Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Tiga bulan sudah berlalu, ketukan palu hakim terdengar jelas bahwa keduanya sudah resmi bercerai, di dalam ruang sidang hakim memperlancar gugatan Sena karena memang dari pihak Dirga tidak pernah datang ataupun mempersulit proses persidangan, entah kenapa selama tiga bulan ini pria itu seolah menghilang tanpa kabar.
Entah sengaja tidak memberi kabar ataupun membiarkan perpisahan ini terjadi, Sena pun tidak mau ambil pusing, yang terpenting saat ini ia sudah mengantongi surat perceraian dan hidupnya sudah terbebas dari Dirga, pria yang ia nikahi selama delapan tahun ini.
"Sen, selamat ya, akhirnya kau terbebas dari suami yang egois," ucap Siska sahabat sekalipun pengacara Sena.
"Sama-sama, semua ini atas bantuan kamu Sis," sahut Sena.
"Itulah guna sahabat, oh ya kamu mau tetap tinggal di kontrakan atau nyewa perumahan gitu, biar gak terlalu sumpek," kata Siska menawari.
"Gak usah repot-repot Sis, anakku sudah terlalu nyaman tinggal di kontrakan kecilku," sahut Sena dengan senyum simpul.
"Ok, tapi ingat ya kalau butuh bantuan jangan lupa hubungi aku! Ingat aku harus tahu kesedihanmu," ucap Siska sedikit tegas.
"Iya-iya," timpal Sena.
Tidak terasa langkah mereka sudah sampai di parkiran pengadilan agama, mereka mulai memasuki mobil masing-masing, dan saling berpamitan dengan penuh haru.
"Sena, maaf ya hanya bisa antar sampai sini," ucap Siska dengan tatapan haru.
"Kau gak boleh nangis ya! Aku bahagia kok," ujarnya sambil menepuk lengan sahabatnya.
"Enggak aku gak bagus kok, dan titip salam untuk di kecil," ucap Siska.
Mereka pun saling berpelukan sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil masing-masing.
☘️☘️☘️☘️☘️
Mobil yang di kendarai oleh Sena sudah sampai di kontrakan kecilnya, meskipun kecil namun cukup tenang, dan yang lebih membuatnya bahagia sang anak langsung bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Sena mulai masuk, kedalam rumah kecilnya dengan perasaan yang cukup lega, akhirnya ia bisa melewati rasa sakitnya dengan cara bekerja, membuat kerajinan tangan yang begitu indah. Dengan memandangi bunga-bunga hasil kreasinya sendiri seolah membuat rasa sakitnya terobati.
"Alhamdulillah akhirnya aku bisa berdamai dengan semua ini. Mas Dirga, selama delapan tahun ini aku sudah menemanimu dari kau mulai merintis usaha itu, dan sekarang kau sudah sukses, meskipun sekarang tujuanmu bukan aku, aku sudah ikhlas, sekarang kita jalani hidup masing-masing," ucapnya penuh dengan kelengahan.
Satu jam kemudian, Sena mulai kembali lagi dihadapan alat-alat bunganya, di hari ini pesanan mulai membeludak, tak jarang, ia selalu merasa pening dan juga muntah-muntah, mungkin efek kecapean dan sedikit telat makan.
"Hari ini aku harus lebih giat lagi bekerja dan rajin membuat video, siapa tahu bulan depan dapat monetisasi dari Mbak Meta, karena konten-kontenku, sudah banyak yang menonton," monolognya sendiri penuh dengan harap.
Jemari lentik itu mulai menekuk-nekuk kawat bulu dengan perkiraannya sendiri, sehingga menghasilkan bunga-bunga yang cantik pesanan customernya itu.
"Wah bunga tulipnya nampak indah dengan warna merah maron yang menyala," ucapnya penuh bangga.
Sambil membuat bunga ia pun tak lupa membuat video step demi step, agar penonton tahu caranya dengan rinci, ia tak pelit ilmu semunya ia beri tahu agar irang-orang yang menonton videonya cepat paham dan mengerti.
Di tengah-tebgah ia membuat bunga, tiba-tiba saja rasa mual itu datang lagi kali ini begitu kuat, sampai-sampai Sena tidak bisa menahannya.
Wanita cantik itu segera menyudahi aktivitasnya ia berlari menuju ke dalam kamar mandi, dan memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya.
"Ueeeegh ... Ueeeegh." Semua isi perutnya keluar.
"Ya Allah ini ada apa? Apa aku diserang mag, karena telat makan," ucapnya sendiri.
Setelah keluar dari kamar mandi, Sena pun menjadi lemas, beruntung, beberapa sudah ia buat, tinggal merangkainya saja dengan batang dan daunnya.
"Hari ini aku tidak bisa lanjut mungkin besok, kepalaku pening." gumamnya.
Sena mencoba membaringkan tubuhnya diatas kursi panjang yang ada di ruang tamu, nafasnya memburu, namun di dalam perutnya sudah tidak terasa muak lagi, dan tanpa terasa pintu rumahnya di ketuk dengan suara salam yang selalu ia rindukan.
"Tok ... Tok ... Assalamualaikum Mama," suaranya lembut penuh dengan semangat.
"Walaikum salam anak cantik," sahut Sena dengan nada lemas.
Seketika Ara merasa terkejut mendengar suara lemas yang keluar dari bibir ibunya, sontak anak itu menempelkan tangannya di kening ibunya.
"Ma, kenapa? Kok muka Mama pucat, padahal tubuh Mama tidak panas," ucap anaknya itu bingung.
"Sayang, Mama tidak kenapa-napa," sahut Sena.
Namun Ara tidak percaya, anak itu kekeuh menyuruh sang ibu untuk pergi periksa ke dokter. "Ma, aku tidak mau Mama sakit, lebih baik Mama periksa yuk aku antar ke klinik terdekat saja."
Sena terenyuh melihat perhatian kecil dari sang anak. "Sayang, Mama tidak kenapa-napa," sahut Sena.
"Enggak Ma, Mama harus periksa," kata anaknya itu.
Karena merasa tidak tega akhirnya Sena mengikuti kemauan anaknya meskipun ia sendiri merasa baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian akhirnya mereka berdua sudah siap untuk pergi ke klinik, kaki ini Ara bertingkah lebih cerewet layaknya orang yang sudah dewasa, mungkin karena di dunia ini ia hanya punya ibu, sedangkan ayahnya susah tidak mau tahu lagi, bahkan susah tiga bulan ini Dirga tidak pernah menemui anaknya padahal mereka tinggal tidak terlalu jauh, masih satu kota hanya beda kecamatan saja.
"Ma, kuat gak nyetir mobilnya kalau tidak kuat kita panggil gojek saja, atau naik becak, kebetulan teman aku bapaknya pengayuh becak," ucap Ara yang sedikit merasa Iba, terhadap ibunya.
"Enggak Sayang, Mana masih kuat nyetir kok," sahut Sena.
Keduanya masuk kedalam mobil, Sena mencoba melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, di dalam perjalanan terlihat jelas raut wajah Ara yang begitu mengkhawatirkan ibunya, namun berulang kali Sena menjelaskan kalau dirinya baik-baik saja.
"Nak susah jangan khawatir Mama baik-baik saja, lihat saja Mama masih kuat menyetir kan?" jelas. Sena.
Ara mengangguk sedikit tenang, namun pelukan tangan kecilnya tidak terlepas dari tubuh ibunya.
Setelah melewati perjalanan beberapa menit akhirnya mobil sudah sampai di depan klinik yang didominasi dengan warna putih itu, langkah kaki Sena mulai memasuki lorong klinik sambil menggandeng tangan sang anak, entah kenapa di saat sudah tiba di ruang tunggu jantung Sena berdebar kencang seperti ada yang ingin datang di kehidupan keduanya, tapi siapa Sena pun merasa bingung sendiri dengan perasaan ini.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya nama Sena dipanggil ia pun langsung masuk ke ruang pemeriksaan ditemani dengan anaknya.
"Silahkan masuk Bu," ucap perawat itu dengan ramah.
Sena mengangguk, setelah itu dokter mulai bertanya tentang keluhan pasiennya. "Ibu ada keluhan apa?" tanya dokter itu sebelum memeriksa.
"Akhir-akhir ini kepalaku cepat pening dan di susul muntah Dok," sahut Sena.
"Muntah?" tanya dokter, seperti tidak asing dengan keluhan pasiennya itu namun ia masih belum berani bicara apa-apa.
"Iya," sahut Sena.
"Ya sudah kalau begitu kita periksa dulu," ucap dokter muda itu.
Ruang periksa itu terasa sejuk oleh hembusan pendingin udara. Aroma antiseptik samar memenuhi udara. Di atas ranjang periksa, Sena duduk dengan wajah pucat, satu tangannya memegangi perut, sementara dokter muda berjas putih sedang mempersiapkan alat tensi.
“Baik, Bu Naira, saya periksa dulu tekanan darahnya, ya,” ucap dokter Rafli dengan nada tenang. Ia menggulung sedikit lengan pasiennya, lalu melilitkan manset tensimeter di sekitar lengan kiri Naira. Suara alat itu terdengar pelan, cesss... klik... klik... saat dokter mulai memompa.
Sena menatap kosong ke arah lantai, merasa kepalanya sedikit berputar.
“Tekanan darahnya sedikit rendah, 95 per 65,” gumam Rafli sambil mencatat. “Ibu juga bilang akhir-akhir ini sering mual dan muntah, ya?”
Sena mengangguk lemah. "Iya dok."
Rafli menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian. “Baik, saya sarankan kita lakukan tes urin sebentar, untuk memastikan penyebabnya. Bisa jadi karena maag, kelelahan, atau mungkin faktor lain.”
Beberapa menit kemudian, setelah Sena menyerahkan sampel urin, Rafli kembali masuk dengan selembar hasil di tangannya. Ada jeda kecil sebelum ia berbicara.
"Ibu Sena, dasi hasil tes urin ini Anda dinyatakan positif," ujarnya.
"Positif," sahut Sena bingung.
“Ya,” Rafli mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Ibu sedang hamil.”
Seketika dunia Sena seperti berhenti berputar, ia tidak tahu harus bahagia atau tidak, kenapa setelah ia memutuskan untuk berpisah, kehidupan lain tumbuh di dalam rahimnya.
Bersambung. ....
janji "aja tuh