Nabila Fatma Abdillah yang baru saja kehilangan bayinya, mendapat kekerasan fisik dari suaminya, Aryo. Pasalnya, bayi mereka meninggal di rumah sakit dan Aryo tidak punya uang untuk menembusnya. Untung saja Muhamad Hextor Ibarez datang menolong.
Hextor bersedia menolong dengan syarat, Nabila mau jadi ibu ASI bagi anak semata wayangnya, Enzo, yang masih bayi karena kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Baby Enzo hanya ingin ASI eksklusif.
Namun ternyata, Hextor bukanlah orang biasa. Selain miliarder, ia juga seorang mafia yang sengaja menyembunyikan identitasnya. Istrinya pun meninggal bukan karena kecelakaan biasa.
Berawal dari saling menyembuhkan luka akibat kehilangan orang tercinta, mereka kian dekat satu sama lain. Akankah cinta terlarang tumbuh di antara Nabila yang penyayang dengan Hextor, mafia mesum sekaligus pria tampan penuh pesona ini? Lalu, siapakah dalang di balik pembunuhan istri Hextor, yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Menahan Amarah
"Pak!" jerit Nabila. "Ucapan adalah doa. Tidak boleh bicara seperti itu," ucapnya dengan nada suara tertahan. Pasalnya teriakannya barusan malah membuat Enzo terkejut dan menangis. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Enzo dalam gendongan agar tangisnya berhenti. "Sayang, jangan menangis ya. Maaf, Mbak teriak-teriak. Kamu kaget ya," ujarnya lembut. Ia mengusap kepala Enzo pelan.
Hextor menghela napas. Ia tak suka didesak apalagi oleh orang seperti Aryo, tapi bagaimana kalau pria itu memang benar-benar membutuhkannya? "Begini saja. Gaji Nabila itu tiga juta sebulan dan aku akan berikan dua juta saja untukmu. Nanti kamu pulang akan diantar oleh anak buahku."
"Tapi, Pak ...." Aryo tampak kecewa.
"Mau atau tidak, terserah! Aku tidak punya waktu lagi untukmu! Aku mau istirahat!!" Rasanya urat nadi di leher ingin meledak. Hextor yang kesal segera berdiri.
"Eh, iya, Pak. Iya-iya. Aku ambil saja." Aryo akhirnya menyerah.
Hextor menyerahkan sekumpulan lembaran uang berwarna merah dari dompetnya.
"Ah, terima kasih, Pak!" Aryo langsung mengantongi dan tampak gembira.
Hextor sedikit curiga tapi ia tak mau berlama-lama dengan pria ini, karena itu ia segera beranjak pergi dan Aryo langsung dibawa pergi oleh anak buah Hextor.
"Eh, tunggu!" Nabila hendak mengejar suaminya tapi tangan Hextor menghentikannya.
"Kamu mau ke mana?" tanya pria itu dingin.
"Saya belum bicara dengan suami Saya, Pak."
"Tidak perlu! Ada pekerjaan yang harus kamu kerjakan! Ingat! Pekerjaanmu dua pertiga bulan ini sudah dibayar duluan, jadi jangan mengecewakanku!" Hextor tampak geram.
Nabila terlihat sedih. "Tapi Saya rindu ingin bicara dengannya." Dilihatnya lagi suaminya pergi dengan riang tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Hextor terpaksa menahan geram hingga rahangnya mengeras. "Suamimu, bukannya harus mengurus ibunya!?" Rasanya gigi gerahamnya terasa pegal saat menahan amarah. Ia tak boleh marah pada Nabila. Tak boleh! Wanita ini tak bersalah. Ia tak boleh jadi pelampiasan sementara suaminya mengambil keuntungan darinya.
Nabila tertunduk. Hextor tak bisa lagi menahan kesal. Ia sempat melihat wanita itu telah berdandan dengan cantik saat menyambut suaminya. Ia begitu dongkol. Kenapa wanita ini begitu mencintai pria yang memanfaatkannya? Kenapa Nabila begitu bodoh, atau ... aku yang cemburu melihatnya?
Hextor berbalik dan bergegas meninggalkan Nabila. Ia menaiki tangga menuju kamar. Setelah itu membanting pintu. Geram rasanya tapi tak bisa ia melampiaskan pada siapa pun.
Didatanginya ranjang tidur dan mengacak-acak selimut. Ia kesal. Matanya yang nyalang mencari benda pelampiasan. Dibukanya lemari untuk mencari ... botol minuman keras. Ia menemukannya di tempat tersembunyi. Diambilnya botol itu dan membuka tutupnya dengan pembuka tutup botol yang ada dalam lemari. Lalu mendekatkan mulut botol itu pada bibirnya tapi ... ia kemudian teringat ucapan Nabila.
Terdengar suara kaca pecah. "Agh ..!!"
***
Nabila melilitkan perban pada punggung tangan Hextor dengan wajah cemas. Ia menoleh pada wajah pria itu yang tampak kehilangan nyawa. Pandangannya tampak hampa dan diam saja ketika Nabila mengobati tangannya. "Pak, Bapak kenapa melukai tangan Bapak dengan botol minuman keras?"
Hextor melirik Nabila dengan pandangan pasrah. "Bukankah kamu melarangku minum minuman keras, kalau tidak kamu akan meninggalkanku? Aku hanya berusaha mengingatkan diriku sendiri agar jangan pernah mencoba minum minuman itu lagi. Hanya itu."
Pandangan pria tampan itu yang tanpa ekspresi, membuat Nabila iba. Gara-gara permintaannya, pria itu berusaha memegang janjinya. Nabila sangat terharu sekaligus merasa bersalah. "Seharusnya aku bisa sekuat dia, tidak rindu pada suami, karena aku tahu, Enzo sangat bergantung padaku. Tapi seharusnya jangan seperti ini, aku jadi merasa bersalah padanya."
Bi Endah yang telah selesai membersihkan pecahan kaca botol minuman keras segera keluar dan menutup pintu. Hextor pun setelah Nabila selesai dengan perbannya, menjatuhkan diri ke samping di sebelah Enzo yang tengah berbaring di ranjang.
Enzo yang sedang menggigit mainannya, melirik sang ayah yang berbaring di samping. Hextor bahkan menyentuh jari mungil Enzo sambil menatapnya.
"Bapak butuh sesuatu? Makan mungkin? Sebentar lagi jam makan malam," tanya Nabila.
Hextor malah memutar tubuhnya memunggungi Enzo. "Tidak. Bawa saja Enzo sama kamu. Aku ingin istirahat."
Walau merasa kasihan, Nabila tak bisa memaksa pria itu dengan keinginannya. Ia pun memasukkan Enzo ke kain gendongan dan pergi sambil membawa kotak obat. Ia sempat melihat pria itu yang masih memunggunginya sebelum menutup pintu.
Hextor merasa bingung. Benar-benar bingung. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia harus ngamuk? Apakah ia benci pada Aryo karena pria itu menyebalkan? Tapi orang itu adalah suami pegawainya, kenapa ia harus peduli? Tidak mungkin 'kan ia jatuh cinta pada Nabila. Nabila istri orang! Ibu sussu Enzo, ... dan apa lagi? "Aku pria yang setia, tak mungkin secepat itu jatuh cinta pada orang lain. Iya 'kan?"
Sunyi. Ia sendiri. Tak ada yang akan menjawab pertanyaannya. Hextor mengacak-acak rambutnya dengan kesal lalu berakhir dengan menghela napas dalam. Ternyata ada juga dalam hidupnya yang tidak ia mengerti. Perasaannya saat ini.
***
Nabila duduk di atas ranjang sambil bersandar pada kepala tempat tidur. Matanya menatap layar ponsel tapi hatinya tidak. Ia tengah memikirkan Hextor. "Haah ...." Wanita itu menurunkan ponsel itu dan kini melamun. "Gara-gara aku, dia jadi marah-marah. Harusnya aku tak mengizinkan Mas Aryo datang padahal Pak Hextor udah bilang gak mau ketemu. Ck! Jadi keganggu 'kan tuh istirahatnya. Mas Aryo juga, kenapa ngeselin sih, pake tambah lagi duitnya. Terima aja kenapa sih, jadi ngamuk 'kan tuh Pak Hextornya."
Nabila keluar kamar menuju dapur, tapi sepanjang jalan ia malah melihat meja makan masih penuh dengan makanan dan tak satu pun disentuh padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
"Bi, Pak Hextor belum makan, Bi?" tanya Nabila saat menemukan bi Endah di dapur.
"Belum turun dari tadi, padahal bibi udah kasih tau dari sejam yang lalu."
"Orangnya nyaut gak, Bi?"
"Nyaut, kok. Katanya, 'nanti dia turun'. Gitu jawabnya." Cerita bi Endah.
"Ketiduran barangkali ya. Coba aku cek dulu." Nabila kemudian mendatangi kamar Hextor. Diketuknya pintu kamar, tapi tak ada jawaban. Pada ketukan ke dua, baru ada suara pria itu menjawab ketukan.
"Ya?" Hextor sendiri yang membuka pintu. Pria itu tengah mengancingi baju piyamanya. Bajunya yang setengah terbuka, memperlihatkan tubuhnya yang atletis di bagian dalam.
Seketika jantung Nabila berdebar melihat kulit putih pria itu dan sedikit kekar. Apalagi ujung rambutnya sedikit basah karena habis mandi. "Eh, Bapak tidak makan?"
"Iya, ini mau makan."
"Oh, ya udah." Nabila membalik tubuhnya, tak ingin melihat pemandangan itu lebih lama.
"Eh, tunggu."
"Ya?" Nabila menoleh.
"Eh, bisa temani aku makan. Aku malas makan sendirian."
"Oh, i-iya, Pak," sahut Nabila sedikit sungkan.
Hextor menutup pintu dan turun diiringi Nabila. Bau sabun dan parfum lembut yang menguar dari tubuh Hextor sempat melenakan Nabila yang mengekor dari belakang. Ia sampai bisa menandai, pria itu suka wewangian berbau kayu-kayuan hutan hujan tropis yang menenangkan.
Mereka kemudian duduk di sudut meja hingga bisa berhadapan dan berdampingan. Sesaat Nabila bingung karena pria itu memandanginya. "Eh, Bapak tidak makan?"
"Kamu cantik juga didandani."
"Apa?" Wajah Nabila seketika memerah. "Bapak bicara apa?" Ia menunduk karena malu.
Bersambung ....
❤❤❤❤❤
kalo suka bilang aja...
keburu diambil sergi..