Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 # Dokter Raymond
Beberapa menit setelah Tuan Muda Nadeo meneguk air jahe buatannya, terdengar suara langkah cepat di koridor lantai atas. Tak lama, ketukan terdengar di pintu kamar.
Tok… tok… tok…
“Silakan masuk,” ujar Nadeo perlahan sambil meletakkan cangkirnya di meja kecil di sisi ranjang.
Pintu terbuka, dan muncul sosok pria berjas putih dengan tas hitam di tangannya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam dan penuh kehati-hatian.
“Selamat pagi, Tuan Muda,” sapa Dokter Raymond sambil sedikit membungkuk. “Saya mendapat kabar tadi malam bahwa kondisi Anda menurun.”
“Sudah agak membaik, Dok,” jawab Nadeo datar, menatap dokter itu sekilas sebelum pandangannya berpindah pada Aliza yang berdiri di sisi ranjang.
Aliza menunduk hormat. “Selamat pagi, Dokter.”
Dokter Raymond menatap Aliza dengan anggukan singkat, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan stetoskop. “Baiklah, Tuan. Izinkan saya memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah Anda terlebih dahulu.”
Suasana kamar menjadi hening. Hanya terdengar suara alat medis dan sesekali napas Nadeo yang panjang. Aliza berdiri agak menjauh, memperhatikan dengan cemas.
Setelah beberapa menit, Dokter Raymond menulis sesuatu di catatan kecilnya. “Suhu tubuh Anda sudah normal, Tuan. Namun tenggorokan sedikit merah. Sebaiknya hindari makanan pedas dan perbanyak minum air hangat.”
Nadeo mengangguk kecil. “Baik, Dok.”
Sebelum menutup tasnya, Dokter Raymond sempat melirik ke arah meja kecil. “Apakah itu air jahe? Siapa yang menyiapkannya?”
Aliza menjawab dengan cepat, “Saya, Dokter. Tuan Muda mengeluh tenggorokannya gatal, jadi saya membuatkan minuman itu.”
Dokter Raymond tersenyum tipis. “Bagus. Itu pilihan yang tepat. Jahe bisa membantu meredakan iritasi tenggorokan.” Ia menatap Nadeo dengan nada ringan, “Tuan beruntung punya perawat pribadi yang begitu perhatian.”
Nadeo hanya diam, tapi tatapan matanya sedikit berubah — ada sesuatu yang tidak ia tunjukkan.
Aliza menunduk, wajahnya memerah samar.
Tatapan Tuan Muda sempat tertuju padanya beberapa kali, membuat jantung Aliza berdebar tidak karuan. Ia berusaha menjaga sikap, tapi suasana hening itu terasa terlalu berat.
“Kalau begitu… saya pamit keluar dulu,” ucap Aliza pelan sambil merapikan nampan di atas meja. “Saya akan menyiapkan sarapan di dapur.”
Nadeo menoleh cepat. “Tidak perlu terburu-buru, Aliza. Aku—”
Namun Aliza sudah membungkuk sopan dan melangkah menuju pintu.
“Saya tidak ingin mengganggu Tuan dan Dokter Raymond,” katanya lirih, berusaha tersenyum walau hatinya terasa aneh—antara gugup dan lega karena bisa menghindari tatapan mata Tuan Muda yang sulit ditebak itu.
Begitu pintu kamar tertutup dan langkah Aliza perlahan menghilang di koridor, suasana menjadi lebih santai. Dokter Raymond meletakkan tasnya di atas meja, lalu bersandar pada kursi dekat ranjang. Tatapannya beralih pada Tuan Muda Nadeo yang kini tampak termenung sambil menatap cangkir air jahe di meja.
Senyum menggoda muncul di wajah sang dokter.
“Tuan Muda,” katanya dengan nada ringan, “apakah itu tadi kakak ipar ?
Tuan muda Nadeo menatap tajam ke arah dokter Raymond.
Tapi Dokter Raymond justru terkekeh pelan. “Kau benar-benar pintar, Nadeo. Aku baru kali ini melihatmu punya pendamping yang begitu tulus memperhatikanmu. Akhirnya kau bisa juga lepas dari Clara, ya?”
Nama itu — Clara — membuat pandangan Nadeo menegang seketika. Senyum yang tadi sempat terlintas di wajahnya langsung menghilang. Ia menatap dokter itu tajam, tapi tak segera menjawab.
Dokter Raymond mencondongkan badan, matanya mengamati reaksi Nadeo seperti pemburu yang menunggu celah. Suaranya berubah dingin, hampir sinis saat melontarkan kata-kata yang menusuk.
“Atau Tuan Muda masih mencintai Clara?” tanyanya pelan, setiap kata dipilih untuk menyakitkan. “Kalau memang Tuan ingin melepas kakak ipar itu… katakan saja. Aku siap menggantikan posisimu.”
Kata-kata itu tergantung di udara, berat seperti batu. Nadeo menelan ludah, napasnya bergetar tipis, namun wajahnya tetap seperti pagar baja — dingin dan tak tergoyahkan. Sebelum Nadeo sempat menjawab, Raymond melanjutkan, nada suaranya kini mengandung ancaman yang tak tersamarkan:
“Diam, kamu… atau aku akan hancurkan rumah sakit keluargamu.”
Dokter Raymond yang semula menatap tajam tiba-tiba tersenyum canggung, mencoba meredakan suasana yang mendadak membeku. Ia mengangkat kedua tangannya pelan, berusaha menenangkan situasi.
“Aku hanya bercanda, Tuan Muda,” ujarnya cepat, suaranya sedikit gemetar namun tetap berusaha terdengar santai.
Namun Nadeo tidak tertawa. Tatapan matanya masih menusuk tajam, penuh tekanan yang membuat udara di kamar terasa berat. Ia mencondongkan tubuh ke depan, suara rendahnya terdengar tenang tapi dingin seperti pisau.
“Raymond, kau tahu aku tidak suka bercanda dengan hal seperti itu.”
Dokter Raymond menelan ludah, mencoba tersenyum. “Tentu saja, aku tahu. Aku hanya terlalu terbawa suasana. Maaf, Tuan Muda.”
Nadeo menghela napas perlahan, lalu bersandar kembali ke bantal. “Kalau kau ingin tetap bekerja untuk keluarga ini, jaga ucapanmu.”
Raymond menunduk dalam-dalam. “Baik, Tuan. Saya minta maaf.”
Nadeo tidak tersenyum. Matanya menatap tajam, napasnya tenang namun setiap kata yang keluar bermuatan tegas.
“Jangan pernah kau menyebut nama perempuan itu lagi di hadapanku,” katanya pelan tetapi menahan badai — seolah suara itu cukup untuk memutuskan urat-urat di udara.
Senyum Raymond memudar. Untuk pertama kali sejak percakapan dimulai, ia terlihat sedikit terkejut — bukan karena takut, melainkan karena menyadari ada batas yang ia celakai. Hening sesaat menggantung di antara mereka; jarum jam berdetak, menandai kesunyian yang penuh arti.
“Sekarang keluar,” perintah Nadeo, nadanya tegas dan datar, namun ada amarah yang menekan di balik ketenangan itu. “Aku tidak ingin melihatmu di rumah ini lagi tanpa izin.”
Raymond mencoba bertahan dengan sisa wibawanya. “Nadeo, aku hanya—”
“Aku bilang keluar!” suara Nadeo meninggi untuk pertama kalinya, menggema di seluruh ruangan. Tangannya menunjuk ke arah pintu, tegas dan tak terbantahkan.
Dokter Raymond menelan ludah, lalu perlahan mengambil tasnya. Ia menatap Nadeo sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya menarik napas dan membungkuk sedikit.
“Baiklah, Tuan Muda. Anggap saja kunjungan saya selesai.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar. Pintu tertutup dengan bunyi lembut namun sarat ketegangan.
Begitu ruangan kembali sepi, Nadeo menghela napas panjang. Tangannya menggenggam cangkir air jahe di meja, tapi jemarinya bergetar halus. Pandangannya kosong, menatap cairan yang sudah dingin.
Di bawah napasnya yang berat, ia berbisik pelan,
“Clara… berhenti menghantui hidupku.”
hati dah mulai suka ma istri tapi munafikun kamu ,tunggu aja nanti jg nongol lagi bikin huru hara