(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan gairah +
Michelle sudah berganti dengan piyama. Tubuhnya beberapa kali berbaring di tempat tidur, matanya mencoba memejam namun gelisah tetap menguasai pikirannya.
Ia memilih menyalakan televisi dengan setengah hati, layar yang seharusnya memberi hiburan malah semakin menambah kegelisahannya. Suaminya belum juga pulang.
Reflek
Tangannya terangkat memegang dadanya, merasakan nyeri yang menusuk. “Astaga, aku belum memompa ASI sejak sampai di sini,” pikirnya panik.
Ia buru-buru menggeledah tasnya, harap-harap cemas mencari alat pompa yang seharusnya dibawa. Tapi, benda itu tak juga ditemukan. Pikiran Michelle berlari tak karuan. Ia berjalan mondar-mandir, kuku-kukunya tak henti-henti digigit.
Salju di luar jendela terus turun, suhu yang dingin malah tak bisa menembus hawa panas cemas dalam dirinya. “Bagaimana bisa aku lupa membawa pompa ini?” gumamnya lirih.
Dengan langkah pelan dan tenang, berusaha menutupi kegelisahannya, Michelle meninggalkan kamar. Kakinya terus berjalan, berhenti di depan pintu kamar Celine, kakak iparnya.
Dengan tangan yang gemetar, Michelle mengetuk pintu itu pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Celline dengan baju tidur dan wajah cerah yang menandakan dia belum tidur.
“Ada apa, sayang?” tanya Celline, matanya yang hangat menatap Michelle yang tampak gelisah.
Michelle menggigit bibir bawahnya, suaranya bergetar saat berkata, “Tante, tolong… bantu aku.”
Celline segera melangkah keluar sambil menutup pintu, alisnya berkerut cemas. “Bantu bagaimana, sayang?”
Michelle mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Celline. Mata wanita paruh baya itu membelalak seketika, lalu wajahnya berubah serius.
“Ya ampun, kau pasti lupa, ya?” celoteh Celline pelan, tangannya mengusap lembut lengan Michelle. “Kau ke kamar dulu, aku akan suruh pengawal beli itu,” ucapnya menenangkan.
Michelle hanya mengangguk pelan, lalu menunduk pelan melangkah ke kamar.
Celline segera berjalan keluar, matanya menyapu mencari pengawal atau pelayan laki-laki. Di depan mansion, dia melihat seorang pengawal berdiri tegak.
“Kemari!” perintahnya dengan suara tegas. Pengawal itu segera melangkah mendekat, menundukkan kepala hormat di hadapan Celline.
Udara menggigit tulang, salju turun semakin deras, membekukan setiap inci yang disentuhnya. Celline memeluk tubuhnya dengan erat, matanya tak lepas menatap sosok pengawal yang berdiri tegap di hadapannya.
“Kau harus segera membeli pumping di supermarket terdekat. Aku membutuhkannya, sekarang juga!” suaranya penuh desakan.
“Maaf, Nyonya. Semua jalan tertutup salju. Tim SAR sedang melakukan evaluasi kondisi.”
Celline menatap tajam, “Jadi, mobil atau sepeda motor tidak bisa menerobos? Kalau jalan kaki, kau sanggup?”
“Ini sangat mendesak, demi keselamatan seseorang.”lanjutnya lagi.
“Beri saya waktu 30 menit, nyonya. Saya akan mengusahakannya,"balas pengawal itu.
"Lakukan sekarang! Jika kau kembali tepat waktu bonus akan menanti dirimu”
Pengawal itu mengangguk, langkahnya mantap meninggalkan mansion, mengenakan mantel tebal.
Celline menghela napas panjang, menutup wajahnya yang penuh kecemasan.
Mudah-mudahan dia bisa menahannya.
Bagaimana mungkin Rio belum juga pulang? Apakah dia benar-benar tak tahu kondisi tubuh istrinya saat ini?
Seketika itu pula, sebuah mobil memasuki halaman mansion—sang adik. Sebuah harapan, sekaligus kelegaan, karena hanya Alfred yang bisa membantu istrinya.
Alfred dan Nicholas keluar mobil, segera melangkah ke Celline yang berdiri di depan pintu. "Kenapa kakak di luar?" tanya Alfred, nada suaranya penuh kecemasan.
Nicholas mengernyit, ikut menghampiri, sementara Celline menatap tajam ke arah Alfred.
"Bagaimana bisa kalian bisa sampai ke sini? Menerobos tim SAR?" Celline berkata seolah sudah hafal kelakuan adik bungsunya itu.
Nicholas menepuk bahu Alfred pelan,"Ini sudah kebiasaan dia," ucapnya singkat sebelum terlebih dahulu masuk.
Celline menatap Alfred dengan mata menyelidik. "Kau mabuk?"
Alfred mengangguk lesu, suaranya serak. "Sedikit..."
"Sedikit apa? Kau mengemudi dalam keadaan mabuk? Pasti kau memaksa kakakmu, kan?" Seloroh Celline dengan tajam, menunjukkan kemarahan yang tersimpan.
"Sudahlah, kak," jawab Alfred, memijit pelan kepalanya. "Pusing sekali..." Ia memiringkan wajah, lalu bertanya kebingungan, "Terus kenapa kakak di luar? Apa yang terjadi?"
Celline menarik napas dalam. "Kau lupa istrimu yang harus memompa ASI. Dia terlihat ragu mau minta tolong ke kakak. Seharusnya kau yang mengeluarkannya. Kalau terlambat, itu bisa berakibat buruk."
Alfred tidak berkata apa-apa, matanya berubah khawatir. Dengan langkah goyah, ia segera masuk ke dalam mansion. Tubuhnya sempoyongan, langkahnya cepat menanjak ke lantai atas, menembus kamar meski pengaruh alkohol masih terasa.
Sementara, Michelle duduk di tepi ranjang, wajahnya menelengkup di antara lipatan kaki dan tangan, isakan tangisnya tertahan rapat. Air mata mengalir tanpa suara, membasahi pipi yang mulai membengkak.
Perlahan ia bangkit, mondar-mandir di depan jendela, kebiasaan yang muncul saat kegelisahannya memuncak. Matanya merah, seolah menolak berhenti menetes.
Tiba-tiba pintu terbuka. Michelle menoleh dengan refleks, menebak itu kakak iparnya membawa pumping. Tapi yang muncul justru suaminya. Dadanya tiba-tiba sesak, air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah.
Alfred melepaskan mantel dan kaos yang dikenakannya, terasa hangat udara di kamar saat dadanya terbuka, memamerkan otot-ototnya.
Ia duduk di sofa, lalu melambaikan tangan. "Kemari!" ajaknya lembut.
Michelle berdiri membeku, air mata terus mengalir, jari-jarinya gemetar saat meremas kain piyama. Langkahnya terasa berat saat mendekati suaminya.
Alfred menarik tangannya pelan, membuatnya terjatuh di pangkuan, saling berhadapan. Jantung Michelle berdegup kencang, sekaligus sangat terkejut. Reflek, ia mencengkeram kedua bahu suaminya.
Alfred menggenggam ujung piyama istrinya dengan jemari yang lembut. "Aku akan membantumu mengeluarkan asi," bisiknya pelan, napasnya terasa berat saat menarik kain itu perlahan ke atas.
Namun, tangan kekarnya tersentak oleh sentuhan kecil Michelle yang wajahnya sudah merah membara, tertutup malu.
"Tapi aku... aku malu..." suaranya melemah.
"Tak perlu malu," Alfred merendah, suaranya hangat dan menenangkan. "Aku suamimu, yang seharusnya merawatmu, bukan?"
Tanpa ragu, dia kembali menarik baju Michelle hingga tersingkap separuh, menyisakan bra yang membungkus indah tubuh mungil itu.
Michelle menunduk, tubuhnya bergetar malu, tangan mungilnya menyilang di dada seolah melindungi harta paling berharga.
Alfred menelan ludah kasar, pandangannya membara mengagumi lekuk tubuh istrinya yang begitu menggoda. Dengan jari-jari gemetar, ia mulai membuka pengait bra itu, setiap gerakannya penuh gairah dan rasa ingin tahu yang membakar.
"Lepaskan tanganmu," suara Alfred rendah, menggoda. "Bagaimana aku bisa menghisapnya kalau kau terus menutupinya?"
Alfred menggeser tangan Michelle dengan hati-hati. Matanya tetap terpaku, membiarkan gairah bermain di antara kedua matanya.
"Om, jangan lama-lama memandangnya..." Michelle memelas, suaranya bergetar, takut dan malu bercampur menjadi satu.