Wulan, seorang bayi perempuan yang diasingkan ke sebuah hutan karena demi menyelamatkan hidupnya, harus tumbuh dibawah asuhan seekor Macan Kumbang yang menemukannya dibawa sebatang pohon beringin.
Ayahnya seorang Adipati yang memimpin wilayah Utara dengan sebuah kebijakan yang sangat adil dan menjadikan wilayah Kadipaten yang dipimpinnya makmur.
Akan tetapi, sebuah pemberontakan terjadi, dimana sang Adipati harus meregang nyawa bersama istrinya dalam masa pengejaran dihutan.
Apakah Wulan, bayi mungil itu dapat selamat dan membalaskan semua dendamnya? lalu bagaimana ia menjalani hidup yang penuh misteri, dan siapa yang menjadi dalang pembunuhan kedua orangtuanya?
Ikuti kisah selanjutnya...,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Patih Terpana
Bagas menarik tali kekang kudanya, lalu membawa delman yang dikemudikan olehnya.
Suara roda dan hentakan tapal kuda terdengar saling beradu diantara tanah keras yang saat ini sedang dilanda kemarau panjang.
Meskipun begitu, warga desa kenongo, tetaplah desa yang makmur, sebab mereka melakukan perjanjian dengan Akuji yang dapat memberikan mereka kekayaan.
Setelah cukup jauh menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba ditempat Akuji berada.
Sebuah pondok bambu yang berdiri cukup unik dan membuat Patih Kamandaka merasa takjub.
"Patih, mita sudah sampai." Bagas melompat dari dudukan kusir, lalu berjalan menuju ke pkndok bambu tempat wanita sakti itu sedang berada.
Sepertinya hari ini tampak sepei, sehingga tidak ada yang datang meminta bantuannya.
"Kulonuwun, kulonuwun Nyai, Nyai Akuji, ini Bagas ingin bertemu," teriak pemuda itu dengan sedikit lantang, agar didengar oleh sang wanita.
Perlahan terdengar suara langkah yang derit yang saling bersabutan, saat telapak kaki menyentuh lantai bilah bambu.
Lalu seorang wanita bertubuh sintal alias berisi berdiri didepan pintu pondok bambu.
Rambutnya disanggul dibagian atas, dan sisanya terbiar bergerai didepan dada kirinya, wajahnya bulat bagaikan bulan purnama, cantik mempesona.
Saat ini ia sedang mengenakan kemben berwarna hijau, disertai kain jarik yang yang terlipat dengan sempurna.
Sesaat Patih Kamandaka terkesiap saat melihatnya. Benar apa yang dikatakan orang-orang, jika wanita itu sangat cantik, dan itu sudah ia buktikan sendiri.
"Nyai, saya membawa Patih Kamandaka, utusan dari kadipaten Utara, dan ada hal penting yang ingin dibicarakan kepada Nyai," Bagas menjadi penyambung lidah dari Patih sang utusan Adipati Bisrah.
"Naiklah, kita bicarakan diatas," ajak Akuji dengan nada yang sangat lembut, tetapi terdengar menggoda. Sepertinya ia sangat tertarik dengan sang Patih.
"Tunggu, gadis ini sedang sekarat, tolong bantu membawanya," titah sang Patih kepada Bagas yang seolah tak perduli dengan kondisi Melati.
Bagaimana tidak? Sebab ia sendiri yang yang meminta Akuji untuk membuat wanita jalang itu menderita, jika ia harus menyembuhkannya, sama saja dengan men-jilat ludahnya sendiri.
Tetapi karena Patih yang meminta, maka ia tak punya pilihan lain.
"Sendiko dawuh, Patih, (Siap laksanakan)," Bagas terpaksa untuk membawa Melati naik ke atas pondok, sedangkan Akuni menatapnya dengan senyum licik.
Setelah mereka berada didalam pondok, terlihat Akuji duduk dengan melipat kedua kakinya kebelakang sebegai penopang bokongnya.
"Ada apa, Patih? Mengapa harus repot sampai kemari mencariku?" tanyanya dengan tatapan yang dalam. Ia seolah sedang mengamati pria gagah tersebut. Mencari tau tentang kedatangannya, membaca dengan fikiran.
"Maaf Nyai. Saya diutus Adipati Bisrah untuk membawa pesan, jika sudi kiranya memenuhi panggilannya untuk datang ke Kadipaten,"
Akuji tersenyum tipis. Ia sudah menduga apa yang diramalkan oleh ayahandanya terbukti benar.
Dengan ketenarannya, akhirnya ia dilirik juga oleh sang Adipati. Tetapi membayangkan wajah Bisrah sudah cukup membuatnya mual, dan sebagai pengobatnya,, sepertinya sang Patih cukup menjanjikan.
"Baiklah, saya akan memenuhi panggilannya, dan sampaikan salam saya pada Kanjeng Adipati Bisrah di Kadipaten Utara, jika esok saya akan pergi kesana," Akuji menyisir rambutnya yang tergerai setengah dipundaknya dengan gerakan yang lembut.
"Baiklah, tetapi saya ingin bukti, seperti apa kehebatan yang Nyai miliki, seperti yang dibicarakan banyak orang," Patih Kamandaka sedang menantang kesaktian yang dimiliki oleh Akuji.
Wanita itu mengulas senyum sinis. Ia tahu jika sang Patih sedang meremehkannya. Lalu ia ingin memberikan bukti yang cukup akurat.
"Apa yang ingin saya buktikan, Patih?"
Patih Kamandaka tersenyum dengan datar. "sembuhkan penyakit kudis dan boroknya, serta keluarkan benda yang tertinggal didalam rahimnya." pria itu menunjuk kearah Melatih yang saat ini sedang merintih kesakitan.
Tentu saja itu adalah hal yang sangat mudah baginya. Sebab ia yang membuat penyakit itu, dan ia juga yang akan menyembuhkannya.
"Itu sangat mudah bagiku, bahkan saat Patih belum sempat untuk mengedipkan mata," sabutnya dengan sangat yakin.
Lalu menggerakkan jemari telunjuknya, dan benar saja, belum sempat Patih Kamandaka berkedip, Melatih yang tadinya merintih kesakitan karena borok dikulitnya, serta terong kecil milik Tomo yang tertinggal didalam rahim gadis itu melompat keluar dan masuk kemulut Bagas yang saat ini sedang melongo.
"Biiiiiiuuuh!" Bagas bergegas memuntah-kanya, dan membuat perutnya merasa mual. Pemuda itu merutuki ulah sang Nyai yang dinilai telah melecehkannya.
Melihat hal tersebut, Patih Kamandaka membeliakkan kedua matanya, dan ia mempercayai bahwa Akuji adalah benar seorang wanita sakti mandraguna.
"Baiklah, Nyai, saya percaya akan hal ini, dan itu sudah saya saksikan saat ini, dan esok saya akan meminta Adipati untuk menunggu kedatangan Nyai." Patih Kamandaka berpamitan, sebab ada hal lain yang juga akan diurusnya.
******
Sementara itu, Wulan Ningrum masih berlatih. Ia masih terkurung didalam goa, ia belum tau kapan ia akan keluar dari dalam ruangan tanpa langit itu. Ia ingin melihat dunia luar seperti apa, ia sangat menantikan hal tersebut segera tiba.
"Gunakan kain hitam ini untuk menutup matamu, sebab kau bertempur bukan hanya pada siang hari, tetapi juga malam hari, dan lawanmu dapat hadir dari.arah mana saja, maka kau tak dapat mengandalkan indera penglihatanmu, hanya pendengaranmu yang berguna serta insting yang kuat untuk mendeteksi dimana lawanmu sebenarnya," ucap Sang Macan Kumbang pada gadis cantik bermanik mata coklat itu.
Wulan Ningrum meraih kain hitam yang berada dimoncong sang Macan Kumbang ia mengikat matanya, sehingga semua terasa gelap, namun satu hal yang menggangunya, aroma kain dari bekas gigitan sang Macan terasa begitu wangi dengan wewangian yang aroma kasturi.
Aroma tersebut membuat konsentrasi sang gadis yang sedikit terganggu, tetapi ia tetap mencoba melawan semuanya, ia mencabut pedang luwuk ditangannya, lalu bersiaga dengan gerakan kuda-kuda dan siap untuk menyerang.
Sementara itu sang Macan Kumbang melompat ke atas bebatuan yang bertumpuk dengan cukup tinggi, lalu berbalik arah dan menyerang dengan begitu gencarnya.
Kukunya yang panjang dan meruncing disipakan untuk menyerang targetnya dengan gerakan yang cukup cepat.
Sedangkan Wulan Ningrum sedang bersiap dengan pedangnya, memasang pendengarannya dengan baik, kali ini, ia akan belajar untuk menghadapi lawannya dalam keadaan gelao, dan itu adalah hal sedang dipelajarinya saat ini.
Saat bersamaan ia mendengar suara desiran angin yang membawa pergerakan sesuatu ke arahnya dan dengan sigap ia mengayunkan pedangnya ke depan, dan terdengar suara dentingan yang cukup keras, dan membuat sang Macan Kumbang mendarat diatas lantai goa dengan suara geraman yang cukup terdengar keras.
Suaranya menggetarkan dinding goa, dan tampaknya ia kembali lagi mulai memasang kuda-kuda untuk melakukan penyerangan.
Wulan Ningrum memasang indera pendengarannya , dan kali ini ia merasakan suara deru angin tersebut justru berasal dari atasnya.
Dengan sigap ia mengarahkan ujung pedang keatas, dan terkena sesuatu.
Akuji...
tp ini rajendra mah kok ya suka kali ngelitik si macan sih 🤔🤔
kk siti masih ada typo ya di atas hehehe
meski aq ratu typo sih 🤭🤭