Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
"So, how's Brandon?" tanya Sarah sambil cengengesan.
"Apaan, sih? Aku masih marah sama kamu, Rah," jawab Carissa ketus.
"I'm sorry," Sarah cekikikan. "Aku rasa dia not bad, jadi ya ku bantu sedikit, deh."
"Kamu lihat not bad-nya dari segi mana, sih?" Carissa melempar dirinya ke tempat tidur king size tepat di tengah-tengah. "Aku mau tidur."
"Good looking, modis, keren, cara bicaranya asik, dan kelihatan seperti cowok baik-baik," Sarah ikutan naik ke tempat tidur.
"Good looking jijik! Nyebelin banget orangnya. Ngekor terus sampai sukses hancurin liburanku," Carissa menggerutu sambil menyepak sahabatnya pelan.
"Jadi, ke mana aja tadi berdua?"
"Sendiri!"
"Iya, iya. Ke mana aja hari ini, sen.di.ri?" goda Sarah.
"Makan, jalan-jalan, foto-foto, makan lagi, terus pulang," jawab Carissa sambil menarik selimut dan menenggelamkan diri di selimut bulu angsa khas hotel bintang lima.
Baru dua detik, selimut itu langsung ditarik lagi oleh Sarah yang tidak mau melepaskan sahabatnya untuk tidur begitu saja.
"Cukup, Rah. Besok aku harus gantikan kamu touring ibu-ibu pejabat. Plis, biarkan aku kumpulin tenaga, ya."
"Semenit. Semenit aja. Bener," Sarah menahan selimut yang direbut balik oleh Carissa.
"Apa? Cepet!"
"Kayaknya Brandon naksir deh ama kamu. Nggak mau dipertimbangkan? Uda berapa lama sih kamu jomblo?" Sarah berpikir keras sambil menghitung berapa tahun yang lalu sejak Carissa diputusin kakak kelasnya karena terlalu introvert.
"Iya, dia memang naksir sama ku. Tapi, aku nggak tertarik ama cowok nyentrik," gerutunya sambil memukul tangan Sarah yang masih menghitung-hitung.
"Itu bukan nyentrik, Sa. Itu modis! Kamu tau dia kerja di mana? Jangan-jangan anak konglomerat yang gabut makanya touring melulu."
"Mau modis, mau anak konglomerat, pokoknya nggak tertarik. Aku nggak suka dia tukang cengengesan, childish kayak gitu pasti nggak bisa bangun rumah tangga yang benar. Kasihan anak istrinya," Carissa cemberut. "Udah lewat semenit."
"Mau ku kenalin pendeta atau pemuka agama aja padamu, Sa?"
"Pergi, Rah. Bule mu udah nunggu," Carissa mengusir Sarah dari balik selimutnya.
"Baiklah. Sweet dream, bestie."
"Sweet dream," jawab Carissa samar-samar.
***
Membawa ibu-ibu pejabat touring memang butuh kesabaran ekstra, tekad yang kuat, niat yang tulus, serta parameter emosi yang selalu stabil. Tidak segampang memberikan mic di mobil untuk karaokean. Tapi, di sepanjang jalan dari Bandara Ngurah Rai menuju Tanah Lot, Carissa sudah turun dari mobil sebanyak enam kali di tengah jalan karena sepuluh ibu-ibu pejabat yang kompak dari seragam, syal, kacamata, sampai model rambut minta difoto karena menemukan spot foto menarik di sepanjang perjalanan. Nah, yang jadi fotografer dadakan tentu saja Carissa. Spot fotonya juga unik-unik: rumah penduduk yang gerbangnya punya ukiran khas Bali, semak-semak yang bunga liarnya bermekaran, patung penis besar di depan toko cenderamata, patung anime di toko mainan, monyet-monyet liar yang kelaparan.
"Buk, ibuk yang cantik-cantik, sekarang kita harus langsung ke tujuan, ya. Tidak boleh ada acara foto-foto lagi karena waktu sudah sangat mepet dikarenakan reservasi di restoran ada durasinya, ya, Buk, Ibu," suara Carissa terdengar memelas.
Para penumpang tidak begitu menyimak apa yang dikatakan Carissa barusan. Hanya mencerna kalau ada durasi di restoran. Setelah itu, mereka kembali ke kesibukan masing-masing. Ada yang lanjut bergosip, ada yang sibuk pamer bawaannya, ada yang sibuk ngedit-ngedit foto, ada yang selfie. Carissa terduduk lemas di samping sopir.
"Capek, ya?" tanya sopir yang bernama Gede. Ada tanda pengenal yang terpampang di depan kemudi.
"Iya, nih. Sepertinya aku menjadi tua beberapa tahun," keluh Carissa.
Pak Gede tertawa. "Ibuk bisa aja."
"Nah, kan. Sampai Bapak aja bisa panggil saya Ibu. Padahal, aku masih dua puluh tiga tahun," Carissa cemberut.
"Ibu itu artinya saya menghormati Anda, Bu," suara Pak Gede mendadak canggung.
"Saya bercanda, Pak. Jangan terlalu dianggap serius," Carissa bertambah lelah.
Singkat cerita, akhirnya rombongan sudah sampai di Tanah Lot sekitar tiga puluh menit yang lalu dan Carissa memberikan waktu bebas sekitar satu setengah jam kepada rombongan ibu-ibu pejabat untuk melakukan kegiatan bebas dan wajib berkumpul kembali di tempat yang sudah ditentukan.
Carissa membeli dua botol minuman dingin di kantin dan mencari Pak Gede. Tapi, Pak Gede tidak tampak di mana-mana. Carissa kembali ke tempat parkiran dan Pak Gede tidak ada di dalam mobil ataupun di dekat sana. Firasat tidak enak tiba-tiba muncul dan Carissa langsung menelepon ke nomor Pak Gede. Bunyi ketiga, Pak Gede menjawab. Carissa mengembus napas lega.
"Buk, maaf, saya tiba-tiba sakit perut, bisa ke toilet dan sekalian panggil beberapa orang untuk menolong saya?"
Carissa auto panik dan memanggil warga di dekat sana dan membawa mereka ke toilet yang dimaksud Pak Gede. Beberapa menit kemudian, Pak Gede dievakuasi dan diistirahatkan di rumah penduduk dekat sana. Ambulans tiba lima belas menit kemudian. Carissa bingung bagaimana mencari sopir dadakan. Dia sudah berusaha meminta tolong ke penduduk sana dan tidak ada yang berhasil mencarikan solusi untuknya. Satu-satunya harapan adalah menelepon sahabatnya.
"Gimana, dong, ini, Rah?" keluh Carissa setelah menjelaskan situasinya kepada Sarah.
"Wait. Wait. Let me think," napas Sarah terdengar pendek di seberang telepon. Bukan karena panik, tapi karena dia sedang melakukan kegiatan fisik dengan bule yang kemarin. "I'll call you back after climax."
"Anjir kau, Rah," tapi Sarah sudah menutup telepon. "Kudoain hamil!"
Sudah puluhan kali Carissa melirik jam di ponselnya, berharap Sarah segera mendapatkan solusi. Masih ada sejam kurang lagi mereka harus berangkat ke restoran yang sudah direservasi lalu kembali ke hotel, dan pekerjaannya selesai untuk hari ini. Walaupun Carissa baru pertama kali menginjakkan kaki ke Tanah Lot, tapi dia tidak bisa benar-benar menikmati pemandangannya. Terakhir dia melihat pemandangan di sini pada saat dia riset dari berbagai sumber di internet. Saat sedang riset, dia memuji tempat ini di dalam hati dan sangat antusias karena ada kesempatan bisa melihat langsung dan berjalan-jalan serta menghirup udara di sini. Tapi kenyataannya, dia sedang berjongkok di samping mobil yang ditinggalkan Pak Gede dengan perasaan tidak tenang. Di saat dia sudah hampir menangis, ponselnya berdering. Dari Sarah.
"Gimana?" tanyanya cepat.
"Sudah aman. Kamu tunggu saja di situ. Nggak sampai setengah jam, sopir pengganti akan tiba di sana. Kamu beruntung, Sa. Kebetulan dia juga memang mau ke Tanah Lot."
"Siapa? Sopir pengganti?"
"Iya. Udah tenang aja. Enjoy your holiyay, bestie," dari suaranya saja, Carissa yakin Sarah sedang mengedipkan mata padanya.
Carissa akhirnya bisa bernapas lega. Kakinya yang tadinya gemetar sudah mulai bertenaga untuk membuatnya berjalan-jalan di sekitaran parkiran. Dengan semangat, dia melihat-lihat ke dalam toko suvenir, mencoba topi lebar jerami dengan pita pink yang terikat di topi tersebut. Carissa cocok sekali dengan topi tersebut, dan tanpa basi-basi dia langsung membayar topi tersebut. Carissa berjalan-jalan melihat sekeliling, dia berjalan ke arah pura dan baru hendak sampai di gerbang pura, ponselnya berbunyi. Dari nomor tidak dikenal. Menurut instingnya, pasti sopir penggantinya sudah sampai. Alhasil, Carissa berbalik arah sambil mengangkat panggilan.
"Halo," jawab Carissa penuh harap.
"Carissa?" tanya orang di seberang telepon.
"Iya, benar. Bapak sopir pengganti yang direkomendasi Ibu Sarah, ya?" tanyanya memastikan.
"Iya, betul. Gue uda di parkiran motor."
Langkah Carissa terhenti sejenak, kemudian melangkah dengan ragu. "Gue? Maksudnya motor?"
"Iya, gue naik motor ke sini."
"Oke, bentar, aku ke sana sekarang," firasat nggak enak muncul lagi. Setahunya, penduduk Bali tidak ada yang menyebut dirinya 'Gue'. Carissa langsung menelepon Sarah untuk memastikan. Sialnya, ponsel Sarah terus menerus tidak bisa dihubungi. Carissa kini sudah berada di parkiran, dia menajamkan matanya mencari seseorang yang naik motor.
"Hey," seru seseorang dari kejauhan sambil mengangkat tangannya. Orang itu lalu berlari kecil ke arah Carissa.
Carissa shock selama beberapa detik dan langsung berbalik lari menjauhi dari orang tersebut.
"Sa. Sa... Carissa!" panggil orang tersebut tidak menyerah sampai akhirnya dia berhasil meraih tangan Carissa.
"Apaan, sih? Kamu kok kayak hantu terus gentayangan di mana pun aku berada," ujar Carissa kesal.
Orang itu tak lain adalah Brandon.
"Sarah menyuruh gue ke sini untuk menolong lo," ucapnya.
"Apa?!" Carissa shock untuk kedua kali. "Kamu sopir pengganti?"
Brandon mengangguk bangga. "Gue kebetulan naik motor hendak ke sini saat Sarah telepon."
"Terus, Sarah kok bisa ada nomor telepon kamu?"
"Kami ketemu di lobi hotel kemarin. Sempat ngobrol bentar lalu tukeran nomor Whatsapp."
"Sarah sialan," gerutu Carissa.
"Jadi, mana rombongannya? Sudah siap berangkat atau masih ada waktu untuk explore?" tanya Brandon semangat.
Carissa mendengus kuat, lalu dengan pasrah menerangkan jadwal perjalanan hari ini ke Brandon sambil berjalan menuju pura. Mereka dipakaikan kain batik khas Bali mengelilingi pinggang untuk menghormati tempat tersebut. Mereka berjalan mengelilingi tempat itu dalam bisu. Carissa mengabadikan tempat itu dengan kamera ponselnya. Sedangkan Brandon menekan-nekan tustel kamera canon keluaran terbaru ke arah Carissa. Dia tidak menyangka akan mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Seperti di film Hotel Transylvania pada saat Mavis mengalami Zink pada Jonathan. Begitulah yang dialami Brandon saat pertama kalinya melihat Carissa di bukit cinta. Jari-jarinya gemetar ketika lensa kameranya tertuju pada seorang gadis berkepang satu, pipi merah karena terik matahari, sedikit keringat yang jatuh di pipinya tapi gadis itu mengabaikan keringatnya, tapi sibuk membagikan selebaran kepada turis-turis yang baru turun dari kapal. Brandon menurunkan lensa dari matanya dan menatap langsung gadis tersebut. Jantungnya berdegub kencang, pesona gadis berkepang satu itu meluncur dengan lancar langsung ke dalam hati Brandon. Dia berjalan mendekati gadis tersebut dan mengambil selebaran yang dibagikan. Dia yakin mereka bertatapan selama sepersekian detik. Wangi parfum yang tidak bisa diterka mereknya membuat Brandon ketagihan. Selama di Bukit Cinta, Brandon tidak sanggup mengalihkan perhatiannya dari gadis yang dia kira bernama Sarah sesuai dengan Nametag yang tergantung di depan dadanya.
Kalau takdir dan jodoh sudah kolaborasi, mustahil lagi untuk di elak. Perjumpaan kedua kali hanya berselang beberapa hari. Dari bukit cinta ke Pulau Bali. Pulau yang romantis dan misterius ini membuat perjumpaannya dengan Carissa menjadi bukti bahwa ada kisah yang akan tetoreh di antara mereka berdua.
***
"Kakak-kakak yang cantik dan ceria, karena Pak Gede sedang nggak enak badan, jadi gue, Brandon, yang akan membawa kakak-kakak melancong!" seru Brandon ceria setelah Carissa berhasil mengumpulkan ibu-ibu pejabat yang tersebar di sekitaran pantai.
Ibu-ibu pejabat heboh setelah melihat sosok Brandon yang ceria. Tidak ada satu pun dari mereka yang menanyakan keadaan Pak Gede. Carissa sedari tadi sibuk menghitung-hitung jumlah ibu-ibu pejabat yang semakin pecicilan berganti-gantian bertanya sesuatu pada Brandon.
"Gue anak Jakarta. Jadi, gue tahu persis selera kakak-kakak. Ikut gue, lo pada semua aman!" ujar Brandon dengan gaya sok keren.
"Ihh... Kok panggil kakak?" ucap salah satu dari sepuluh ibu-ibu.
"Ah, elah... Paling kita beda tiga tahun," ujarnya sambil mengangkat tangannya mengajak high five.
Singkat cerita, akhirnya Brandon berhasil memikat hati para ibu-ibu pejabat dan mengukir secuil kenangan yang indah pada mereka. Kini, mereka sedang dalam perjalanan ke destinasi selanjutnya, yaitu makan siang di salah satu restoran yang lumayan terkenal dengan konsep prasmanannya.
"Seneng banget kita jumpa lagi, Sa," kata Brandon di depan kemudi ke Carissa yang duduk di sebelahnya.
"Aku nggak senang-senang amat. Hanya bersyukur tertolong saja hari ini," ucap Carissa sambil memandang keluar jendela.
"Aku senang bisa nolong elo," balas Brandon.
"By the way, kamu buntutin aku, ya? Aku nginap di Hard Rock, kamu juga. Aku ke pantai, kamu juga. Aku ke Tanah Lot, kamu juga. Terus, Pak Gede tiba-tiba sakit dan kamu jadi sopir pengganti. Bisa jelasin, nggak, ya?" ketus Carissa menuduh Brandon.
"Nggak. Suer, aku nggak buntutin elo," Brandon panik dan mengangkat tiga jari tanda sumpah. "Ini murni kebetulan, Sa."
"Aku nggak percaya ada banyak sekali kebetulan. Pasti sejak di bukit cinta, kamu udah buntutin aku, kan?" Carissa tidak mau menyerah.
"Aduh, Carissa. Waktu di bukit cinta, kita pulang naik kapal yang berbeda. Terus, gue juga naik ke tour bus. Kejadian kebetulan di Bali juga murni kebetulan," Brandon membela diri.
"Aku masih curiga kamu punya niat buruk," desak Carissa lagi.
"Gue jujur tertarik pada elo. Tapi, gue berani jamin pada lo kalau gue bukan penguntit."
"Nah, kan. Kamu pasti pakai santet-santet gitu, kan? Biar kita bertemu terus," tuduh Carissa.
"Aduh, Sa. Santet apaan? Gue anak milenial yang nggak percaya gituan," Brandon membela diri.
"Aku berani jamin kalau kamu percaya hal-hal mistis."
"Apa buktinya coba?" tantang Brandon.
"Waktu di bukit cinta, kamu bilang kalau percaya legenda di sana dan punya feeling bisa menemukan jiwa dewa dan dewi cinta," Carissa mengatakannya dengan sekali napas. "Terus, waktu di Tanah Lot, kamu sentuh ular suci terus kamu berdoa. Dua hal ini cukup bukti kalau kamu percaya dengan hal mistis dan pasti kamu juga nyari dukun untuk santet aku, kan?"
"I'm speechless," Brandon pasrah.
"Ngaku sekarang? Tahu nggak apa dosanya main santet-santet? Susah mati walaupun sudah sekarat," ujar Carissa emosi.
"Gue ngaku suka ama lo, gue ngaku percaya legenda bukit cinta, gue ngaku percaya ular suci. Tapi, gue nggak nyantet lo, Sa," Brandon membela diri.
"Mulai sekarang, jangan suka aku," ketusnya.
"Ini di luar kendaliku, Sa," keluhnya. "Sadar nggak sih, di belakang kok sunyi?"
Carissa tersadar lalu melihat ke belakang. Ibu-ibu pejabat pada menyimak percakapan mereka berdua sambil senyum-senyum. Ada dua orang yang merekam mereka dengan video ponsel.
"Enaknya yang masih muda," ucap salah satu dari sepuluh ibu-ibu.
"Itu namanya jodoh nggak ke mana," ibu yang berlipstik cokelat cekikikan.
"Pulang dari Bali langsung lamar aja, daripada dituduh nyantet," saran ibu yang lain.
"Iya. Dulu, saya juga langsung dilamar," timpal ibu lain.
"Kalau aku pacaran dulu, nikmati hidup keliling benua Eropa. Eh... dilamar di bawah menara Pisa," ujar ibu yang lain lagi.
"Ide bagus," bisik Brandon.
"Ide apa?" tanya Carissa balas berbisik.
"Ngelamar elo," jawab Brandon dengan senyum lebar.
"Aku nggak suka sama kamu," ketusnya.