Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 7
Fajar baru saja merekah di atas langit Azzarkh ketika Liora melangkah kembali ke paviliun Yasha. Tubuhnya lunglai, wajahnya kusut, seolah seluruh tenaga terkuras habis semalam. Para dayang dan pelayan yang berjajar di lorong berlapis batu obsidian itu menundukkan kepala memberi hormat, namun tatapan mereka yang tersembunyi menyimpan bisikan-bisikan penuh prasangka.
“Lihat wajah Selir An Yu, ia tampak sangat letih,” bisik seorang pelayan tua.
“Tentu saja. Raja Azrakel pasti membuatnya melewati malam penuh gairah.” sahut pelayan muda dengan nada geli.
Mereka terkikik lirih, tanpa menyadari bahwa Liora yang berjalan dengan langkah gontai itu mendengar jelas bisikan mereka. Pipinya memanas, bukan karena malu, melainkan karena kesal. Mereka semua salah. Malam itu bukanlah malam penuh gairah, melainkan malam penuh teror.
Malam yang Tak Terlupakan
Ingatannya masih jelas. Ia bisa merasakan kembali dinginnya ruangan pemberkatan.
“Jangan… aku mohon!” jerit Liora, tubuhnya gemetar terpojok di sisi ranjang hitam berhias ukiran naga.
Azrakel, Raja Azzarkh yang mengenakan topeng hitam berukir sigil kuno, mendekat dengan senyum setengah menyeringai. Aura kekuasaan yang menyelimuti tubuhnya membuat ruangan itu seakan menyempit, menekan dada Liora.
“Apa kau benar-benar takut padaku, Liora?” suaranya rendah, namun menusuk seperti belati.
Liora menutup mata rapat-rapat. “Perjalananku masih panjang… aku belum siap. Jangan lakukan ini…”
Azrakel tertawa pendek, nadanya menertawakan sekaligus menantang. “Hei, aku bukan ingin membunuhmu.”
“Tapi… kalau kau meniduriku, itu sama saja kau membunuhku!” jawab Liora terbata, kata-katanya terburu-buru karena takut.
Senyum Azrakel melebar di balik topeng. Setiap kata Liora seakan menjadi hiburan baginya. “Kau tidak punya hak untuk menolak. Aku rajamu, dan kau adalah selirku.”
Liora berani menantang balik, meski suaranya gemetar. “Kalau kau lakukan itu, aku akan berteriak! Aku akan bilang kalau Raja Azrakel memperkosaku!”
Tawa Azrakel meledak. “Silakan, Selir An Yu. Teriaklah sepuasmu. Kau tampaknya lupa, ini adalah istanaku, kerajaanku, dan Azzarkh tunduk padaku. Tidak ada yang berani melawan kata-kataku.”
Kata-kata itu menghantam dada Liora. Benar. Ia tidak punya siapa pun untuk melindunginya. Dunia manusia telah mengkhianatinya; ayahnya lebih memilih Selena, kakaknya, untuk hidup bebas sementara ia dijadikan tumbal ke dunia gaib ini. Dan kini, di Azzarkh, ia kembali dipaksa tunduk pada kekuasaan laki-laki yang congkak.
Kedua tangannya mengepal. Dalam hati ia mengutuk dua dunia yang ia pijak. Dunia manusia maupun dunia gaib, keduanya sama saja, penuh ketidakadilan.
“Dasar… Raja cabul!” spontan Liora mengayunkan tangannya, menampar wajah Azrakel yang terlindung topeng.
Suara tamparan menggema. Sejenak ruangan hening. Mata Azrakel berkilat marah, napasnya memburu. Liora menahan napas, yakin ia baru saja menandatangani hukuman mati.
Namun, alih-alih murka, Azrakel terdiam menatap gadis muda itu yang kini sudah terduduk lemas, menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis.
Suara tangisnya pecah, lirih tapi memilukan. “Seharusnya, bukan aku yang ada di sini. Ayahku lebih menyayangi Selena. Harusnya dia yang menjadi selir, tapi aku yang disuruh menggantikannya…”
Liora terisak, bahunya terguncang. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, ekspresi Azrakel melembut, atau setidaknya, tidak lagi sekejam sebelumnya.
“Aku tidak akan melakukan apa pun padamu malam ini,” katanya akhirnya, suaranya datar namun membawa ketegasan. “Berhentilah menangis. Tidurlah.”
Liora menatapnya, matanya masih basah. “Kau… tidak akan menyentuhku?”
“Aku adalah Raja Azzarkh. Ucapanku adalah hukum. Aku tidak akan mengingkarinya.”
Meski hatinya masih berdegup kencang, Liora memilih percaya. Ia menutup mata, bersandar di ranjang, mencoba tidur. Namun malam itu berjalan begitu lambat, setiap detiknya seperti duri yang menusuk kulitnya.
“Kenapa kau tidak tidur?” suara Azrakel memecah keheningan.
Liora diam.
“Kau takut kalau aku akan menyentuhmu saat kau tertidur?” Nada suaranya kembali menggoda.
Mata Liora membelalak, tubuhnya menegang. Azrakel tertawa pendek. “Kalau begitu, jangan tidur. Atau… aku benar-benar akan menidurimu.”
“Aku mohon…” bisik Liora, memeluk tubuhnya sendiri.
Senyum Azrakel melengkung, puas melihat ketakutannya. “Begitu mudah membuatmu menangis. Aku hanya mempermainkanmu, Selirku. Aku tidak akan menyentuh wanita yang tidak siap.”
Liora terdiam, hatinya terbakar marah. Jadi sejak awal… semua ini hanya permainan baginya.
Kembali ke Paviliun Yasha
Sesampainya di paviliun Yasha, Liora langsung menjatuhkan tubuhnya ke kasur empuk yang baru beberapa hari ini menjadi miliknya. Rasa lelah menekan seluruh tubuh. Ia tidak tidur semalam, hanya bergulat dengan rasa takut dan tangisan.
Namun gosip di luar sana telah menyebar dengan cepat. Para pelayan percaya bahwa ia telah melalui “malam pemberkatan” penuh gairah bersama Raja. Sementara kenyataannya, ia hanya menjadi mainan untuk dipermainkan.
Dengan lahap, Liora menyantap sarapan yang dibawakan pelayan. Ia makan tanpa peduli sopan santun, lebih pada rasa laparnya yang menumpuk semalaman. Dalam hatinya ia bertekad: Aku akan membalasnya. Azrakel harus merasakan apa yang ia lakukan padaku.
Tapi ada satu hal yang membuatnya semakin penasaran. Wajah Azrakel. Topeng hitam itu selalu melekat pada wajahnya, tak pernah dilepas di depan siapa pun. Seperti apa sebenarnya wajah sang Raja?
“Vaelis,” panggilnya sambil meneguk air.
“Ya, Putri?” sahut Vaelis, dayang setianya.
“Apa kau pernah melihat wajah Raja?”
Vaelis menunduk. “Tidak, Putri. Tidak seorang pun di antara kami pernah melihatnya.”
Dreya menambahkan, “Hanya beberapa orang tertentu di istana yang mengetahui wajah beliau. Salah satunya Nyonya Malvera.”
Liora terdiam. Jadi benar, ada seseorang yang tahu rahasia itu.
“Kenapa Raja memakai topeng?” desaknya.
Vaelis dan Dreya saling pandang, ragu untuk bicara. Akhirnya Dreya berbisik, “Ada desas-desus… katanya wajah Raja memiliki bekas luka parah. Konon ia terkena pedang Kaisar sewaktu kecil.”
Mata Liora membesar, lalu tawa kecil lolos dari bibirnya. “Jadi benar wajahnya jelek. Tepat seperti yang kubayangkan.”
Dalam hati ia tersenyum sinis. Itu kelemahanmu, Azrakel. Aku akan membalas dengan itu.
Tak lama setelah makan, kantuk berat menyerangnya. Ia menyerah, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam tidur panjang.
Gosip yang Membara
Menjelang sore, Liora bangun dengan wajah lebih segar. Namun para pelayan sudah terlebih dulu menyebarkan kabar. Mereka melihat Selir An Yu bangun kesiangan dengan wajah kusut, dan gosip tentang “malam panas” semakin berkembang.
Beberapa dayang berseru lirih di luar paviliun, “Putri tampak pucat. Pasti Raja Azrakel benar-benar hebat semalam.”
Yang lain menimpali dengan cekikikan.
Liora mendengar sekilas, tapi ia memilih diam. Ia akan membiarkan mereka berpikir apa pun. Yang penting, ia harus mencari cara untuk bertahan.
Sore itu, Vaelis dan Dreya mengajaknya ke sebuah tempat rahasia yang katanya hanya boleh disentuh oleh Putri. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi bebatuan hitam berkilau, di sisi kanan-kirinya menjulang bunga-bunga ungu yang seakan menyala dalam temaram.
“Masih jauh?” tanya Liora sambil menguap kecil.
“Tidak, Putri. Kita hampir sampai,” jawab Vaelis lembut.
Beberapa langkah kemudian, pemandangan yang menakjubkan membuat Liora terdiam.
Sebuah danau luas terbentang, airnya jernih berkilau seperti kaca hitam, memantulkan cahaya bulan yang baru muncul. Di permukaan danau, terapung ribuan bunga berwarna biru keperakan, mekar perlahan seperti bernapas. Setiap kelopaknya memancarkan cahaya lembut, membuat seluruh danau tampak seperti samudra bintang yang terbalik.
“Indah sekali…” Liora berbisik kagum.
Dreya tersenyum. “Tempat ini bernama Danau Bunga Malam. Airnya hanya bisa disentuh oleh para darah kerajaan. Jika yang memiliki darah kerajaan masuk, bunga-bunga ini akan bereaksi.”
“Bereaksi?” Liora menoleh, bingung.
“Iya,” jawab Vaelis. “Bunga-bunga itu akan menyerap luka, kesedihan, dan kelelahan, lalu mengembalikannya menjadi kekuatan.”
Mata Liora berkilat, bukan hanya karena keindahan, tapi juga karena rasa ingin tahu. Tanpa ragu, ia menurunkan kaki ke dalam air yang hangat, lalu melangkah masuk. Seketika, bunga-bunga di permukaan bergerak mendekat, mengelilinginya. Kelopaknya bersinar lebih terang, menempel lembut di kulit Liora seperti menyambut seorang ratu.
“Astaga…” Liora terperangah. “Mereka hidup… mereka merespons aku.”
Vaelis dan Dreya saling pandang, sejenak bungkam. Mereka tahu legenda lama, hanya pewaris sejati yang bisa membuat Danau Bunga Malam menyala sepenuh hati.
Liora tertawa kecil, berputar-putar di tengah danau, rambutnya terayun bebas, cahaya bunga menari di sekitarnya. Untuk sesaat, semua beban yang ia rasakan seakan sirna.
Namun di balik senyum itu, tekadnya menguat, berdenyut bersama cahaya bunga yang merangkul tubuhnya.
“Aku akan bertahan di sini.”
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪