 
                            Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Ricuh dan Jeda
Lucas tidak bisa tenang karena Amori belum juga ditemukan bahkan setelah dirinya membuat keributan dan meminta hampir seluruh pegawai penginapan untuk mencari keberadaan gadis itu. Lucas benar-benar ingat ekspresi terakhir Amori yang terlihat sangat menyedihkan. Oh, atau mulai sekarang Lucas harus memanggil Amori dengan sebutan ibu hamil?
Perut Amori terlihat jelas di ingatannya. Amori hamil. Dan jika hitungannya sesuai dengan perkiraan bulan kehamilan Amori, kemungkinan besar anak yang Amori kandung adalah miliknya. Entah apa yang Lucas rasakan saat ini. Tapi yang jelas, ia belum bisa tenang jika Amori belum ditemukan.
“Gimana? Tempat mana lagi yang kira-kira belum dicari? Biar saya kesana sendiri deh. Nggak bisa saya cuma duduk dan nunggu kabar dari tim kalian.” Lucas terus-menerus protes, ketika para pegawai disana menyuruh Lucas untuk menunggu di lobby, karena keadaan medan yang naik turun dan sedikit basah mereka anggap sebagai resiko.
“Tim kami sedang mengusahakan untuk menyisir semua tempat, Pak. Mohon bersabar sebentar lagi.” Lucas memejamkan mata erat-erat, jemarinya mencengkram rambut yang sejak keluar dari cabinnya sudah terlihat berantakan.
“Mas, Mbak, ini kalau saya aja nggak boleh turun langsung buat nyari karena medan yang katanya licin dan bahaya, gimana kabarnya istri saya?! Dia lagi hamil loh!” Lucas nyaris membentak pegawai administrasi yang menemaninya sejak awal. Sudah hampir setengah jam pegawai mereka disebar untuk mencari Amori tapi belum ada satupun kabar. Lucas yang awalnya ingin mempercayai kinerja mereka jadi dibuat tidak sabar dan semakin cemas.
Suara sinyal kusut walkie-talkie yang digenggam si petugas administrasi lalu terdengar untuk yang kesekian kali, dan membuat Lucas langsung mendekat. Dengan harapan tinggi, mereka menunggu kabar dari petugas di seberang sana. “Ketemu Pak, Sudah dibawa ke klinik.”
“Dimana kliniknya? Antar saya.” tanpa menunggu lama Lucas menyusul. Klinik yang dimaksud ternyata adalah salah satu fasilitas yang penginapan sediakan. Jaraknya tidak terlalu jauh dan mampu dicapai dengan jalan kaki kurang dari lima menit.
Ketika sampai, Lucas tak butuh waktu lama untuk menemukan keberadaan Amori. Ruangan terbuka seluas 8x5 meter persegi itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa petugas kesehatan dan Amori, yang duduk di sebuah brankar dengan selimut yang menyelimuti tubuh bagian atasnya. Mata mereka sempat berbenturan, tapi Amori memalingkan wajahnya cepat, meninggalkan Lucas yang terpaku di tengah ruangan dengan dada yang berdegup tak karuan.
“Pak, ibunya perlu dibawa ke rumah sakit atau ngga? Kami bisa bantu sediakan mobil kalau bapak mau bawa ibu ke rumah sakit terdekat darisini.” Lucas menggeleng pelan.
“Gapapa, nanti biar saya yang urus sisanya. Terima kasih.” si pegawai administrasi mengangguk sebelum menarik diri. Membiarkan Lucas yang kembali melanjutkan langkah mendekati Amori dengan hati-hati.
Semakin mendekat, ia merasa Amori semain menarik diri. Kepalanya makin menunduk dan tangannya mengganggam erat selimut yang mengikat tubuhnya. “Hei.” bukannya mengangkat wajah, Amori semakin menunduk lagi. Jika bisa, ia berharap lantai bisa menelannya hingga tak terlihat.
***
Suara Lucas selalu memberikan efek magis untuk Amori. Bahkan ditengah rasa malunya, Amori ingin sekali bergerak dan melemparkan dirinya pada pria tampan itu. “Hei.” sapaan singkat itu terdengar biasa. Tapi Amori yang sedang sangat emosional hampir menangis karenanya.
Kepalanya menunduk sangat dalam, dengan jari yang diam-diam saling menekan satu sama lain. Melukai untuk menyisir semua rasa malu yang tak kunjung reda. Pikirannya masih sangat kacau, penuh dengan rasa malu, takut, rindu, dan entah apalagi yang menjadi satu.
Awalnya Amori berniat kabur sejauh mungkin agar tidak ditemukan, minimal sampai dirinya bisa menemukan cara untuk menghubungi Nora dan meminta sahabatnya itu untuk menjemput. Tapi ketika baru keluar dari kabin, Amori bahkan hampir-hampir berlalu masuk lagi karena suasana sangat gelap. Tapi rasa malunya yang mendominasi membuat Amori nekat pergi entah ke arah mana, tanpa menggunakan baju yang lebih tebal ataupun membawa ponsel setidaknya untuk penerangan.
Kakinya terluka karena ia sempat terjatuh setelah tersandung akar pohon besar. Lalu ketika lelah mencari jalan setapak yang tak kunjung ketemu, Amori malah duduk di sebuah bangku kayu dengan keadaan yang mengigil. Disiksa udara Bandung yang ia baru tahu bisa sedingin itu, sampai seorang pegawan yang kelihatan panik menemukannya.
Kembali di klinik, Amori bisa merasakan tubuhnya ditarik lembut, masuk ke dalam pelukan familiar yang dirinya dambakan. Bak boneka kertas, Lucas mengusap puncak kepalanya naik turun dengan gerakan yang sangat lembut. Solah jika sedikit saja diberi tekanan, Amori akan pecah menjadi ribuan origami kusut.
“Amor.” tanpa sadar tubuh Amori menegang. Ia belum siap mendengar apapun dari mulut pria itu. Apaapun itu, entah kabar baik atau kabar buruk, Amori belum siap. Ia tau jelas kalau Lucas melihat kondisinya. Lucas melihat perutnya yang buncit bukan karena makan malam. Kebodohannya yang lupa membawa pakaian ganti saat mandi tadi menjadi awal dari semua rasa malu dan keributan malam ini.
Ekspresi Lucas yang terlihat, kaget, membuat Amori sadar kalau rasa malunya sangat pantas ia rasakan. Bagaimana bisa, ia mencoba untuk menjebak pria sebaik Lucas, untuk bertanggung jawab atas janinnya. Bagaimana bisa Amori sempat berpikir, untuk berterus terang suatu saat nanti pada Lucas tentang kehamilannya, seolah Lucas patut bertanggung jawab hanya karena perasaan yang pria itu miliki untuknya.
Amori merasa sangat tidak tau malu.
“Amor—” tak ingin membuat situasi Lucas menjadi semakin berat, Amori menggenggam lengan baju Lucas. Ia mencegah Lucas mengatakan apapun tentang dirinya. Amori tidak ingin menjadi beban. Kehamilannya sama sekali bukan tanggung jawab Lucas.
“Lucas—” suaranya nyaris pecah, serak. Amori masih menunduk, tak berani menatap sementara genggamannya di lengan baju Lucas semakin erat. “Saya—saya minta maaf.”
“Amor—” Amori menghentak lengan baju Lucas hingga ucapan pria itu kembali terpotong.
“Saya tau permintaan saya akan ngebuat saya kelihatan sangat ngga tau malu, tapi—tolong, tolong jangan bahasa tentang apapun yang kamu lihat.” Lucas tanpa sadar menahan napasnya.
“Saya mohon lupain tentang apa yang terjadi malam ini. Saya minta maaf, sungguh saya nyesal. Besok, besok saya akan perbaiki semuanya. Saya mohon, maafin saya.”
“Amor, saya ngga ngerti. Kenapa saya harus lupain semuanya? Amor, saya—”
“Kasih saya waktu.” Amori menarik napasnya dalam-dalam. “Kasih saya waktu, Lucas. Please.” tak punya pilihan lain, Lucas mengiyakan. Satu malam keduanya habiskan dengan gamang. Tak ada satupun yang tertidur. Setidaknya, tidak ada satupun dari mereka yang lelap, walaupun sepasang mata itu mengatup mencoba meredakan debaran tak tenang yang mereka rasakan.
***
Bersambung....
 
                     
                    