Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Begitu keluar dari terminal kedatangan, udara kota Olympus langsung menyergap Kimberley. Bau asap kendaraan bercampur dengan semilir angin malam yang menusuk, membawa kembali aroma masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur tiga tahun lalu. Kimberley berdiri kaku di depan pintu kaca bandara, jemari tangannya sedikit bergetar memegang gagang koper. Nicholas berdiri di sampingnya, menjulang dengan sikap dingin dan wajah tanpa ekspresi.
Mereka sempat diam lama, Kimberley hanya memandang kerumunan orang yang berlalu-lalang. Tak ada yang mengenalnya. Tak ada yang menyambut. Hatinya mendadak panik, seolah ia benar-benar asing ditempat itu.
Dengan helaan napas panjang, Nicholas melangkah lebih dulu.
“Taxi,” gumamnya singkat, menoleh pada Kimberley.
Ia hanya mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai terasa sesak di dadanya.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di kursi belakang taksi tua berwarna perak. Supir taksi, seorang pria paruh baya dengan kemeja kusut, sempat melirik ke arah Kimberley lewat kaca spion. Wajah asing, rambut pirang sebahu, dengan logat asing ketika berbicara pada Nicholas.
Supir itu hanya mengangkat alis sebentar, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Turis.”
Nicholas membuka percakapan dengan suara rendah berbahasa Inggris, “You should keep your head low here.”
Kimberley mendengus pelan, menoleh dengan senyum miring. “Oh, come on, Nico. What are they gonna think? I’m just a random girl, remember?”
Nicholas tidak membalas, hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah dinding kaca di sampingnya lebih menarik daripada wajah Kimberley.
Namun Kimberley tak lagi mendengar apa pun. Tatapannya terpaku keluar jendela. Jalanan kota Olympus terbentang di depan mata. Gedung-gedung tinggi masih berdiri angkuh, lampu toko-toko kecil berkelip, trotoar penuh orang sibuk dengan rutinitas. Semuanya terasa sama… tapi bagi Kimberley, setiap sudut punya cerita.
Mobil taksi melambat di perempatan, dan di sisi kanan jalan, sebuah kafe mungil dengan papan kayu tua terpampang jelas. “Café Verona.”
Detik itu juga dadanya tercekat.
Flashback menyerbu tanpa permisi. Ia ingat dirinya—atau lebih tepatnya Elanor—duduk di kursi pojok bersama Bella. Tawa Bella yang keras, suara sendok beradu dengan gelas, dan senyum cerah Bella ketika mereka berbagi kue tiramisu favorit.
“Lala,” suara Bella terdengar jelas dalam ingatannya, penuh canda dan hangat, “suatu hari nanti kita bakal datang lagi ke sini, jadi nenek-nenek cerewet, dan tetap pesen tiramisu yang sama hahaha.”
Kimberley menutup mulut dengan tangannya, menahan sesak yang tiba-tiba pecah di dada. Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. Supir taksi melirik sebentar Lewat spion, tapi mengira gadis itu hanya kelelahan karena perjalanan panjang.
Perlahan, bibir Kimberley bergetar. Ia menunduk, lalu berbisik lirih nyaris tak terdengar, “Bella…” Suaranya pecah, setengah tertelan isak yang ia tahan mati-matian. Nama itu keluar begitu saja, seolah ingatan masa lalu terlalu kuat untuk dikurung.
Nicholas menoleh pelan, memperhatikan Kimberley yang diam-diam menghapus air matanya dengan cepat. Namun, seperti biasa, pria itu tidak berkata apa pun. Hanya satu helaan napas panjang, seakan ingin menyampaikan sesuatu, tapi memilih menahannya.
Perjalanan berlanjut dalam hening.
Taksi akhirnya berhenti di depan sebuah hotel berbintang, menjulang dengan lampu emas menyala di malam yang mulai larut. Kimberley keluar lebih dulu, menarik kopernya, sedangkan Nicholas sibuk membayar ongkos taksi. Ia menatap ke atas bangunan hotel, tinggi dan megah, lalu menghela napas dalam-dalam.
Sesampainya di kamar hotel, Kimberley langsung berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu Olympus berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Ia berdiri lama, kedua tangannya menyentuh kaca dingin itu.
“This city…” bisiknya dalam bahasa Inggris, nyaris tak terdengar.
Pagi hari pun datang, dan pagi itu cahaya matahari menyelinap lewat tirai tebal kamar hotel. Kimberley sudah duduk di tepi ranjang, rambut pendek pirangnya sedikit berantakan namun justru membuatnya tampak lebih segar. Ia baru saja selesai menyeruput kopi instan yang diseduhnya sendiri. Matanya kemudian tertuju pada Nicholas yang masih tertidur di sofa single di pojok kamar.
Posisi tidurnya aneh, dengan jas hitamnya yang masih melekat, kepala tertunduk ke samping, dan satu tangan masih menggenggam ponsel yang sejak semalam tak pernah lepas. Kimberley tersenyum geli. Dia benar-benar terlalu kaku… bahkan tidur pun masih tampak seperti sedang berjaga.
Pelan-pelan ia mendekat, lalu menunduk tepat di hadapan Nicholas. “Wake up, Nico…” bisiknya lembut.
Nicholas hanya menggerakkan alisnya. Kimberley akhirnya menyentuh bahunya sedikit, membuat pria itu mendadak membuka mata. Pandangannya sempat kosong sebelum akhirnya fokus. Dan saat ia sadar Kimberley berdiri di hadapannya, matanya langsung membelalak.
Kimberley baru sadar, kalau dia lupa kalau dirinya hanya mengenakan piyama tipis berwarna putih, kainnya jatuh longgar dan menerawang. Bukan hanya itu, ketika ia bergerak, lekuk tubuhnya tampak jelas. Nicholas sontak terlonjak kaget, sampai terjatuh dari sofa dengan bunyi duk!
“God~!” serunya, buru-buru bangkit sambil menundukkan kepala. Telinganya memerah jelas, bahkan sampai ke leher.
Kimberley menahan perutnya sambil tertawa terpingkal-pingkal. “Oh my God, Nico, you should see your face right now!”
Nicholas berusaha menata nafas, lalu berdiri dengan wajah tetap tegang meski telinganya masih menyala. “Miss, please… cover yourself. This is inappropriate.”
Kimberley makin terbahak. “Oh, come on! It's just pajamas. Don’t tell me you’ve never seen a woman in pajamas before.”
Nicholas menghela nafas, berusaha keras menjaga wibawanya. “If there’s nothing important, I’ll step outside for a while…” katanya kaku, hendak berbalik.
Namun Kimberley cepat-cepat meraih lengannya. “Wait!” serunya sambil cemberut manja. “I’m bored, Nico. I don’t want to just sit here all day. I want to go to college.”
Nicholas menatapnya dalam-dalam. Dahi pria itu berkerut, jelas-jelas tidak menyetujui ide spontan tuannya. “College? Miss, you know that’s dangerous. You can’t just—”
Kimberley memotongnya dengan senyum penuh keyakinan. “I can, and I will. You promised to protect me, didn’t you? Then protect me there too. Besides… I’ve had enough of hiding. I need to live, Nico.”
Nicholas terdiam lama. Helaan nafas panjang akhirnya keluar, tanda ia menyerah pada keras kepala Kimberley. “Fine… but you’ll follow every instruction I give. No exceptions.”
Seketika wajah Kimberley berbinar. Ia melompat kecil di atas karpet, seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah. “Yes! Finally! Thank you, Nico!” serunya riang, lalu menepuk bahu pria itu dengan jahil. “Now, get ready. Because before college, we’re going shopping!”
Nicholas menutup wajahnya dengan satu tangan, benar-benar pasrah. “Shopping…” gumamnya dengan nada berat.
Dan pagi itu hotel sudah mulai ramai. Dari jendela kamarnya, Kimberley bisa melihat cahaya matahari menembus gedung-gedung tinggi kota Olympus. Setelah sarapan singkat, ia memutuskan untuk bersiap keluar. Gaun kasual sederhana warna krem membalut tubuhnya, dipadukan dengan jaket tipis dan kacamata hitam yang membuatnya tampak semakin menonjol.
Nicholas, seperti biasa, dengan pakaian rapi dan formal: kemeja hitam, celana panjang, dan jas tipis. Ia sudah berdiri di dekat pintu kamar ketika Kimberley selesai berdandan.
“Are you ready, Miss?” tanyanya singkat.
Kimberley berbalik dengan senyum nakal. “Always. Let’s go, Nico. Today, we’re going shopping.”
Nicholas hanya menghela napas kecil, seolah sudah menduga apa yang akan terjadi. Mereka pun meninggalkan hotel, menyewa mobil, dan menuju ke pusat perbelanjaan terbesar di Olympus.
Begitu tiba di mall itu, perhatian orang-orang langsung tertuju pada mereka. Mall yang penuh dengan keluarga, mahasiswa, hingga turis mendadak terasa berbisik-bisik hanya karena kehadiran Kimberley dan Nicholas.
“Cantik banget cewek itu, rambutnya itu loh.”
“Liat tuh cowoknya, tinggi banget. Kayak artis luar negeri.”
“Mereka cocok banget, kayak pasangan yang ada di Film-film itu.”
“Gila, sumpah… kayak lagi lihat selebriti.”
Bisikan-bisikan dalam bahasa Indonesia itu jelas terdengar, meski Kimberley tak menanggapinya. Ia justru makin percaya diri, menggandeng lengan Nicholas sambil tersenyum puas.
“You hear that, Nico? They think we look like a couple.” katanya dengan nada menggoda.
Nicholas menatapnya sebentar, lalu menepis pelan tangannya. “We’re not. Don’t give them the wrong idea, Miss.”
“Oh, relax. It’s fun!” Kimberley cekikikan, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke butik mewah pertama.
Di dalam butik, kilau lampu menyinari rak-rak penuh pakaian berkelas. Kimberley langsung memungut beberapa baju, lalu menyorongkannya ke dada Nicholas.
“Here, try this shirt. It’ll look amazing on you.”
Nicholas menatap kemeja putih yang disodorkan padanya dengan wajah kaku. “Miss, I’m here to watch over you, not to try on clothes.”
“Well, today you’ll do both. Come on, don’t be boring.” katanya sambil mendorong Nicholas ke ruang ganti.
Beberapa menit kemudian, Nicholas keluar mengenakan kemeja itu. Posturnya yang tinggi dan tegap membuat semua orang di butik ikut melirik.
“Gila, ganteng banget sih.”
“Kayak model majalah luar negeri, parah.”
“Fix, mereka pasangan kaya raya.”
Kimberley bertepuk tangan dengan semangat. “Oh my God, Nico! Look at you. If I didn’t know better, I’d say you were born for this.”
Nicholas menghela napas panjang. “Are you done now?”
“Not even close.” Kimberley menyeringai, lalu menyodorkan kacamata hitam. “Try this one. Please?”
Nicholas sempat menolak, tapi Kimberley mendekat sambil berbisik nakal. “If you don’t, I’ll scream and tell everyone here you’re being mean to me.”
Nicholas menutup matanya, mencoba sabar, lalu akhirnya memakai kacamata itu.
“Ya ampun, makin ganteng aja.”
“Fix, dia mirip James Bond tapi lebih muda.”
Kimberley bersorak pelan. “Perfect! Look at you, James Bond? who's that? We have Nicholas!”
Mereka lalu berpindah dari toko ke toko: butik pakaian, perhiasan, toko tas, bahkan toko buku. Setiap kali Nicholas menolak, Kimberley selalu menemukan cara untuk memaksanya. Dan setiap kali Nicholas menurut, Kimberley tertawa puas melihat telinganya yang mulai memerah.
Saat keluar dari salah satu toko, Kimberley menatapnya penuh kemenangan. “You know, Nico… I think I’m having way too much fun. Olympus isn’t so bad after all.”
Nicholas meliriknya dengan wajah dingin. “As long as you’re safe, Miss.”
Kimberley mendekat, tersenyum tipis. “And as long as I have you to play with.”
Nicholas terdiam, tapi bibirnya sedikit terangkat—nyaris seperti sebuah senyum. Kimberley yang melihat itu langsung menjerit pelan.
“Oh my God, you smiled! You actually smiled!"
Nicholas buru-buru menoleh ke arah lain, seolah menolak mengakui. Tapi Kimberley tahu, ia baru saja berhasil menembus sedikit dinding es di hati bodyguard-nya itu.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di dalam mall itu, akhirnya Nicholas keluar dari pintu utama mall dengan wajah tenang namun kedua tangannya penuh beban. Tak kurang dari dua belas tas belanjaan menggantung di lengannya, dari kemeja, gaun, tas mewah, sampai beberapa kotak sepatu. Sementara Kimberley berjalan di sampingnya dengan ringan, hanya membawa dua tas kecil sambil bersenandung pelan.
“See? Shopping is fun. Look how stylish you’re going to be after this.” katanya sambil menepuk lengan Nicholas.
Nicholas hanya mendengus, menyesuaikan pegangan tas di tangannya. “Fun for you, maybe. I feel like a walking closet right now.”
Kimberley tertawa keras, matanya berbinar penuh kemenangan. “Oh, come on. You look adorable when you complain.”
Keduanya terus berjalan menuju mobil hitam yang sudah menunggu di depan. Kimberley tampak begitu santai, sesekali melirik ke sekeliling, menikmati suasana kota Olympus yang mulai terasa hidup kembali di matanya.
Namun, beberapa meter dari mereka, seorang pria berdiri terpaku di trotoar, matanya tak berkedip. Rio. Tangan kanan sekaligus sahabat setia Dominic. Wajahnya seketika mengeras, tubuhnya membeku begitu pandangannya jatuh pada sosok gadis pirang bermata biru itu.
Mustahil. Itu mustahil.
Langkah orang-orang di sekelilingnya terasa melambat. Rio meraih ponselnya dengan tangan gemetar, jari-jarinya langsung menekan tombol kamera. Ia mengambil beberapa gambar dari kejauhan: Kimberley yang sedang tertawa, Nicholas yang dingin tapi tetap menjawab, dan dua sosok itu berdiri persis di samping mobil.
Napas Rio tercekat. Tanpa banyak pikir, ia langsung mengirimkan foto-foto itu ke Dominic.
Di sebuah bengkel tua di sudut Olympus, Dominic duduk di kursi besi reyot. Tangannya kotor oleh oli, dan keringat menempel di pelipisnya. Ponselnya bergetar. Dengan malas ia meraihnya, membuka pesan dari Rio.
“Apalagi ini?” gumamnya pelan, berniat mengabaikan. Namun matanya terpaku pada layar ponsel.
Satu foto.
Satu pandangan.
Dunia seolah berhenti.
Mata Dominic melebar, tubuhnya kaku, jantungnya menghentak keras di dadanya. Wajah itu. Senyum itu. Tatapan mata itu.
Suara keluar dari bibirnya, hanya satu kata yang hampir seperti bisikan, namun penuh keterkejutan dan luka lama yang terkuak:
“Elanor…”
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭