Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
"Marah?"
Sejak Lingga kembali ke apartemen, ia langsung menyadari ada yang berubah dari raut wajah Diandra. Tidak ada lagi senyum atau guratan hangat yang biasa ia lihat. Dan itulah yang paling ia takutkan, jika Diandra akan semakin menjauh darinya.
"Marah?" Diandra mengulang dengan tatapan tak percaya, nada suaranya terdengar dingin. "Untuk apa?"
Lingga terdiam sejenak. Sorot matanya jatuh pada wajah cantik Diandra yang kini seakan diselimuti jarak tak kasat mata. Ia tahu, pengakuan yang ia lontarkan tadi siang pasti meninggalkan luka. Namun ia tidak bisa menarik kembali kata-kata itu.
"Saya suami kamu, Diandra. Kamu berhak marah sama saya," ucap Lingga pelan, seakan berusaha menenangkan sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Diandra terkekeh lirih, lalu menatapnya sinis. "Suami istri?" katanya dengan nada penuh ejekan.
Tawa kecil itu berubah menjadi tawa getir, semakin lama semakin keras hingga terasa menyakitkan di telinga Lingga. "Lo tau nggak sih, apa arti pernikahan sebenarnya?" tanya Diandra, kali ini menatapnya tajam, seolah ingin menusuk masuk ke dalam hatinya.
Lingga menahan napas sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar. "Pernikahan… hanya status buat saya."
Kata-kata itu membuat Diandra terdiam sepersekian detik, lalu matanya menyipit. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pria di hadapannya. Sesuatu dalam dirinya seolah pecah, namun di balik tatapan dingin itu, Diandra mulai menyusun rencana.
Kecewa? Tidak. Diandra sama sekali tidak merasa begitu. Karena sejak awal ia juga punya tujuan lain dari pernikahan ini. Jadi, untuk apa marah-marah pada Lingga? Lebih baik ia memainkan permainan ini dengan caranya sendiri.
“Mau kerja sama?” tanya Diandra tiba-tiba.
Lingga mengernyit, menatapnya penuh tanda tanya. “Kerja sama?” ulangnya pelan.
Diandra mengangguk mantap. “Kita sama-sama punya tujuan dalam pernikahan ini, Lingga. Jadi aku bantu kamu capai tujuanmu, dan kamu pun bantu aku capai tujuanku.”
Kalimat itu membuat Lingga terdiam beberapa detik, mencoba membaca arah pembicaraan istrinya.
“Kamu tahu, keluarga kita sama-sama tidak setuju dengan pernikahan ini. Jadi untuk apa kita masih bersaing satu sama lain?” lanjut Diandra tenang.
Lingga menyandarkan tubuhnya, sorot matanya menyipit. “Alasan kamu menerima pernikahan ini apa sebenarnya?”
Diandra menatap lurus ke arahnya. “Sepuluh tahun lalu, keluarga kita masih menjadi partner bisnis yang solid, bukan?”
Lingga hanya memberi anggukan singkat.
“Dan kamu kenal Bayu Purnomo?”
“Dia salah satu orang kepercayaan keluarga saya.”
“Bagus,” ucap Diandra pelan, lalu tersenyum tipis. “Kamu pasti tahu juga kalau Bayu Purnomo menikah dengan tante saya, Anita Aditama.”
Lingga terdiam. Kepalanya mulai dipenuhi potongan-potongan informasi.
“Aku menemukan beberapa bukti kalau Bayu Purnomo yang menjadi dalang kegagalan megaproyek antara Wijaya dan Aditama sepuluh tahun lalu. Anehnya, bukannya disingkirkan, dia malah masuk ke dalam lingkaran Adiwijaya Grup.”
Kedua alis Lingga bertaut rapat. Ia tidak menyangka perempuan yang selalu terlihat acuh pada urusan bisnis keluarga ternyata menyimpan kepingan puzzle yang sama dengannya.
Masalah itu memang sudah lama terkubur, tanpa ada penyelesaian. Bahkan seolah sengaja ditutup.
Melihat Lingga yang terdiam, Diandra yakin dugaannya benar: pria itu pun memiliki kecurigaan yang sama.
“Dan aku tahu alasan kamu menikah denganku,” ucap Diandra lagi, sorot matanya menelusuk. “Dengan begitu kamu lebih mudah mengorek informasi dari keluarga Aditama. Dan pernikahan ini juga kamu jadikan bukti pemberontakan kamu terhadap keluargamu sendiri, kan?”
Lingga menatapnya lekat-lekat. Ia tidak habis pikir istrinya ternyata begitu cerdik, bisa menebak rencananya hampir dengan tepat. Meski begitu, ada satu alasan yang Diandra belum tahu.
“Buat apa saya mencari tahu masalah itu?” ucap Lingga datar. “Sudah selesai. Lagi pula tidak merugikan keluarga saya.”
Jawaban tenang itu bukan sekadar penolakan, melainkan pancingan. Ia ingin tahu, seberapa jauh sebenarnya Diandra mengetahui rahasia yang selama ini terkubur.
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu,” kata Diandra pelan, matanya tak lepas dari wajah Lingga. “Kalau dibuka lagi, itu bisa memicu perpecahan yang jauh lebih besar. Bukan cuma satu nama; ada cukup banyak orang yang aku curigai terlibat.”
Lingga menatapnya, kagum tersembunyi di antara kerutan di dahinya. Saya tidak salah pilih, batinnya, hangat.
“Jadi? Mau kerja sama?” tanya Diandra, suaranya mantap.
“Apa yang saya dapat, jika saya membantu membersihkan nama keluarga kamu?” Lingga membalas, nada dingin tetapi penuh perhitungan.
Diandra terdiam. Jujur saja, yang paling dirugikan memang keluarga Aditama bukan sekadar gosip, melainkan pengelapan yang menjadikan mereka tersangka tanpa bukti kuat. Dampaknya jelas: reputasi runtuh, bisnis merosot, Aditama tak lagi berjaya seperti dulu.
“Apa yang kamu butuhkan?” ia akhirnya menanyakan, berusaha menutupi kegugupan yang tiba-tiba datang.
Lingga menggeser tubuhnya, mendekat sampai bibirnya hampir menyentuh telinga Diandra. “Anak.”
Mata Diandra melebar. “Gak! gue nggak mau,” jawabnya spontan, lebih keras dari yang ia maksudkan.
Lingga mundur, kembali duduk di sofa apartemen Diandra dengan tenang seperti biasa. Ia memandangnya tanpa tergesa. “Kamu tahu saya tidak pernah tertarik pada pernikahan, kecuali bila itu menguntungkan. Saya sudah mendapatkan keuntungan dari pernikahan ini, jadi itu yang kubutuhkan sekarang.”
Diandra menatap tajam, mencoba menerka motif di balik kata-katanya.
“Saya tidak akan menikah lagi, Diandra. Kamu akan jadi satu-satunya istri saya. Jadi, kalau soal keturunan, hanya kamu yang bisa memberikannya.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Diandra merasakan dua hal bertabrakan: marah karena diperlakukan sebagai alat, dan ia takut sekaligus bimbang apalagi ia sadar bahwa keputusan ini menempatkannya pada posisi yang tak bisa ia tarik mundur begitu saja.
Diandra menutup mata sejenak, menyalurkan napas panjang yang terasa berat di dada. Dari luar jendela, lampu jalan mulai menyala, menebar cahaya kekuningan yang memanjang menjadi bayangan di lantai apartemen. Ia tahu, apa pun pilihannya saat ini akan mengikat lebih dari sekadar nama atau status, karena anak berarti mereka akan terhubung selamanya.
“Tapi tidak dengan anak, Lingga.” Suaranya lirih tapi tegas, ada nada penolakan yang tak bisa disembunyikan.
Lingga menatapnya lekat, lalu berkata dengan nada datar namun mengandung ketegasan yang tak bisa ditawar. “Kalau soal kasih sayang dan masa depannya, aku yang akan menjamin, Diandra. Kamu tidak perlu khawatir.”
Ucapannya mungkin terdengar tenang, tapi Diandra bisa merasakan betapa serius dan nyatanya janji itu. Lingga bukan sekadar bicara soal pewaris, melainkan tentang sesuatu yang lebih personal.
Bagi Lingga, anak bukan sekadar simbol keberlanjutan keluarga. Ia sudah memutuskan, bila saatnya tiba, seluruh aset dan harta akan ia wariskan hanya untuk darah dagingnya sendiri. Karena seumur hidupnya, ia tidak pernah benar-benar percaya pada siapa pun tidak pada keluarganya, tidak pada orang-orang di sekitarnya. Hanya anaknya kelak yang mungkin bisa ia percaya sepenuhnya.
Dan soal kasih sayang… itu hal yang paling ingin ia berikan. Lingga tahu rasanya menjadi anak yang tumbuh tanpa cinta, tanpa pelukan hangat, tanpa kehadiran seorang ayah yang benar-benar peduli. Itu luka lama yang diam-diam menggerogotinya.
Mungkin itulah alasan sebenarnya mengapa ia begitu menginginkan seorang anak, bukan sekadar sebagai keuntungan dari pernikahan ini, melainkan karena ia ingin punya seseorang yang bisa ia lindungi, ia sayangi, seseorang yang tidak akan pernah ia khianati, jika pada akhirnya Diandra akan meninggalkannya.
Dan jika pada akhirnya, anak itu tumbuh menjadi seperti dirinya yang membenci ayahnya sendiri, maka Lingga rela asal itu darah dagingnya, ia akan tetap menjaganya.
“Kamu bisa pikirkan dulu,” ucapnya tenang, sebelum beranjak dari sofa. Dengan langkah mantap ia berjalan menuju kamar, punggung lebarnya meninggalkan bayangan tegas di bawah temaram lampu ruang tengah.