Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32. Jogja, I'm Coming!
32
Hujan baru saja reda ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah kos sederhana itu.
Liang turun sambil merapatkan jaketnya. Udara lembap menusuk kulit, dan jalanan masih basah berkilau oleh lampu-lampu jalan.
Ia melirik arloji di pergelangan tangannya, sudah lewat pukul delapan malam.
Dalam genggamannya, ponsel terus bergetar dengan notifikasi dari Aldrich.
“Kamu udah ketemu Allen belum?”
"Ini baru nyampe, Mas." jawab Liang.
“Bilang sama dia, dia harus ikut. Aku nggak mau alasan apapun. Sekalian biar kita bisa jagain dia dari mantannya itu kan.”
Liang menghela napas. "Aldrich benar-benar keras kepala dan maunya dituruti semua keinginannya… tapi kenapa aku malah khawatir, ya?"
Ia kemudian mengetuk pintu pagar kecil di depan rumah kos itu. Tak lama, suara langkah-langkah terburu terdengar dari dalam kamar kost yang paling depan.
Pintu terbuka, dan muncullah Allen dengan wajah kaget, masih mengenakan kaos longgar dan celana santai.
"Ko Liang?” Allen nyaris tak percaya. “Kenapa koko gak telfon aja?”
“Karena ponsel kamu nggak bisa dihubungi dari siang,” potong Liang cepat. “Aldrich udah panik setengah mati, katanya kamu harus dihubungi segera.”
Nada suaranya terdengar tegas, tapi sorot matanya mengandung kelegaan.
Allen menatapnya kaget, lalu menunduk malu. “Maaf, ko, aku… lupa nge-charge.” dalih Allen.
Sebelum sempat menanggapi lebih jauh, dari balik pintu kamar lain muncullah Reikha bersama dua temannya. Mereka spontan berhenti di ambang pintu, saling pandang dengan tatapan penasaran.
“Eh, Mas Allen…” sapa Reikha pelan tapi nadanya penuh tanda tanya.
Tatapannya beralih ke Liang, yang berdiri tegap dan tampak begitu melindungi Allen di sisi pintu.
Liang menunduk sopan. “Maaf mengganggu malam-malam. Saya cuma menjemput Allen, ada hal penting yang harus kami bicarakan di lokasi.”
“Menjemput?” gumam salah satu teman Reikha dengan nada setengah berbisik, namun cukup keras untuk terdengar. “Padahal Mas Allen kan biasa naik motor kesana. Kok pake dijemput segala kayak orang pacaran aja. Dekat banget ya mereka…”
Reikha hanya diam, tapi raut wajahnya menunjukkan campuran bingung dan kecewa.
Seketika pikiran liar muncul di kepalanya, jadi Mas Allen… sudah punya seseorang? Dan ternyata benar ia tidak suka perempuan?
Allen yang menangkap tatapan mereka langsung bersikap serius. “Sekarang kalian liat sendiri kan?!”
Liang menoleh sekilas, menatap Allen dengan ekspresi tenang namun berisi peringatan agar ia tak memperpanjang pembahasan.
“Sudah, ayo berangkat. Nanti keburu larut.”
Allen hanya bisa mengangguk, mengambil tas ransel dan berpamitan terburu-buru pada Reikha serta teman-temannya yang masih berdiri mematung.
Mereka melangkah menuju mobil, dan di teras rumah kos, tante Anjani, pemilik rumah kost yang baik hati, muncul.
"Liang..."
"Eh, Jani. Aku jemput Allen nih. Ada tugas mendadak."
"Oh ya udah kalo gitu hati-hati aja." Pesan Anjani.
“Allen, jaga diri baik-baik, ya.”
Allen tersenyum sopan. “Iya, Tante. Terima kasih, nanti aku kabari kalau sudah sampai.”
Liang juga menunduk hormat. “Terima kasih sudah menjaga Allen selama ini, Jani.”
Tante Anjani tersenyum ramah, meski matanya sempat melirik ke arah Liang dan Allen dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Wah, kalian berdua kompak sekali. Sudah seperti kakak-adik saja.”
Allen hanya bisa nyengir kikuk, sementara Liang menjawab datar, “Kurang lebih begitu.”
Begitu mobil mereka melaju menjauh, Reikha masih berdiri di depan rumah, menatap lampu belakang mobil yang semakin redup di kejauhan.
Ia menggigit bibir, perasaannya campur aduk antara bingung dan kecewa.
“Jadi… Mas Allen sama koko-koko itu, pacaran?” tanya salah satu temannya pelan.
Reikha tidak menjawab, hanya menghela napas berat.
“Nggak tahu deh… tapi rasanya aku baru aja kalah dari seseorang yang bahkan nggak kuduga.”
Sementara itu di dalam mobil, Liang melirik Allen yang menatap kosong ke luar jendela.
“Kenapa kamu kelihatan murung?” tanyanya datar.
Allen menggeleng pelan. “Nggak, cuma… kayak ngerasa bersalah karena bohongin mereka juga.”
Liang tersenyum kecil tanpa menoleh. “Udah terlanjur, Alleandra. Nyantai.”
Namun nada suaranya lembut, seolah mencoba menenangkan.
Mobil pun melaju menembus jalan basah dan udara malam yang masih dingin.
"Gak perlu buru-buru, Ko. Kita berangkat besok pagi aja. Ini udah malam." Aldrich mengabarkan.
"Jadi gimana, Mas?"
"Cari oleh-oleh aja dulu. Nanti aku kirim list nya."
"Oke, Mas!"
**
Keesokan paginya...
Di halaman, beberapa koper sudah disusun rapi di dekat mobil hitam yang siap berangkat.
Liang tampak sibuk menelepon pihak manajemen dan memastikan masa cuti Aldrich selama dua hari benar-benar aman.
Sementara di teras depan, Allen tengah memeriksa daftar barang yang harus dibawa, dokumen pribadi, obat-obatan, hingga oleh-oleh kecil untuk keluarga Aldrich di Jogja.
Aldrich berjalan keluar dari rumah dengan kemeja santai, wajahnya terlihat tegang tapi juga sedikit murung.
Ia jarang memperlihatkan sisi rapuhnya di depan orang lain, namun pagi ini, sorot matanya menyimpan banyak hal yang tak terucap.
“Udah siap semua?” suaranya dalam, serak sedikit karena belum sempat sarapan.
Allen langsung menoleh dan menunduk sopan. “Sudah, Mas. Aku udah cek ulang barang-barangnya. Semuanya lengkap dan aman. Termasuk vitamin herbal buat ibunya Mas Aldrich.”
Aldrich mengangguk pelan, kemudian memperhatikan Allen yang masih menunduk, sibuk menata barang-barang.
Ada sesuatu dari cara Allen bekerja, penuh perhatian, tapi tidak berlebihan, yang selalu membuat Aldrich merasa tenang.
Sejak kabar tentang ibunya yang sakit datang, pikirannya tak berhenti berputar. Namun entah kenapa, begitu melihat Allen, napasnya terasa sedikit lebih ringan.
“Terima kasih,” katanya singkat. “Kamu ingat hal-hal kecil yang bahkan aku lupa.”
Allen tersenyum tipis. “Sudah tugas ku, Mas. Lagian… siapa lagi yang bakal bantu Mas kalau bukan aku? Koko udah banyak tugas yang harus dihandle.”
Liang yang baru selesai menelepon mendekat, menyahut dengan nada menggoda. “Wah, jawaban yang manis sekali. Hati-hati, nanti bos kamu makin susah lepas dari kamu, Len.”
Allen spontan memerah dan menunduk lebih dalam. “Apaan sih, Koko bisa aja…”
Sementara Aldrich hanya mendengus, mencoba menutupi reaksi aneh yang muncul di dadanya.
“Sudah, jangan banyak omong. Kita berangkat sekarang, biar nggak kena macet,” ucapnya, lalu berbalik masuk ke rumah untuk mengambil jaket.
Begitu Aldrich menghilang di balik pintu, Liang menatap Allen sambil menghela napas kecil.
“Kamu tahu kan, ibunya Aldrich itu satu-satunya orang yang masih bisa bikin dia jadi manusia. Kalau kamu lihat dia agak sensitif nanti di Jogja, biarin aja. Jangan banyak nanya.”
Allen mengangguk. “Aku ngerti, Ko. Aku cuma pengen bantu semampu ku.”
Liang tersenyum samar. “Itu yang bikin kamu beda dari asisten sebelumnya.”
Tak lama, Aldrich muncul lagi dengan jaket di tangan dan satu bungkusan kecil.
“Ini,” katanya sambil menyodorkan ke Allen. “Buat kamu. Roti dan kopi, biar nggak masuk angin di jalan.”
Allen sempat terpaku. “Lho, Mas, saku kan biasanya yang nyiapin...”
“Sekarang gantian,” potong Aldrich datar, tapi matanya menatap dalam.
“Anggap aja... ucapan terima kasih karena kamu udah bantu urus semuanya.”
Liang menatap pemandangan itu dengan sudut bibir terangkat, antara kagum dan geli.
Ia tahu, ini bukan sekadar “terima kasih.”
Ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara keduanya, meski Aldrich sendiri tampaknya belum siap mengakuinya.
Ketika mereka akhirnya masuk ke mobil, Allen duduk di kursi tengah bersama Aldrich, sementara Liang bersama sopir di depan, namun sepanjang perjalanan Jakarta–Jogja, aura kedekatan itu makin terasa.
Sesekali Allen menawarkan air, dan Aldrich menyelimutkan jaket kepada Allen saat AC terlalu dingin, dan tiap kali interaksi itu terjadi, Aldrich selalu menahan diri agar tidak menatap terlalu lama.
Dalam hati, Aldrich tahu satu hal,
Perjalanan ini bukan hanya tentang menjenguk ibunya yang sakit.
Tapi juga perjalanan menuju sesuatu yang selama ini ia hindari, perasaan yang perlahan ia biarkan tumbuh di antara jeda, hujan, dan diamnya jarak.
.
YuKa/ 061125
alhamdulillah. akhirnya Aldrich ngungkapin perasaannya ke Allea. ikut bahagia. pokoknya rukun2 kalian berdua. kita tunggu nikahan 2 bulan lagi. yeyyy... kondangan online kita. bener Ko Liang. bilang aja ngantuk n gk lihat kanan kiri, biar selamet🤭🤭🤭🥰🥰🥰
mksh kak Yuka
love love sekebon🥰🥰🥰
adanya adegan romantis mulu
sayangnya tak ada paksu
udah balik cari cuan dulu, 😭😭😭