Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 35
Zia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih sedikit buram, namun bayangan dua sosok sudah jelas di depannya. Azka dan Aksa berdiri bersedekap dada. Aksa dengan wajah penuh kecemasan, matanya terus menatap Zia tanpa berkedip. Sedangkan Azka, seperti biasa wajahnya datar, tapi ada sorot tipis di matanya yang menunjukkan rasa khawatir.
“Zia, keadaan lo gimana? Pusing? Mau muntah? Batuk? Flu? Atau gimana?” ucap Aksa beruntun, suaranya terburu-buru seperti mesin yang tidak bisa berhenti.
Zia mengerjap beberapa kali, lalu menggeleng lemah. “Stop, Aksa. Aku pingsan, bukan sakit.”
Aksa langsung cemberut. “Ya kan gue khawatir. Lo kira nggak kaget apa ngelihat lo pingsan tiba-tiba?”
Zia terdiam sejenak, hatinya hangat melihat perhatian majikannya itu, meski sering dibungkus dengan ocehan berlebihan.
Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Oma Ririn muncul, membawa nampan berisi air hangat dan beberapa cemilan. Senyum lembut tersungging di wajahnya, berusaha menenangkan suasana.
“Nih, buat kamu,” ucap Oma Ririn sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur.
“Makasih, Oma. Zia jadi nggak enak,” gumam Zia, suaranya pelan.
“Gak papa, sayang. Kamu nggak perlu merasa nggak enak sama Oma,” jawab Oma Ririn sambil mengelus rambut Zia dengan penuh kasih sayang.
Zia menggigit bibir, menahan perasaan yang mengaduk dalam dadanya. “Tapi Oma… yang tadi itu… Zia masih nggak nyangka aja. Bibi Lina sama Paman Ardi lebih mementingkan uang daripada Zia.”
Sorot matanya basah, seolah kapan saja air mata bisa jatuh.
Oma Ririn menarik napas panjang. “Sekarang yang perlu kamu lakukan bukan memikirkan mereka lagi. Fokus sama jalan hidup kamu. Hidup kamu masih panjang, sayang.”
“Iya, Oma…” ucap Zia lirih. “Tapi sekarang hutang Zia ke Oma makin banyak.”
Oma Ririn menggeleng, tegas tapi tetap lembut. “Gak perlu mikirin itu. Hutang bisa dibayar kapan saja. Yang penting kamu fokus pada dirimu sendiri dulu.”
Zia menunduk. “Tapi Zia kepikiran, Oma. Siapa sebenarnya orangtua Zia? Kenapa mereka nggak pernah cari Zia? Kenapa mereka buang Zia? Apa Zia anak yang nggak diinginkan?” Suaranya pecah, penuh luka yang selama ini terpendam.
“Husss, jangan ngomong gitu,” potong Oma Ririn cepat. Ia meraih tangan Zia, menggenggamnya erat. “Kita harus positif thinking. Mungkin waktu itu kamu bukan dibuang, tapi… bisa jadi kamu diculik, lalu berakhir dibuang di tempat yang salah.”
Zia terdiam, hatinya masih bergejolak. Ia ingin percaya kata-kata Oma, tapi bagian kecil dalam dirinya masih merasakan sakit mendalam.
“Tapi Oma… Zia janji. Zia akan bayar hutang itu secepatnya. Kalau perlu, Zia kerja tanpa dibayar pun nggak papa, asal bisa lunas.”
Mata Oma Ririn melembut, tapi suaranya tetap tegas. “Gaji itu adalah hak kamu, sayang. Kalau hutang, itu beda cerita. Tapi Oma memang ada syarat… kalau kamu mau melunasi semuanya.”
Zia langsung menoleh, penasaran. “Syaratnya apa, Oma?”
Azka yang dari tadi diam ikut melirik, begitu pula Aksa yang matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Nanti Oma kasih tahu waktu makan malam,” jawab Oma Ririn dengan tenang. “Sekarang kalian nggak usah mikir macam-macam dulu. Kamu, Azka, cepat siap-siap ke kantor. Dan kalian berdua…” ia menoleh ke Aksa dan Zia, “…apa kalian nggak akan pergi sekolah?”
Azka langsung menyalami tangan neneknya. “Iya, Oma. Azka berangkat dulu.” Tanpa banyak kata, ia pamit pergi.
Zia sempat menatap punggung Azka yang menjauh. Dalam hati, ia tahu Azka memang selalu begitu—dingin, datar, tapi entah kenapa Zia merasa ada ketenangan setiap kali pria itu ada di dekatnya.
Aksa justru menghela napas keras. “Oma, kita… mau sekolah kok. Lagi pula masih sempat.”
Zia mengangguk, meski hatinya sebenarnya ingin sekali bolos. Ia masih lelah, baik fisik maupun batin. Namun tatapan penuh semangat dari Oma Ririn membuatnya menahan niat itu.
“Bagus,” kata Oma Ririn sambil menepuk bahu mereka. “Ingat, masa depan kalian ada di pendidikan. Jangan sia-siakan.”
Zia tersenyum kecil. “Iya, Oma. Makasih.”
Aksa hanya mengangguk, walau dalam hati sebenarnya ia ingin berkata bahwa hari ini bukan hari yang tepat untuk sekolah. Tapi ia tahu, melawan ucapan Oma sama saja dengan melawan kebaikan yang tak pernah habis.
★★
Di sekolah, suasana koridor mulai ramai oleh suara langkah kaki para siswa yang baru saja memasuki jam istirahat. Aksa berdiri santai bersama sahabat-sahabatnya; Leon, Lian, dan Edgar. Mereka sedang bercanda kecil sebelum bel masuk kelas kembali berbunyi.
Namun suasana mendadak berubah ketika seorang gadis menghampiri dengan wajah penuh percaya diri. Dialah Talita, yang oleh hampir semua anak sekolah sering dijuluki nenek lampir karena sifatnya yang sok imut, padahal jauh dari kata natural.
“AKSA!!” teriak Talita sambil melambai dengan semangat berlebihan.
Aksa menoleh sekilas, wajahnya datar tanpa ekspresi. “Apa?” ucapnya singkat.
“Kamu kangen aku nggak?” Talita mengedipkan mata sok manja.
Aksa hanya menarik napas malas. “Nggak.”
Jawaban itu membuat Talita manyun, berpura-pura sedih. “Ishh… kok kamu jahat banget sih.” Tapi meskipun dia berlagak kecewa, tatapan jijik justru muncul di wajah orang-orang sekitar, terutama sahabat-sahabat Aksa yang sudah muak melihat kelakuannya.
Leon mengangkat alis sinis. “Lo kagak capek apa ngejar-ngejar Aksa mulu?”
Talita menegakkan tubuhnya dengan bangga. “Enggak lah! Gue cinta sama Aksa tingkat dewa.”
“Dasar bulol,” celetuk Lian dengan nada malas.
Aksa sudah malas menanggapi. “Lepas, gue mau ke kelas.” Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Talita yang mencengkram lengan bajunya.
Namun, sebelum ia berhasil melangkah, seorang cewek lain tiba-tiba menghadang di depannya dia adalah grey.
“Aksa,” ucap Grey lantang, membuat suasana sekitar langsung hening. “Bilangin ke abang lo supaya segera nerima gue jadi calon tunangannya.”
Semua mata langsung membelalak. Sahabat-sahabat Aksa bahkan hampir ngakak mendengar gaya bicara Grey yang penuh percaya diri seakan dunia harus tunduk padanya.
Aksa mendengus kesal. “Itu urusan lo sama abang gue. Jangan bawa-bawa gue.”
Grey mendekat, menatap Aksa tanpa gentar. “Gue tahu abang lo nggak gampang, tapi kalau lo yang ngomong, dia pasti denger. Lo harus bantu gue.”
Aksa menepis tangan Talita yang masih menempel di lengannya, lalu menatap Grey dingin. “Gue nggak ada urusan sama ambisi lo. Jadi jangan pernah tarik-tarik nama gue.”
“Lo pikir gampang lepas kak Azka gitu aja?” suara Grey sedikit meninggi, membuat beberapa siswa yang lewat berhenti untuk menonton. Drama seperti ini memang jarang dilewatkan di sekolah mereka.
Leon terkekeh pelan, menepuk bahu Aksa. “Bro, lo ini idola sejuta umat. Satu ‘nenek lampir’ aja udah cukup. Sekarang lo dapet bonus ‘cewek ambisius.’”
Lian ikut menimpali. “Wih, Aksa. Lo kayak magnet masalah hidup cewek. Talita nempel nggak mau lepas, Grey juga maksa lo jadi jembatan ke abang lo. Hidup lo seru banget.”
“Seru pala lo,” gumam Aksa dingin, lalu berjalan melewati Grey begitu saja.
Namun Grey tak menyerah. “Gue serius, Aksa! Kalau abang lo terus nolak gue, gue nggak segan bikin semua orang tau rahasia keluarga lo!”
Ucapan itu membuat langkah Aksa terhenti sejenak. Aura dingin menyelimuti dirinya, bahkan sahabat-sahabatnya ikut terdiam. Ia menoleh perlahan, menatap Grey dengan sorot mata tajam.
“Lo ngancem gue?” suara Aksa rendah, tapi tegas.
Grey tidak bergeming. “Bukan ngancem, cuma ngingetin. Gue nggak akan nyerah sampai abang lo jadi tunangan gue.”
Aksa mengepalkan tangan, tapi ia memilih tak menanggapi lebih jauh. “Lakuin apa pun yang lo mau. Tapi jangan pernah tarik nama gue lagi.” Dengan langkah pasti, ia meninggalkan kerumunan bersama Leon, Lian, dan Edgar.
Talita yang sejak tadi masih berdiri kikuk di sisi Grey hanya bisa menelan ludah. Ia sendiri muak dengan Grey, tapi juga nggak rela kalau perhatian Aksa dialihkan ke orang lain. Kedua cewek itu kini sama-sama menatap punggung Aksa yang menjauh, dengan tujuan yang berbeda tapi sama-sama berpusat pada dirinya.
Sementara itu, di kelas, Aksa hanya duduk bersandar di kursi, wajahnya dingin. Sahabat-sahabatnya masih menahan tawa karena drama tadi. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya bergejolak. Ia tahu Grey bukan cewek biasa. Jika sampai berurusan dengan abang Aksa, masalah ini bisa jadi lebih besar dari yang dibayangkan.
Dan satu hal yang paling ia benci—namanya terlibat dalam permainan kotor yang sama sekali bukan pilihannya.
_____
Sementara itu, Zia sedang duduk di bangku taman sekolah. Angin sore berhembus lembut, dedaunan bergoyang, namun matanya menatap kosong ke depan. Pikirannya bercampur aduk. Kata-kata terakhir dari paman Ardi terus terngiang di kepalanya: “Kamu entah anak siapa, kami hanya menemukannya.”
“Jadi… aku bukan keluarga mereka?” gumam Zia pelan, seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Dadanya terasa sesak, matanya berkaca-kaca. Begitu banyak masalah yang datang bertubi-tubi, hingga membuatnya merasa kepalanya berdenyut pusing. Ia ingin berteriak, tapi tak ada tempat yang tepat untuk meluapkan semua itu.
Saat itulah, langkah kaki terdengar mendekat.
“Zia, kamu sedang apa di sini?” suara hangat menyapa.
Zia menoleh, dan mendapati sosok Pak Raka yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, lalu duduk dengan santai di bangku itu.
“Eh… Pak Raka,” ucap Zia sedikit gugup. “Zia cuma lagi nikmatin angin taman aja sih, hehe.”
Pak Raka tersenyum tipis, namun matanya menatap tajam, seakan berusaha membaca isi hati Zia. “Sepertinya kamu sedang banyak masalah.”
Zia menunduk. “Ya… begitulah, Pak.”
“Kalau kamu ingin bercerita, saya akan selalu siap mendengarkan,” ucap Pak Raka dengan nada serius, nyaris seperti paksaan halus.
Zia merasa risih. Baru tiga kali bertemu, tapi Pak Raka selalu berusaha dekat dengannya, terlalu dekat. “Untuk saat ini… gak perlu, Pak,” jawabnya singkat, mencoba sopan tapi dengan jarak.
Pak Raka tersenyum tipis, meski ada bayangan kecewa di wajahnya. Ia lalu melanjutkan, “Saya lihat kamu jarang main sama Jenny, ya?”
Zia menghela napas, berusaha menjaga nada bicaranya tetap halus. “Iya, soalnya gak ada waktu, Pak.”
“Kalau ada waktu luang, coba deh kalian ngumpul lagi. Jenny pasti kangen sama kamu,” ucap Pak Raka. Tapi cara dia menyebut nama Jenny seolah hanya sekadar alasan. Matanya sama sekali tidak lepas dari wajah Zia.
Zia mengangguk kikuk. “Iya, Pak… saya usahain. Kalau gitu saya pamit ke kelas ya, Pak.” Ia bangkit, menunduk sopan, lalu melangkah pergi dengan langkah cepat.
Pak Raka menatap punggung Zia yang menjauh. Senyuman samar muncul di wajahnya, bukan senyum hangat, melainkan senyum yang penuh arti lain. Tatapannya menempel pada Zia, seolah menilai dan menandai setiap gerakan gadis itu.
“Zia…” gumamnya lirih, “kamu itu berbeda. Ada sesuatu dalam dirimu yang menarik…”
Tatapan itu bukan lagi sekadar kepedulian seorang guru pada siswanya. Ada obsesi di sana, obsesi yang perlahan tumbuh semakin kuat.
Zia yang sudah menghilang di balik koridor sekolah sama sekali tidak tahu bahwa dirinya sedang menjadi pusat perhatian yang berbahaya. Ia hanya berpikir bahwa Pak Raka mungkin terlalu baik, terlalu ramah. Tapi jauh di dalam hati kecilnya, ada firasat yang tidak enak setiap kali pria itu mendekatinya.
Di bangku taman, Pak Raka masih duduk, matanya tetap menatap ke arah kepergian Zia. Angin sore bertiup lagi, tapi dinginnya kalah jauh dibanding hawa misterius yang kini mengelilingi pria itu.