Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasih Kesempatan
“Tuh kan, gue bilang apa. Pacaran juga kan lo berdua.”
“Cuma tiga bulan.” di seberang sana Nora tergelak.
“Halah. Paling setelah tiga bulan bos lo itu makin bucin, terus nggak peduli lagi lo lagi hamil anak orang kek, anak onta kek, anak bebek, dia tetep kekeuh maunya lo.”
“Sembarangan. Anak gue anak manusia ya. Produk campuran nih.”
“Dih, kayak inget aja siapa bapaknya.” Amori berdecak. Tapi bibirnya tak berhenti tersenyum. Jauh di depannya, ia melihat Lucas yang melakukan selebrasi untuk yang kesekian kali karena berhasil mencetak angka. Permainan timnya semakin hari semakin baik. Semakin kompak dan menurut Tyler, sudah bisa disebut sebagai tim nasional yang cukup matang.
“Tapi jujur Mor, gue seneng banget denger lo bisa ketawa lagi. Suara lo beda, ngerti ngga?”
“Beda gimana?”
“Ya beda aja. Lebih, hidup. Lo tuh, semenjak pulang dari Sumba kayak orang yang hilang arah, tau nggak? Kayak orang yang lupa cara bahagia. Ketawa lo, senyum lo, semuanya keliatan kayak lo usaha banget buat nunjukinnya. Tapi beberapa hari terakhir ini lo udah mulai cerah. Udah bisa diajak bercanda juga.”
Amori terdiam. Pandangannya masih mengikuti Lucas yang fokus pada pertandingan. Mata pria itu terlihat tajam, dan tangannya dengan lincah menerima operan bola dari rekan setimnya. Untuk sejenak Amori benar-benar menyerahkan otaknya hanya untuk mengagumi Lucas.
“Mungkin, karena Lucas emang orang yang mengagumkan banget, Nor. Dia, selalu bisa bikin suasana menyenangkan dan hangat.” gumamnya. Dan meskipun di tengah keramaian, Nora masih bisa mendengar jelas nada bicara Amori yang terdengar sangat tulus.
“Embrace him, Amori. Biarin dia ada di hidup lo. Perjuangin dia sekeras mungkin karena dia pantas. Dia bikin lo bahagia kan? Dan kalau nanti hasilnya nggak sesuai, nggak apa-apa. Gue kan, tetep disini. Nggak akan ninggalin lo.”
Amori menghela. Senyumnya berubah redup, tapi tetap tulus untuk Lucas yang sempat menengok ke arahnya dan mengedipkan mata. “I think—I will, Ra.”
“Hah?” pekik Nora tak yakin. “Ini, serius Amori si ratu drama yang bilang? Wait wait, harus direkam. Coba ulang.” Amori terkekeh.
“Apaan sih. Berlebihan deh.” Nora berdecak dan tetap menyuruhnya untuk mengulang apa yang sebelumnya ia katakan. “Iya intinya, gue mau coba. Tapi pelan. Jangan paksa gue pakai cara nekat versi lo.”
“Ah, lo ngomong mau nyoba aja udah bikin gue hampir jantungan. Gapapa-gapapa, pelan-pelan Amori. Yang pasti omongan lo tadi udah gue rekam, dan lo harus bayar gue dengan sangat mahal kalau lo akhirnya nggak ngelakuin satupun usaha dalam tiga bulan ini.”
“Iya, bawel.” mereka tertawa. Nora memberikan banyak pujian pada Amori sampai-sampai ibu hamil itu hampir muntah saking kenyangnya. Tangannya sesekali menyentuh perutnya. Kehamilannya yang sudah genap empat bulan tergolong kecil dan masih bisa ia tutupi. Tapi semakin kesini, Lucas semakin senang memeluknya. Jadi cepat atau lambat pria itu pasti akan peka dan mengetahui rahasianya.
Tapi bukan lagi ketakutan yang Amori rasakan setiap kali membayangkan respon Lucas ketika mengetahui tentang kehamilannya. Pria itu pasti akan kaget, dan kecewa. Pria itu juga pasti akan merasa dibohongi. Tapi semakin mengetahui sisi hangat Lucas, sisi naif Amori menang dan ia berpikir bahwa Lucas mungkin tidak akan langsung mengusirnya. Mereka mungkin akan memiliki cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah. Setidaknya Lucas mungkin akan membiarkan Amori bicara.
Entahlah, Amori merasa konyol. Tapi pikiran bahwa Lucas akan menerima segala sisi buruknya muncul karena sikap hangat pria itu sendiri.
Begitu pertandingan selesai, Lucas langsung berlari ke arahnya. Wajahnya basah oleh keringat, tapi senyumnya terlalu tulus untuk tidak disambut. “Kamu lihat tadi? Kita menang jauh.” Amori terkekeh ketika Lucas dengan jahil memberikan kecupan basah di pipinya.
“Lihat. Kalian main keren banget. Kamu juga nyumbang poin banyak banget.” katanya sambil menyodorkan botol minum dan sebuah handuk.
“Kalau tiap latihan kamu nonton, saya bisa main sepuluh kali lebih bagus.”
Satu alis Amori naik, berniat menggoda Lucas yang terlihat kelewat semangat. “Oh ya? Terus kalau saya nggak nonton, kamu jadi main jelek?” pria itu tergelak lalu menggeleng.
“Nggak. Saya nggak tega kalau kamu diomelin Tyler nanti.” Lucas membawa Amori ke dalam pelukannya. Pelukan erat nan hangat, dan membuat Amori ikut membalasnya dengan suka rela.
“Belakangan ini semua rasanya berjalan mulus banget. Pertandingan, pemulihan cedera saya, hubungan saya sama kamu.” Lucas menjeda sejenak. Ia meresapi rasa hangat yang berasal dari tubuh Amori dengan lamat. “Saya harap ini awal dari sesuatu yang baik. Saya happy sekali, Amor.”
Kebahagiaan yang Lucas rasakan dengan mudah ikut Amori rasakan. Karenanya, janji yang sebelumnya ia ucapkan pada Nora menguat. Amori ingin mencoba memberikan Lucas kepercayaan untuk menjaga rahasianya. Tapi Amori butuh waktu. Karena seperti yang Lucas katakan, semuanya sedang berada di posisi sempurna, dan rasanya tidak adil jika Amori menjatuhkan bom di tengah kesempurnaan itu.
***
“Kamu jadinya gimana sih Dam? Bener baik-baik aja, sama Amori?” makan malam di kediaman Damian berlangsung hangat. Awalnya. Sebelum topik tentang Amori dicetuskan oleh Kinan, adik Damian yang memang sudah beberapa kali bertemu dengan Amori.
“Ya baik, Mah. Namanya orang sibuk kerja. Apalagi sekarang kliennya atlet timnas yang lagi persiapan tanding. Sabar aja sih Mah.”
Kinan yang sejak awal hanya menyimak kini menatap sang kakak penuh curiga. Tangannya masih bergerak menyuap makanan, tapi matanya tak lepas dari Damian yang terlihat menghindari tatapan siapapun.
“Jadi laki-laki itu harus bisa memimpin hubung, Damian. Kamu sudah mapan, kalau sudah yakin dengan gadis itu langsung saja nikahi. Jadi dia tidak harus kerja lagi dan sibuk dengan urusannya sendiri.” kini sang kepala rumah tangga yang mulai mengultimatum Damian.
“Ih, Papa tuh. Mbak Amori itu memang suka kerja, suka masak. Dia pernah kok, ngomong sama Kinan. Katanya bisa punya kerjaan di bidang yang dia sukain itu sebuah keberuntungan. Jadi mana mau Mbak Amori disuruh berhenti kerja cuma karena nikah sama Kakak.” gerutu Kinan.
“Ya, kalau suka masak, setiap hari juga dia bisa masak buat suami.”
“Patriarki.” gumam Kinan pura-pura batuk. Membuat sang Papa berdehem memperingati. “Lagian harusnya yang dikontrol itu si Kakak. Setiap hari ada aja cewek yang komen mesum di sosial medianya. Dasar caper.”
“Adek.” kata Mama Damian memperingati putrinya.
“Ya emang bener Mah. Mungkin Mbak Amori nggak mau diajak kesini, karena lagi mikir ulang. Mau dibawa kemana nih, hubu—” ucapan Kinan terhenti karena Damian menjejalkan sepotong daging berukuran besar ke dalam mulutnya.
“Kakak!”
“Makanya, jadi anak jangan sok tau. Makan aja sana, dasar anak kecil.” kata Damian sewot. Ia tak menghabiskan makan malamnya, dan pamit lebih dulu dengan alasan pekerjaan. Malam itu, yang dilakukan Damian adalah mencoba menghubungi Amori lewat berbagai cara. Walau ia tahu benar, kalau semua kases yang ia miliki sudah diputus sepenuhnya.
***
Bersambung....