Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu tidak Pernah Berubah
Detektif sewaan Sagara menggertakkan gigi. Pada driver perangkat komputer tertulis manual over ride artinya sistem disengaja diputuskan dari pusat pemantauan—dilakukan hanya oleh seseorang dengan izin level tinggi.
“Ini tidak mungkin, kamera pengawas di rumah Lania terputus. Kita tidak bisa melihat siapa pelakunya, terlebih lagi, orang itu datang dengan berjalan kaki. Kemungkinan pastinya adalah orang-orang sekitar sana,” tutur Detektif itu seraya melihat ke arah Sagara.
Tinju menghantam meja kayu hingga berderak, Sagara tidak merasakan sakit sama sekali. Dia menyugar rambut dengan putus asa.
“Ada berapa CCTV yang Anda pasang di rumah, saya bisa memeriksa satu per satu. Besar kemungkinan tindakan kejahatan memiliki celah,” pungkas sang detektif.
Dada bidang Sagara mengembang dan mengempis, sedikit lega mendengar kemungkinan itu. “Dua di halaman, Satu di pintu belakang dapur, tiga di ruang makan, lima di ruang tamu dan ruang keluarga ada 3 yang terpasang.”
“Bagaimana dengan kamar tidur?”
“Aku tidak pasang CCTV di sana, itu privasi.”
“Sayang sekali, tempat yang dituju penyusup bisa saja di sana. Saya perlu berbicara dengan istri Anda sebelum melakukan penyelidikan lebih lanjut.”
Detektif itu menutup buku catatannya perlahan, lalu menyandarkan punggung pada kursi, matanya menyipit seolah sedang mengukur bobot rahasia yang belum diungkapkan Sagara.
“Kalau begitu, saya harus mulai dari rute penyusup,” ucapnya tenang, terlepas dari nada suara yang mengandung tekanan.
Sagara mengangguk, meski rahangnya mengeras. “Saya akan mengatur agar Anda bisa bertemu Lania hari ini. Dia masih di rumah Mama Yuris. Tapi… tolong jangan membuatnya panik. Kondisinya terlihat pulih, tetapi saya tidak mau trauma itu menghantui.”
Detektif itu hanya mengangkat sebelah alis. “Tenang saja. Saya tidak akan menakut-nakuti korban—kecuali kalau ada yang sengaja menyembunyikan sesuatu.”
Ucapan itu membuat Sagara menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Maksud Anda?”
Senyum tipis tersungging di wajah detektif. “Sistem Anda diputus dari pusat, Tuan Sagara. Itu artinya ada orang yang tahu kode override dan punya akses fisik ke rumah. Lingkarannya sempit—entah itu orang dalam, atau seseorang yang diberi kepercayaan besar oleh Anda.”
Suasana ruangan mendadak gerah. Sagara memijit pelipisnya, mengusir rasa pening yang menjalar ke kepala. “Kalau begitu, mulai dari orang-orang yang punya akses itu. Jangan biarkan siapa pun lolos.”
Detektif berdiri, merapikan jasnya, lalu menepuk map di tangannya. “Baik. Saya akan menemui istri Anda. Dan satu lagi… ” Dia menatap lurus ke arah Sagara. “… jangan kaget kalau nama yang muncul nanti bukan orang yang Anda sangka.”
Sagara hanya terdiam, tetapi tatapannya membara.
Di luar, langit menggelap—hujan mulai turun, dan detektif melangkah keluar dengan langkah mantap—membawa rahasia yang siap mengoyak kenyamanan semu rumah tangga Sagara.
Mobil hitam Sagara melaju cepat membelah jalanan basah, wiper bekerja keras menyapu rintik hujan yang terus menampar kaca depan. Di kursi kemudi, wajahnya tegang, tangan menggenggam setir erat mencoba memegang kendali penuh atas sesuatu yang sudah mulai lepas dari genggaman.
Dia menyalakan lampu sein, berbelok ke arah kompleks rumah Mama Yuris. Begitu sampai, pagar sudah terbuka setengah— menandakan seseorang tengah menunggu. Mama Yuris muncul di teras, payung besar di tangan.
“Lania sudah siap. Kita langsung ke dokter,” ucap Mama Yuris, suaranya lembut dan tegas.
Sagara hanya mengangguk dan mematikan mesin mobil. Dari dalam rumah, Lania keluar perlahan. Wajahnya pucat, tubuhnya terbalut jaket berbahan rajut, satu tangan bertumpu pada lengan Mama Yuris. Sagara menatap lama, ada rasa bersalah dan rindu yang bercampur menjadi satu.
Tanpa banyak kata, dia membukakan pintu mobil. Lania sempat menunduk singkat, mengucap pelan, “Terima kasih.”
Perjalanan menuju dokter spesialis berlangsung hening, hanya suara hujan dan deru mesin yang terdengar. Sagara sesekali melirik ke arahnya, ingin memulai percakapan mengenai permintaan si detektif, tetapi takut membuka luka yang belum mengering.
Sesampainya di klinik, mereka langsung menuju ruang USG. Bau antiseptik menyambut, cahaya putih terang menusuk mata. Dokter menyapa ramah dan meminta Lania berbaring di ranjang pemeriksaan.
Saat layar monitor menyala, denyut kecil yang ritmis terdengar—detak jantung janin. Lania menatapnya, matanya sedikit berkaca-kaca. Sagara, yang berdiri di samping, tak bisa menahan senyum tipis.
“Bayinya sehat. Perkembangan sesuai usia kandungan,” kata dokter, membuyarkan keheningan.
Namun, di balik rasa lega itu, Sagara tetap merasa ada ancaman yang mengintai. Wajah detektif dan kata-katanya tadi terus terngiang—tentang orang dalam, tentang pengkhianatan.
Sambil menggenggam tangan Lania saat keluar dari ruang periksa, Sagara sudah bertekad, siapa pun yang mencoba mengusik keluarganya, akan hadapi langsung, tanpa ampun.
Di parkiran klinik, hujan sudah mereda, menyisakan aroma tanah basah yang bercampur wangi dedaunan. Sagara menyalakan mesin mobil, melirik Lania yang duduk di kursi penumpang sambil merapikan selendangnya.
“Langsung pulang ke rumah Mama, atau…?” tanya Sagara, mencoba terdengar santai.
Lania menoleh, matanya berbinar tipis. “Aku mau pulang ke rumah kita. Ada kamu jadi tidak takut lagi.”
Sagara mengangguk, sedikit terkejut dan senang merasa dibutuhkan. Mereka pun memacu mobil menuju rumah, melewati jalanan yang masih licin.
Separuh perjalanan, Lania tiba-tiba bersuara, nadanya agak malu-malu, “Ga … aku pengin lumpia semarang.”
Sagara tertawa kecil. “Okay, ayo aja, kita ke Kebayoran.”
Lania menggeleng cepat. “Bukan. Lumpia Semarang. Aku mau beli di sana.”
Sagara mengerutkan kening. “Kita kan di Jakarta, Lan. Yang di Kebayoran itu juga lumpia asli Semarang, loh.”
“Ayo lah, Ga, rasanya pasti beda sama di tempat asalnya,” balas Lania sambil tersenyum, matanya berkedip polos—seperti anak kecil yang minta mainan.
Sagara menghela napas panjang, bibirnya terangkat mengukir senyum lebar hingga baris putih gigi terlihat. “Baiklah, Nyonya. Berangkat pantang pulang sebelum sampai Semarang. Kalau sampai muter-muter semalaman, jangan marah.”
Mereka pun berbelok dari rute biasa, memasuki jalan-jalan menuju jalur cepat. Sagara memelankan laju mobil, ketika sampai gerbang tol.
Perjalanan pun dimulai. Tol trans Jawa terbentang panjang di depan, lampu-lampu jalan memberi penerangan tambahan. Di tengah perjalanan, mereka mampir sebentar untuk mengisi bensin dan membeli kopi. Lania bersandar nyaman di kursinya, memandangi langit malam yang mulai bertabur bintang.
Menjelang tengah malam, mereka akhirnya memasuki kota Semarang. Udara terasa berbeda—hangat bercampur aroma laut. Sagara langsung menuju kawasan Simpang Lima, tempat warung lumpia legendaris berdiri.
Warung itu sudah hampir tutup, tetapi pemiliknya tersenyum begitu mendengar mereka datang dari Jakarta. “Demi istri yang hamil, ya? Tunggu sebentar, Nak. Saya buatkan yang paling fresh.”
“Senang?” Sagara mencubit mesra hidung Lania, ingin sekali mendarat kecupan di bibir cemberut istrinya. Wanita itu mengangguk cepat dan Sagara melingkarkan lengan di bahu—menarik Lania lebih dekat.
Tak lama, Lania menggigit lumpia panas itu di dalam mobil, menutup mata menikmati rasa rebung dan udang yang harum. “Ini enak banget, ayo Ga cobain.” Dia menyodorkan lumpia baru.
“Aku yang itu aja.” Spontan Sagara menunjuk bekas gigitan Lania.
Dan, membuat mata Lania berkaca-kaca, dia teringat kebiasaan Sagara. “Kamu tidak pernah berubah.” Lekas, dia mengambil lumpia sesuai keinginan suaminya.
Sagara melahap dalam gigitan besar, lalu menyalakan mesin. “Aku Sagara yang sama, kecelakaan tidak membuatku melupakan mu sepenuhnya.”
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍