(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada monster di dirinya
Keluarga Garfield sedang melakukan makan malam, suasana terasa tenang dan hening. Meski anggota bertambah dua anak Nicholas dan Angel, Valley yang berumur 10 tahun, serta Danzel, bocah 7 tahun. Sebelumnya mereka di sekolah, saat pulang wajah-wajah polos mereka menyambut baik Michelle.
Michelle duduk di samping Alfred, matanya melirik satu persatu, mencoba menangkap suasana yang tak biasa, biasanya hangat, kini terasa menegang.
Di ujung meja, William duduk tegak dengan tatapan serius yang membuat suasana menjadi hening. Mereka seperti menahan kata, menahan napas saat pria tua itu ada di sana, seolah ada aturan tak tertulis untuk diam saat makan.
Satu-persatu pelayan datang membawa hidangan beraroma menggoda, menata rapi diatas meja panjang itu.
Michelle menatap steak di piringnya, jemarinya menggenggam erat di atas pangkuan, ragu memegang pisau. Ini pertama kalinya ia mencicipi hidangan sekelas itu.
Mereka mulai makan dalam diam. Michelle menoleh ke samping, matanya tertuju pada suaminya yang dengan hati-hati memotong-potong daging itu. Tangannya gemetar saat memegang garpu dan pisau, mencoba meniru cara orang-orang di sekitarnya.
Alfred tersenyum tipis, diam-diam menyadari kegelisahan istrinya. Perlahan ia mengangkat piring berisi potongan daging dan meletakkannya di depan Michelle. “Makanlah,” ucap Alfred pelan sambil mengambil piring berisi daging yang belum terpotong.
Michelle membalas dengan senyum tipis, tak menyangka suaminya mengerti perasaannya. “Makasih,” sahutnya lirih, tapi cukup jelas didengar Alfred.
Kimberly, yang duduk tak jauh, mengigit gagang garpu dalam diam, matanya berbinar saat melihat pamannya begitu peduli pada “bibi kecilnya”. So sweet!
Ethan mengetuk perlahan garpu di tangan Kimberly, menegur dengan bisikan, “Makan yang benar.”
Kimberly mengerutkan bibir lalu kembali melahap makanan dengan sungguh-sungguh.
Keluarga itu baru saja menyelesaikan makan malam, tapi tak ada satu pun yang beranjak dari tempatnya. Sebab, sudah jadi aturan keluarga—tak ada yang boleh bergerak sebelum kepala keluarga melangkah duluan.
“Michelle!” panggil Celline tiba-tiba, membuat gadis itu sedikit terkejut. Matanya terbuka lebih lebar, badan seketika tegap.
"i-iya?"
“Apa yang ingin kau sampaikan kepada kami sebagai keluargamu sekarang?” tanya Celline dengan senyum ramah.
“Hah!?” Michelle membeku sejenak, lalu menarik nafas panjang. “Haruskah aku mengatakannya?” gumamnya pelan, polos.
Semua tersenyum, tak terkecuali Angel. “Tentu saja harus,” suara Angel lembut tapi tegas, sambil menatap Michelle dengan penuh pengertian. “Anggap saja itu kesan pertamamu melihat keluarga suamimu. Dulu aku juga melewati tahap itu.”
Alis Michelle mengerut, pikirannya bergulir cepat, sementara Alfred menatap istrinya yang masih muda itu. “Aku akan mengatakannya sekarang,” Michelle menghela napas dalam, mengumpulkan keberanian.
“Apa itu, sayang?” tanya Celline dengan suara lembut penuh perhatian.
Michelle menunduk sebentar, lalu menatap satu per satu wajah keluarga barunya. “Terima kasih,” katanya lirih.
Mereka semua mengangkat alis, wajah masing-masing berubah penuh tanda tanya. "Terima kasih? Untuk apa?" tanya Nicholas dengan suara serak, sedangkan Alfred menatap dengan mata membulat penuh heran.
Michelle menatap mereka satu per satu, matanya bersinar lembut. "Karena kalian sudah menjadikan Om Al pria yang begitu baik dan hebat. Terutama kamu, Tante, yang sudah mendidiknya menjadi sosok yang begitu sempurna," ucap Michelle lirih, suara diiringi kehangatan tulus.
Keheningan menggantung berat di udara. Michelle meremas jemarinya di pangkuan, dadanya sesak penuh harap cemas menunggu reaksi mereka.
Alfred terpaku, tatapannya melembut. Ia menggenggam tangan Michelle erat. Michelle menoleh, senyumnya mekar hangat.
Sontak tawa lepas menggema dari mulut kepala keluarga itu. William, yang selama ini selalu dingin dan serius, kini tertawa tanpa beban, membuat anggota keluarga lain menatap heran. "Sungguh luar biasa cucu menantuku," ucap William sambil mengusap dagunya.
"Mulai sekarang, kakek serahkan cucu yang durhaka ini padamu. Temani dia sampai ia sadar, di dunia ini dia tak pernah benar-benar sendiri."
Celline menatap Michelle dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar, "Terima kasih, Michelle... kau membuatku terharu."
Michelle terdiam sejenak, hati kecilnya tersentuh. Di balik kata-kata tulus itu, ia tahu satu hal: suaminya benar-benar dicintai oleh seluruh keluarga itu.
Ethan mengerutkan kening, matanya menatap Michelle. "Ini cuma perasaanku, atau... Michelle selama ini menyembunyikan sifat aslinya di sekolah? Bibi kecilku ternyata bukan gadis tomboy, melainkan yang selama ini disembunyikan—lugu dan polos,"
William perlahan bangkit, menumpu tubuhnya pada tongkat. "Rio, ayo main catur sebentar," ajaknya santai.
Alfred hanya mengangguk, mata tajamnya seakan memahami maksud kakeknya. Ada hal penting yang hendak disampaikan. Ia mengikuti langkah William menuju sebuah ruangan, meninggalkan Michelle dengan tatapan kosong memandangi punggung suaminya yang menjauh.
"Michelle, ayo kita mengobrol di ruang tengah," suara Celline memecah kesunyian, disambut anggukan lembut dari Michelle.
"Mommy, aku belajar dulu ya. Nanti aku menyusul," ujarnya polos, kemudian menyapa Michelle dengan senyum kecil, "Dadah, bibi kecil."
Michelle dan Celline duduk santai di ruangan hangat yang sudah disiapkan coklat panas dan cemilan di depan mereka. Rasanya lega mengetahui Celline mau meluangkan waktu menemaninya—setidaknya ia tak harus menghadapi kesepian di tempat asing ini sendirian.
“Michelle, apa kamu bahagia?”
Michelle mengernyit, tak langsung menangkap maksudnya. “Maksud tante?”
“Maksudku, setelah menikah dengan adikku, apakah dia pernah kasar kepadamu?” Celline menatap mata Michelle penuh perhatian.
“Aku tahu pernikahan kalian terjadi karena kakak sepupumu kabur, tapi pernikahan itu bukan sekadar permainan, bukan?”
Senyum Michelle mengeras menjadi kaku. “Aku... aku senang, Tante. Om Al ternyata sangat perhatian, di balik sikap dinginnya itu. Aku sempat takut dia akan menyalahkan aku atas kepergian kak Elena.”
Celline menghela napas pelan, lalu menggenggam tangan Michelle dengan hangat. “Itu tidak akan terjadi, sayang. Suamimu orang yang berhati hati, dia menilai berdasarkan bukti, bukan sekadar omongan. Dari kecil, kakek mendidiknya dengan keras—itulah yang membentuknya jadi sosok yang tegas dan dingin seperti sekarang.”
"Hal kecil seolah menjadi pemicu amarah yang tak terkendali. Itulah caranya bertahan hidup," ujarnya lirih, suaranya bergetar.
Mendengar pengakuan itu, Michelle terhanyut dalam lamunannya, baru kini dia mengerti kenapa suaminya bisa meledak amarah saat rahasianya terkuak.
“Tante, kalau saya boleh tahu... Papa tante sepertinya tidak ada sejak tadi, ya?” tanya Michelle dengan ragu.
Celline menatap jauh ke dalam dirinya, lalu menghela napas berat. “Oh, pria baj*ng*n itu... Dia tidak tinggal di sini,” katanya, suaranya mengandung dendam yang tertahan.
Michelle tercengang mendengar kata “bajingan” keluar dari mulut lembut itu.
“Aku tak pantas menguak semuanya, tapi kau harus tahu... dia selingkuh, memiliki anak di luar sana, bahkan usianya nyaris seumuran dengan Rio. Dia juga jadi penyebab kematian mama kita,” suara Celline semakin bergetar.
“Makanya Rio begitu sensitif dengan nama pria itu. Jangan pernah menyebutnya di depannya. Biarlah Rio yang mengungkapkan sendiri saat dia siap. Aku tak mau adikku berubah menjadi monster lagi.”
Michelle mengangguk pelan, tak berani menyahut.
"Kalau dia menyakitimu, langsung bilang ke saya, ya," ucap Celline dengan suara lembut tapi tegas. Michelle hanya mengangguk kembali.
Tiba-tiba, suara pecahan kaca memecah keheningan, membuat keduanya terkejut. Celline segera berdiri, melangkah cepat ke sumber suara, diikuti Michelle.
Mereka menuju sebuah ruangan yang sebelumnya dimasuki Alfred dan kakeknya. "Dengar kakek, jangan mencampuri urusanku lagi! Kakek sudah cukup menghancurkan pernikahanku!" teriak Alfred dengan nada membakar amarah.
Suara itu menggaung keras, menarik perhatian seluruh keluarga yang segera berkumpul di depan pintu.
"Kembali, Rio!" teriak William.
Alfred seolah tuli, melangkah keluar, wajahnya memerah oleh kemarahan. Ia berhenti sejenak, menatap anggota keluarga yang tampak khawatir, lalu pandangannya jatuh pada Michelle.
"Apa Om Al masih berharap pernikahannya dengan Kak Elena?"batin Michelle.