Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Antara Erza dan Tristan
"Kau kagak takut ya, sama aku?" tanya Erza di susul senyum jail di wajahnya.
Tiba-tiba bulu kuduk Sellina berdiri saat melihat senyum itu. Ia berjalan mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding lift.
Erza semakin berani dengan memepet Sellina hingga Sellina dapat merasakan hembusan nafasnya yang membuatnya merinding.
Tangan Sellina menyentuh dada bidangnya, menahan agar Erza tak semakin mendekat. "Pak, aku mohon jangan begini."
Bukannya merasa bersalah dan menjauh, justru Erza merasa gemas dengan penolakan Sellina. Sebelumnya tak pernah sekalipun wanita yang menolak ketampanan dan kuasanya di hotel itu. Tapi Sellina pengecualian, ia justru semakin ingin mengerjainya.
"Buka lah matamu, Sellina. Apa kau yakin gak tertarik denganku, hah. Aku ni ganteng banget loh," ucapnya dengan percaya diri.
Sellina tak berani menatap. Ia memejamkan matanya erat dengan tangan yang masih menempel di dada yang bidang itu. Ia bisa merasakan hangat dan keras otot itu, terlihat tubuh itu sering berolah raga.
Ia sekalipun belum pernah menyentuh suaminya sendiri tapi kini justru ia menyentuh orang lain. Rasa bersalah mulai ia rasakan, ia berusaha mendorong tubuh tegap itu namun ia kalah kuat.
Erza semakin menundukkan wajahnya. Saat semakin dekat tiba-tiba pintu lift berbunyi.
Ting!
Pintu lift terbuka. Erza dengan santai keluar meninggalkan Sellina yang hampir kehabisan nafas.
Perlahan Sellina membuka mata, lega Erza sudah tidak ada di depannya. Ia menghela nafas panjang sebelum merapikan map yang berantakan di tangannya.
"Kayaknya aku harus jaga mulutku. Aku gak mau buat dia kesal dan ngelakuin hal ini lagi," gumamnya, langkahnya gontai keluar lift.
Sellina berjalan pelan menuju ruangan Erza. Langkahnya terhenti saat mendengar keributan dari dalam ruangan.
Ia perlahan mendekat ke arah pintu, mendengarkan suara keras yang terputus-putus itu. Jantungnya berdegup cepat—suara itu penuh amarah, berbeda dari ketenangan yang biasa ia rasakan.
"Gila kau Erza! Bisa-bisanya kau pecat kepala koki kita, dia sudah kerja puluhan taun di sini. Dan demi bela wanita gak jelas itu kau pecat dia!" sentak seseorang dari balik pintu.
Sellina tersentak. Wanita gak jelas? Apakah mereka ... membicarakan dirinya?
Tangannya menggenggam erat gagang pintu. Ia ingin masuk, membela diri, tapi sesuatu menahannya. Ada rasa takut bercampur penasaran yang membuatnya tetap berdiri di sana, mendengarkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dari dalam ruangan, suara Erza terdengar—tenang namun tegas. Nada yang berbeda dari teriakan tadi, seperti badai yang tertahan.
"Ya mau gimana, aku cuma gak suka aja cara dia ngerendahin orang," sahut Erza, suaranya datar namun penuh pendirian.
"Konyol! Kau itu memang belum cocok menjabat jadi direktur!" balas lawan bicaranya dengan nada mengancam. "Kalau sampai ibu tahu, dia akan turunkan jabatanmu ... bahkan mungkin kau akan kehilangan semuanya. Kau tahu sendiri koki itu adalah koki yang ibu banggakan."
Sellina segera menjauh dari pintu saat mendengar langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar keras.
Pintu terbuka dengan kasar dari dalam. Sellina tersentak—sosok yang keluar sangat familiar, seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya.
Tatapan lelaki itu tajam menusuk, penuh kebencian. Matanya menelusuri Sellina dari ujung kaki hingga ujung kepala, seperti sedang menilai sesuatu yang tidak layak berada di sana. Tanpa sepatah kata pun, ia berlalu dengan wajah penuh kesal, meninggalkan Sellina terpaku dalam diam.
“Apa benar Pak Erza akan kehilangan semuanya gara-gara aku? Enggak. Ini gak boleh terjadi. Aku harus ngomong sama Pak Erza,” gumamnya, menahan napas yang memburu saat jemarinya mendorong daun pintu.
Ruang kerja itu sunyi, hanya terdengar detak jam dan desis pendingin ruangan. Erza duduk di balik meja kayu gelap, tampak santai seolah badai tak pernah menyentuhnya. Tatapannya datar, punggungnya bersandar, kursi berderit pelan saat ia memundurkannya beberapa sentimeter.
Sellina melangkah mendekat, ragu menyelinap di sela-sela keberaniannya. “Maaf,” ucapnya, suara setengah bergetar. “Saya gak sengaja dengar semuanya. Tapi kalau semua ini gara-gara saya, saya minta maaf karena udah bikin kacau. Dan … Anda juga sepertinya gak perlu sampai pecat mereka kan? Pelayan itu—mungkin dia gak sengaja.”
Erza tersenyum tipis, senyum yang dingin dan rapi seperti pisau baru diasah. “Jangan kepedean,” katanya, ringan namun tajam. “Aku pecat mereka karena kerja mereka gak bagus. Sebagai koki senior, dia gak pantas bicara apalagi bersikap seperti itu di depan junior, bahkan atasannya. Lagipula, aku udah lama bosen sama masakannya—ini kesempatan yang bagus. Dan pelayan itu, seharusnya lebih hati-hati. Restoran ini gak bisa ditopang oleh kecerobohan.”
Sellina kembali ke mejanya dengan langkah ringan. Ada sesuatu yang berbeda dari Erza—sosoknya tampak lebih tenang, lebih berwibawa, seperti menyimpan rahasia yang tak bisa disentuh. Sesekali, Sellina melirik ke arah pria itu, mencoba membaca ekspresi yang tak pernah benar-benar terbuka.
Di sisi lain, Erza menatap layar komputer dengan sorot mata tajam. Resume Tristan terpampang jelas di hadapannya. Ia mengusap dagunya pelan, tenggelam dalam pikirannya yang berlapis-lapis. Ia sudah menggali semua informasi tentang pria itu—termasuk fakta bahwa wanita yang kini duduk tak jauh darinya adalah istri Tristan. Istri kedua, tepatnya.
Pertemuan tadi bukanlah kebetulan. Erza sengaja mengulur kerja sama, menciptakan jeda dan ketegangan. Semua itu adalah bagian dari rencananya. Ia ingin mempermainkan Tristan, pria yang entah mengapa membuatnya kesal sejak awal. Bukan karena dendam, tapi karena ada sesuatu yang mengusik egonya.
Dari kejauhan, matanya kembali menangkap sosok Sellina. Wanita itu tampak sibuk, tenggelam dalam pekerjaannya. Namun tiba-tiba, pandangan Erza berubah. Wajah Sellina seolah bersinar terang, dan sekelilingnya menjadi gelap. Seperti ada cahaya yang hanya memancar dari dirinya.
Erza mengerjap, lalu mengusap matanya dengan kasar. “Kenapa sih mataku ini? Ah … gak beres, pasti aku sakit mata deh,” gumamnya, mencoba menepis perasaan aneh yang baru saja menyergap.
Namun jauh di dalam dirinya, ia tahu itu bukan sekadar gangguan penglihatan. Ada sesuatu tentang Sellina yang mulai mengusik hatinya—sesuatu yang tak bisa dijelaskan, dan mungkin tak bisa dihindari.
***
Tiba waktu pulang. Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore tepat. Sellina menutup laptopnya, merapikan berkas-berkas yang berserakan di meja, lalu berdiri dengan gerakan yang anggun namun tegas. Ia mengenakan tas kerja di bahu, melangkah keluar dari ruangannya dengan napas yang sedikit lebih lega.
Di luar, langit Makassar mulai berubah warna. Cahaya matahari yang tadinya terik kini meredup, berganti semburat jingga yang hangat. Angin sore berhembus pelan, menyapu rambutnya yang tergerai. Sellina berjalan melewati lobi kantor, menyapa satpam dengan senyum kecil, lalu melangkah keluar dari gedung.
Sellina berdiri di teras hotel, menunggu taksi online yang baru saja ia pesan. Jemarinya menggenggam ponsel, sesekali melirik layar untuk memastikan kendaraan yang ditunggu benar-benar mendekat.
Namun, suara mesin halus yang mendekat dari arah kanan membuatnya menoleh. Sebuah mobil Porche putih berhenti perlahan tepat di depannya. Mobil itu mencolok di antara deretan kendaraan biasa, bersih mengilap, seperti tak tersentuh debu jalanan.
Kaca jendela sisi pengemudi perlahan turun, memperlihatkan wajah yang sangat ia kenal.
Tristan.
Wajah itu masih sama—tenang, penuh kendali, namun menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak. Tatapannya menusuk.
“Ayo naik,” ucapnya singkat, suaranya dalam dan datar, namun ada nada mendesak.
Sellina terdiam. Dunia seolah melambat. Suara kendaraan lain memudar, dan yang tersisa hanya detak jantungnya sendiri. Ia menatap Tristan, mencoba membaca maksud di balik ajakan itu.
“Cepatlah! Kok malah bengong,” desak Tristan dari balik kemudi, suaranya tajam dan penuh tekanan.
Sellina tersentak, langkahnya nyaris bergerak menuju mobil Porche putih itu. Namun sebelum sempat melangkah, suara mesin lain yang lebih garang memecah suasana. Sebuah Bugatti Chiron berhenti mendadak di dekatnya—hitam legam dengan corak oranye menyala, tampak seperti kilatan petir di bawah langit senja.
Pintu mobil terbuka, dan dari dalamnya keluar sosok Erza. Ia melangkah dengan tenang namun penuh wibawa, setelan jasnya bergoyang ringan diterpa angin. Tanpa berkata banyak, ia meraih jemari lentik Sellina dengan mantap.
“Ayo, kita masih ada kerjaan yang belum kelar,” ucapnya datar, namun sorot matanya tak bisa dibantah.
Sellina terbelalak. “Tung … tunggu Pak. Kerjaan apa? Perasaan semua udah saya selesaikan?”
Namun Erza tak memberi ruang untuk penjelasan. Ia menarik tangan Sellina dengan lembut namun tegas, membawanya masuk ke dalam mobil mewah itu. Pintu tertutup, dan dalam sekejap, Bugatti itu melesat pergi, meninggalkan awan debu dan ketegangan yang menggantung.
Tristan yang menyaksikan semua itu dari dalam mobilnya, langsung turun dengan wajah memerah. Matanya membara, rahangnya mengeras. Ia berlari kecil ke arah jalan, namun hanya sempat melihat ekor Bugatti itu menghilang di tikungan.
Dengan amarah yang tak terbendung, ia menggebrak kap mobilnya keras. “Sial!”
ditunggu kelanjutannya❤❤