“Apa kau sudah menyelesaikan apa yang perlu kamu selesaikan, Ca?” suara Bram memecah keheningan di meja makan setelah semua orang selesai dengan makan malamnya.
“belum, Pa. Tapi aku akan segera menyelesaikannya.” Jawab Bianca lirih setelah menenggak habis air dalam gelasnya. Ia memilih untuk tidak berdebat dengan Bram malam ini.
“Tidak ada waktu tambahan apapun lagi ya, Ca.” Tatap Bram langsung pada manik mata Bianca.
Bianca menghembuskan nafasnya perlahan, ia masih ingin menghindar, jika segala sesuatu masih berpihak padanya mungkin ia harus siap meninggalkan Bram, Vivi dan rumah ini demi karir yang ia pilih. Tapi jika segala sesuatu memang tidak berpihak adanya ia akan mengalah, berdamai dan mengikuti apa yang diinginkan Bram dan Vivi.
“Ya, aku tahu Pa. Bianca memejamkan matanya sejenak, tiba-tiba ia teringat perkataan Vivi tadi yang menyarankannya untuk mengambil libur sejenak, mungkin hal itu bisa ia gunakan sebagai waktu tambahan yang akan ia minta pada Bram jika diperlukan nantinya. Ia tahu mamanya pasti akan membantunya untuk hal itu.