Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan dan godaan kedua orang tua Raka
Pagi itu, Reva masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi separuh tubuhnya. Kakinya terasa lebih baik dari tadi malam, tapi masih ada sisa rasa perih yang membuatnya enggan berjalan terlalu cepat. Raka sedang di dapur, memasak bubur—katanya, “obat tradisional untuk istri yang kelelahan setelah malam pertama.”
Reva tersenyum sendiri, lalu berusaha bangkit perlahan. Ia memakai celana pendek longgar dan kaus ketat, rambutnya diikat asal-asalan. Saat ia melangkah ke arah kamar mandi, langkahnya masih sedikit mengangkang—seperti orang yang baru saja naik kuda seharian.
“Perlahan, Sayang! Jangan dipaksain!” teriak Raka dari dapur, suaranya penuh canda.
“Diam! Kamu yang bikin!” balas Reva sambil cemberut.
Tapi sebelum ia sempat masuk kamar mandi, bel pintu berbunyi.
*Ding-dong.*
Reva dan Raka saling pandang.
“Siapa?” tanya Reva.
“Mungkin Nisa,” jawab Raka, mengelap tangan di celemek.
"Mungkin juga ,anak itukan seperti jalangkung saja ,datang tanpa diundang ,pergi tanpa permisi ." sahut Reva ,Raka hanya tersenyum
"Ya sudah ,aku buka pintunya dulu ."
Tapi saat Raka membuka pintu, yang berdiri di depan bukan Nisa—melainkan **Pak Hartono dan Bu Laras**, orang tua Raka, dengan senyum lebar dan tas belanjaan di tangan.
“Nak!” seru Bu Laras langsung memeluk Raka. “Kami ke sini tanpa kabar, boleh kan?”
“Tentu, Ma! Tapi… kok tiba-tiba?” Raka terkejut, lalu buru-buru menoleh ke arah Reva yang masih berdiri kaku di tengah ruangan.
Reva langsung memerah. Ia berusaha berjalan normal, tapi kakinya masih enggan menurut. Akibatnya, ia berjalan dengan langkah kecil-kecil dan sedikit mengangkang—seperti bebek yang lagi kesakitan.
Bu Laras melihatnya. Senyumnya melebar. Matanya berbinar-binar penuh arti.
“Oh, Reva sayang!” serunya riang, lalu berjalan mendekat dan memeluk Reva erat. “Kamu kelihatan… *sangat bahagia* pagi ini.”
Reva hampir tersedak. “I-Iya, Ma… aku… aku lagi nggak enak badan dikit.”
“Ah, nggak enak badan? Atau *capek banget*?” Pak Hartono ikut nimbrung, suaranya berat tapi penuh canda.
Raka langsung menarik ayahnya ke samping. “Yah! Jangan bikin Reva malu!”
Tapi Bu Laras sudah duduk di sofa, matanya tak lepas dari Reva yang berusaha duduk dengan hati-hati. “Duduknya pelan banget, ya? Kayak takut ada yang lepas.”
“Mama !” Reva nyaris berteriak, wajahnya memerah seperti tomat.
Raka buru-buru menyelamatkan. “Ma,Pa… kalian belum sarapan, kan? Aku masak bubur.”
“Bubur? Untuk siapa? Untuk istri yang baru aja jadi *pengantin beneran*?” Bu Laras tertawa kecil, lalu berbisik cukup keras, “Kami tahu, Nak. Malam pertama kalian akhirnya terjadi, ya?”
Reva menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku mau kabur ke kamar…”
“Jangan kabur! Duduk sini!” Bu Laras menarik tangannya lembut. “Kami senang, Reva. Sangat senang. Kalian menikah hampir setahun, tapi kami tahu kalian masih jaga diri. Sekarang… kayaknya udah *resmi lengkap*, ya?”
Raka duduk di sebelah Reva, lalu menggenggam tangannya erat—seolah memberi dukungan moral.
“Ma… itu urusan pribadi kami,” kata Raka pelan.
“Tapi kami orang tuamu! Dan kami lihat dari cara Reva jalan—kayak habis naik kuda liar!” Pak Hartono tertawa.
“PAPA!” seru Raka dan Reva bersamaan.
Bu Laras tertawa, lalu meraih tangan Reva. “Tenang, Nak. Kami nggak marah. Malah… kami lega. Artinya kalian saling mencintai, saling percaya, dan… *saling menikmati*.”
Reva hampir pingsan. “Ma… tolong… jangan pakai kata ‘menikmati’…”
“Kenapa nggak? Itu bagian dari pernikahan yang sehat!” Bu Laras tersenyum bijak. “Dulu, pas pertama kali sama Ayahmu, aku juga kayak kamu—nggak bisa jalan lurus seminggu!”
“Ma!” Reva menjerit malu.
Pak Hartono tertawa keras. “Ibumu bahkan minta digendong ke kamar mandi! Persis kayak kamu tadi pagi!”
Reva menoleh ke Raka dengan mata melotot. “Mas! Kamu cerita ke mereka?!”
“Nggak! Aku sumpah!” Raka mengangkat tangan. “Mereka cuma… punya insting orang tua!”
“Insting yang terlalu tajam!” desis Reva.
Tapi di balik rasa malunya, ada kehangatan. Karena kedua orang tua Raka tidak marah, tidak menghakimi—malah menyambut dengan tawa dan kasih sayang.
Bu Laras lalu membuka tas belanjaannya. “Ini, aku bawa kunyit asam, jahe, dan madu. Minum ini tiap pagi, biar badan cepat pulih.”
Reva menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Ma…”
“Dan ini,” Bu Lusi menyerahkan botol kecil berwarna cokelat. “Minyak kayu putih campur minyak zaitun. Dioleskan di… *area yang sakit*. Biar cepat sembuh.”
Reva langsung merebut botol itu dan menyembunyikannya di balik punggung. “INI BERLEBIHAN, MA!”
Raka tertawa, lalu memeluk bahunya. “Terima kasih, Ma. Kami… sangat menghargai perhatian kalian.”
Pak Hartono duduk di kursi, lalu menatap mereka berdua dengan mata penuh kebanggaan. “Kalian berdua udah jadi pasangan yang utuh sekarang. Bukan cuma secara hukum, tapi juga secara hati dan tubuh. Itu yang kami harapkan.”
Bu Laras mengangguk. “Dan kami berdoa, semoga kalian segera dikaruniai momongan. Tapi… jangan buru-buru, ya? Nikmati dulu masa pengantin kalian.”
Reva menunduk, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Kami… akan usahakan, Ma.”
“Tapi jangan sampe Reva jalan kayak bebek terus!” Pak Hartono tertawa.
“PAH!” Reva melempar bantal ke arahnya.
Semua tertawa. Bahkan Raka, yang biasanya tenang, ikut terbahak-bahak melihat istrinya yang kesal tapi malu-malu.
Setelah sarapan—yang diisi dengan candaan halus tentang “malam pertama yang tertunda”—Pak Hartono dan Bu Laras akhirnya pamit.
“Kami nggak lama, cuma mau pastikan saja ,kalau kalian baik-baik aja,” kata Bu Laras sambil memeluk Reva. “Dan sekarang… kami yakin kalian *sangat* baik-baik aja.”
Reva hanya bisa mengangguk, wajahnya masih memerah.
Saat pintu tertutup, Reva langsung menjatuhkan diri ke sofa. “Aku mau pindah negara.”
Raka duduk di sampingnya, lalu mencium keningnya. “Mereka sayang kamu, sayang . Dan mereka bahagia lihat kita akhirnya benar-benar jadi suami istri.”
“Tapi mereka lihat aku jalan kayak robot rusak!”
“Robot rusak yang paling cantik di dunia,” Raka bergurau, lalu mencium pipinya.
Reva mendorong dadanya pelan. “Jangan cium! Aku masih kesel!”
“Boleh aku tebak kenapa kamu kesel?” Raka tersenyum nakal. “Karena kamu malu… atau karena kamu masih pengin aku *semangat* lagi malam ini?”
Reva langsung menutup mulutnya. “JANGAN BICARA TENTANG ITU LAGI!”
Tapi matanya berbinar. Dan Raka tahu—di balik rasa malu dan perih itu, Reva juga merasa dicintai, dihargai, dan… utuh.
Malam itu, saat mereka berbaring berdampingan, Reva berbisik, “Besok… aku pasti bisa jalan normal lagi.”
“Nggak usah buru-buru,” Raka memeluknya. “Aku suka lihat kamu jalan pelan-pelan… karena itu artinya, kamu benar-benar milikku sekarang.”
Reva tersenyum, lalu menutup mata dalam pelukannya.
Dan di luar, matahari bersinar terang—seolah ikut merayakan cinta yang akhirnya tak lagi disembunyikan.