Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan pernikahan adik tiri.
Satu minggu telah berlalu sejak insiden konyol perebutan sepatu dengan Arvin yang sempat membuat seluruh lantai eksekutif heboh.
Walau Raka mencoba melupakan kejadian itu, nyatanya para staf masih sering menahan senyum ketika berpapasan dengannya. Sebab, pemandangan sang CEO yang biasanya kaku itu berlari-lari tanpa satu sepatu adalah sesuatu yang langka, bahkan sangat mustahil untuk dilupakan.
Pagi ini, Raka duduk tegak di balik meja kerjanya. Tangannya sibuk menandatangani tumpukan berkas yang menunggu pengesahannya.
Wajah tampannya terlihat fokus, meskipun garis kelelahan terlihat samar di pelipisnya. Sesekali ia juga menghela nafas panjang, lalu memijat batang hidungnya.
Dentuman jarum jam terdengar jelas di ruangannya yang hening. Hingga tiba-tiba...
Tok… tok… tok…
Suara ketukan di pintu memecah konsentrasinya. Raka segera mendongak, dan kemudian bersuara datar.
"Masuk."
Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok sekretaris pribadinya yang bernama Dina. Wanita itu selalu tampil rapi dengan kemeja putih dan rok pensil hitam.
Saat itu, ia membawa sebuah tablet di tangannya dan tersenyum sopan kearah Raka.
"Maaf mengganggu, Pak Raka. Saya ingin menyampaikan bahwa diluar ada seseorang yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap Dina dengan hati-hati.
Alis Raka langsung terangkat, dan wajahnya jelas menunjukkan ketidak sabaran.
"Siapa lagi pagi-pagi begini? Bukankah kamu tahu, jika saya tidak pernah mau menerima tamu tanpa janji?"
Dina hendak membuka mulut untuk menjawab, namun sebelum satu kata pun sempat keluar, pintu yang masih terbuka itu didorong dari luar dengan agak keras.
Seketika, masuklah seorang wanita cantik dengan penampilan yang begitu mencolok. Rambut panjangnya tergerai indah, bibirnya berlipstik merah marun, sementara tubuhnya dibalut gaun kerja berwarna krem elegan yang menonjolkan kesan modis dan berkelas. Wanginya langsung menyebar, memenuhi seluruh ruangan.
Ia tersenyum manis, sambil melangkah penuh percaya diri, seolah ruangan itu miliknya sendiri.
"Hai, Mas Raka! Apa kabarmu?" ucapnya dengan suara lantang, dan nyaris terdengar riang.
Sekretaris Dina yang masih berdiri di samping pintu langsung terbelalak kaget, dan terlihat canggung karena ia sendiri tidak bisa menghentikan wanita itu.
Sementara Raka… hanya mendengus pelan. Ia langsung meletakkan pulpen di atas meja dengan agak keras, lalu menyandarkan punggung ke kursi hitam miliknya.
"Kamu…" gumamnya rendah, namun penuh dengan nada jijik.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya lagi.
Namun wanita itu malah tersenyum lebar. Ia pun berjalan dengan anggun, lalu tanpa izin langsung meletakkan tasnya diatas meja kerja Raka.
"Ya ampun, Mas. Ternyata sikapmu masih sama dinginnya seperti dulu. Aku cuma ingin bertemu dengan kakakku sendiri. Memangnya salah, ya?"
Raka hanya terkekeh sinis, namun matanya menatap tajam kearah perempuan itu.
"Kakak? Jangan pernah menyebutku sebagai kakakmu, karena kamu bukanlah siapa-siapaku. Kamu itu hanya… anak pelakor."
Ucapan itu jatuh seperti pedang yang membuat Dina sampai tercekat, ia buru-buru menundukkan kepalanya karena merasa tidak pantas menyaksikan perseteruan pribadi itu.
Senyum perempuan cantik yang masuk keruangan Raka tadi sempat pudar, tapi ia dengan cepat menutupinya dengan tawa kecil yang terdengar menyakitkan.
"Mas, kenapa sih selalu menyebutku begitu? Aku tidak pernah minta dilahirkan dari rahim Mamaku. Kalau ada yang bersalah, maka itu bukanlah kesalahanku, tapi semua itu adalah kesalahan orang tua kita."
Raka sontak menghentak meja dengan tangannya saat mendengar ucapan wanita itu.
"Jangan pernah kamu menyamakan Mamaku dengan Mamamu!" bentak Raka.
"Mamamu adalah seorang perempuan yang telah merusak rumah tangga orang lain. Dan Mamamu juga yang telah membuat Mamaku setiap hari menangis. Dan kamu..." Raka menunjuk wanita itu dengan tatapannya yang seolah membakar.
"Kamu adalah bukti dari penghianatan itu! Kamu hanya anak dari hasil dosa! Jadi, jangan pernah bermimpi bahwa aku akan mengakuimu sebagai adik."
Wanita itu berjalan mendekat beberapa langkah. Tatapannya berkilat kala menatap wajah Raka, tapi ia tetap berusaha menahan emosinya.
"Mau kamu mengakuinya atau tidak, tapi kita ini tetaplah saudara yang seayah. Itu adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa kamu buang, Mas. Karena sampai kapanpun, darah kita tetap sama."
"Omong kosong!" Raka bangkit dari kursinya, seraya menepis tas mahal yang wanita itu taruh diatas mejanya. Membuat tas itu terjatuh ke lantai dengan suara yang terdengar keras.
"Aku tidak akan pernah mengakui kamu. Dan jangan pernah coba-coba mengganggu hidupku lagi. Kalau tidak… aku yang akan menyingkirkanmu sendiri!"
Wanita itu terdiam sejenak, lalu tersenyum miring, senyum yang samar-samar menyimpan tantangan.
"Kalau begitu… mari kita lihat, Mas. Seberapa lama kamu bisa menghindar dari kenyataan ini. Dan seberapa lama pula kamu akan mengingkari bahwa aku ini adalah adikmu?"
Suasana ruangan mendadak menjadi tegang. Dina yang masih berdiri di samping pintu merasakan hawa dingin yang kini menyelimuti seisi kantor.
Sementara itu, wanita yang merupakan adik tiri Raka itu malah tersenyum tipis, lalu perlahan membungkuk untuk mengambil tas mewahnya yang sempat terjatuh karena ulah Raka.
Kemudian, dengan gerakan tenang ia pun membuka resletingnya, dan dari dalam tas itu ia mengeluarkan sebuah kotak tipis berlapis kain beludru.
Dina yang masih berdiri di samping pintu hanya menahan nafas, dengan bola matanya yang terus mengikuti setiap gerak-gerik wanita itu.
Raka sendiri hanya berdiri kaku, sementara tatapannya tetap dingin, seolah dirinya telah siap untuk menepis apa pun yang hendak dikeluarkan oleh wanita tersebut.
Hingga akhirnya, wanita cantik itu pun menarik keluar sebuah undangan berwarna putih gading dengan hiasan emboss emas yang anggun. Kertas itu terlihat mahal dan begitu indah, sehingga memantulkan cahaya lampu yang ada diruang kerja Raka.
Dengan gerakan anggun, si wanita meletakkannya di atas meja, sambil menatap kakaknya dalam-dalam sebelum ia berbicara dengan suara yang terdengar tenang, meski sarat dengan makna.
"Mas, aku datang kemari bukan untuk berdebat denganmu. Aku juga tidak pernah bermaksud membuatmu emosi seperti tadi. Tapi aku datang kesini hanya ingin memberikan ini." ucap wanita itu, seraya mendorong undangan tersebut lebih dekat ke arah Raka.
"Ini adalah undangan pernikahanku dengan pria yang aku cintai selama ini."
Raka tidak menyentuhnya sama sekali. dan ia hanya menatap benda itu seakan-akan kertas tersebut adalah racun.
"Aku tahu, mungkin kamu membenciku… bahkan mungkin kamu tidak pernah ingin melihat wajahku lagi. Tapi…" suara gadis itu terdengar merendah.
"Aku sangat berharap sekali kalau Mas Raka bisa menghadiri pernikahanku. Sekali ini saja, karena aku ingin Mas ada di sana, meski hanya sekedar duduk di bangku tamu."
Suasana seketika menjadi hening, apalagi Raka masih menatapnya dengan sorot tajam, tapi wanita itu kembali melanjutkan perkataannya tanpa sedikitpun rasa gentar.
"Mas, aku juga sudah mengantar undangan ini pada Mama Anindya. Dan Mama menerimanya dengan baik. Ia bahkan berjanji akan hadir di pesta pernikahanku nanti."
Wanita itu tersenyum tipis, namun senyum itu seperti pisau yang menusuk tepat dihati Raka.
"Coba lihat, Mas… Mamamu saja mau menerimaku dengan baik. Cuma kamu saja yang terlalu sombong untuk menerima takdir dan kenyataan."
Kata-kata itu menggema didalam ruangan, seolah menyalakan bara api didada Raka yang sejak tadi berusaha ia padamkan. Dan hal itu pula yang membuat rahang pria itu kembali mengeras.
Wanita itu masih terlihat menunggu. dan sesaat ia berharap ada sepatah kata keluar dari bibir kakaknya, meski hanya berupa penolakan halus.
Namun, yang ia dapatkan hanyalah diam yang dingin, dan itu lebih menusuk daripada ribuan cacian.
Hingga akhirnya, Raka menggerakkan tangannya dengan pelan, seolah memberi isyarat tegas agar wanita tersebut meninggalkan ruangannya.
Gerakannya terlihat kecil namun begitu tajam, seolah ia berkata...
"Pergi. Sekarang juga."
Dina yang sejak tadi berdiri kaku di dekat pintu, langsung bisa membaca situasi itu. Ia menunduk dalam-dalam karena merasa tegang dengan aura yang memenuhi ruangan.
Sedangkan wanita cantik yang saat itu masih berdiri dihadapan Raka, hanya bisa menghela nafas panjang. Senyum tipis sempat tersungging di bibirnya, meski jelas jika sorot matanya menyimpan luka.
"Baiklah, Mas. Kalau memang itu jawabanmu, aku tidak akan memaksa." ucapnya.
Kemudian, wanita itu langsung meraih tasnya kembali, lalu berdiri tegak dan elegan. Sebelum berbalik, ia sempat menatap pada Raka sekali lagi dengan sorot mata yang penuh percampuran, antara kekecewaan dan juga keteguhan.
"Tapi ingat, Mas… dunia ini tidak selalu berputar sesuai kehendakmu. Karena cepat atau lambat, kamu harus belajar menerima kenyataan."
Dengan langkahnya yang anggun, wanita itu pun berjalan menuju pintu, membuat dentingan hak sepatunya menggema di lantai marmer ruangan itu.
Sesaat sebelum keluar, ia sempat menoleh sebentar pada Dina, lalu memberikan senyum yang sopan.
"Terima kasih, Mbak, sudah membiarkan saya masuk."
Dina hanya mengangguk canggung, dan begitu pintu tertutup kembali, ruangan pun tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan.
Raka masih berdiri tegak dengan mata yang terpaku pada undangan mewah yang kini tergeletak di atas meja.
Sesaat tangannya nyaris terulur untuk meraih dan merobeknya. Namun hal itu urung ia lakukan.
Dan kini, hanya telapak tangannya yang menggenggam semakin erat, seolah dirinya sedang menahan gejolak amarah yang tidak pernah terucap.
Bersambung...