Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putus sekolah
Hari terus berlalu, tahlilan hari pertama , kedua sampai empat puluh harinya berlalu, tidak ada perubahan pada Ira. Dia sudah dibawa ke dokter, bahkan ke kiai untuk diobati, tetap saja tidak ada perubahan.
Jiwa Ira seolah mati terbawa bersama jasad Alex.
Rehan melamar kerja ke sana kemari dan hasilnya masih nihil.
”Bang, mobil papa ada dua. Kita jual saja satu, lalu uangnya kita pakai untuk modal. Gimana?”
“Mau usaha apa?’’
“Kan kita ada sawah tuh yang di deket pasar sana, jalannya juga lebar dan luas, bagus juga. Pemadangannya juga gunung. Gimana kalau kita buka seblak parasamanan aja? Belum terlalu banyak yang jual di sini.”
“Siapa yang masaknya, Mel? Yang kerja sama kita siapa?”
“Banyak. Kalau yang masak, adek tau siapa. Yang kerja juga nanti adek coba cari ke temen-temen yang di smp dulu.”
“Nanti abang pikirkan lagi ya, coba adek buat konsepnya dulu. Lalu kita bahas bersama.”
“Oke”
Saat di sekolah, Amelia jug bertanya pada teman-temannya, apa kiranya yang mereka sukai. Bagaimana tempat yang banyak diminati anak sekolah.
Sepulang sekolah Amelia langsung membuat konsep. Mulai dari pembangunan, harga makanan dan menu apa saja yang akan merka jual nanti. Sesuai hasil penelitian yang dia buat di sekolah.
“Jadi, sasaran kita salah anak sekolah. Karena apa/ karena anak seusia merka itu masih asik nongkrong, masih suka jajan meski perut kenyang. Intinya merka itu cuma butuh sesuatu untuk di posting di media sosial. Nah, itulah kenapa konsep bangunan kita harus angat menarik meski hanya sebuah warung seblak.”
“Adek mau konsepnya seperti apa?”
“Bngunnny seperti gajebo gitu lah, kan kita bangun di sawah jadi namanya Seblak Tepi Sawah Mamah Ira.”
“Menarik sih.”
“Abang pernah ka kafe Mawar gak? Mereka menyediakan berbagai macam mainan kan? Nah, kita jug adain. Jadi merka gak akan bosan menunggu sampai seblaknya datang.”
“Mau jual seblak doang?’
“Nggak lah. Kita bikin cemilan juga sempet pisang goreng, roti goreng, cicol, mendoan. Intinya makanan yang murah meriah kita plating seperti kafe, tapi harganya jauh dibawah, karena kan kita gak bayar chef.”
“Boleh sih. Coba nanti kamu bikin desig bangunannya, biar abang hitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk pembangunnya.”
“Oke”
Amelia merasa sangat bersemangat dengan rencana yang dia buat. Dia berharap apa yang dia bayangkan bisa sesuai dengan realisasinya nanti.
Hari berganti, waktu berlalu. Rencana Amelia belum juga terealisasi karena keuangan Fan mereka turun naik, ditambah pengobatan Ira yang terus menerus dilakukan.
Mobil terjual, namun uangnya terpakai untuk biaya sehari-hari. Termasuk biaya sekolah Amelia yang bersekolah di swasta.
“Bang, adek pindah sekolah aja, ya?”
“Tanggung udah kelas tiga.”
“Justru karena kelas tiga butuh banyak biaya.”
“Udah, adek fokus aja sekolah. Toh abang sekarang udah kerja meski gajihnya kecil tapi kan lumayan.”
Amelia menghela nafas.
Hatinya teriris pilu saat melihat tubuh Rehan yang dulu kekar karena rajin nge-gym, kini terlihat sangat kurus tidak terawat.
Penampilan nya yang perlente, kini sudah tidak terurus lagi. Pakaian yang dulu bermerek pun, kini dia membeli dari toko pinggir jalan.
Jam emat pagi hari Amelia terbangun, dia mendengar suara tangisan seseorang. Dengan hati-hati Amelia keluar kamar mencari sumber suara. Ternyata itu dari kamar Rehan.
Rehan sedang menangis di atas sajadah.
Ingin masuk, tapi Amelia mengurungkan niatnya karena takut melukai harga dirinya. Amelia tau, Rehan selama ini pura-pura kuat dan menangis jika orang lain sudah tertidur.
Gadis itu turun menuju kamar Ira. Duduk di samping ibunya yang sedang tertidur.
“Mama, adek mohon mama sembuh ya. Mama harus kuat demi aku dan abang. Kita butuh mama. Kasian abang, Ma. Dia tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara selain mama.”
Amelia meneteskan air mata, lalu tidur di samping Ira sambil menunggu azan subuh tiba. Namun, Amelia tertidur sambil memeluk erat tubuh Ira.
Saat pagi hari Amelia merasa tubuhnya digoyang-goyang dengan lembut. Perlahan dia membuka mata dan melihat Ira sedang cemas.
“Mama?’’
“Duhhh, mama sampai khawatir karena kamu gak bangun-bangun. Jangan dibiasakan tidur habis solat masih pakai mukena. Keenakan nantinya, soalnya kalau tidur pakai muken atuh hangat dan nyaman”
“Solat subuh nggak tadi? Apa jangan-jangan tidur dari habis tahajud?”
“Mama ….”
“Ayo buruan turun, papa sama abang udah nunggu di bawah.”
“Papa?”
Ira yang sedang merapikan kamar anaknya menoleh heran.
“Kamu kenapa, adek? Masih belum kumpul ya nyawanya? Banguuunnn sayang.”
Ira mencubit pipi anaknya dengan gemas. Wanita itu tersenyum dengan lembut pada anak gadisnya.
“Hei, dek. Ada apa sih? Jangan sedih gitu ah. Ada apa? Kamu mimpi?”
Amelia terdiam berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
“Mama. Beneran ini mama?”
“Iya, sayang. Ini mama. Mama ada di sini. Mama akan selalu ada buat kamu. Jangan sedih ya. Kamu itu anak yang kuat, anak hebat.”
“Mama ….”
Sekar hanyut dalam dekapan Ira yang hangat. Sampai dia merasa tubuhnya bergerak dan …
“Dek, bangun. Ngapain tidur di sini? Udah azan dari tadi. Ini udah jam enam.”
Sekar menoleh ke samping dan mendapati Ira masih berbaring di tempat yang sama. Mimpi indah yang baru saja dia alami terasa angat nyata.
Amelia kembali menangis. Dia ingin kembali tertidur dan tida pernah bangun dari mimpinya.
“Dek, ada apa? Ayo mandi, kamu harus sekolah.”
“Nggak, Bang. Adek gak mau sekolah lagi. Sudah cukup, bang. Adek lelah. Lelah dengan semua yang terjadi.”
“Kita sedang diuji, Dek. Kita harus kuat, harus sabar. Allah percaya kita bisa, masa kita mau nyerah.”
“Adek tadi mimpi. Mimpi mama masih sehat, mimpi papa masih hidup. Adek pikir apa yang terjadi sekarang ini cuma mimpi dan orang tua kita masih baik-baik aja, tapi ternyata apa?”
“Dek, tolong jangan begini. Abang udah gak bisa mikir lagi kalau sampai kamu pun nyerah.”
“Adek udah memutuskan untuk tidak sekolah.”
“Abang gak setuju.”
“Biaya adek banyak, bang. Banyak pengeluaran dan adek juga gak bisa fokus lagi kayak dulu. Abang lihat kan nilai adek turun nya anjlok banget.”
“Gak usah mikirin biaya, itu urusan abang,”
“Lihat diri abang!”
Amelia berteriak.
“Abang udah gak kayak dulu lagi. Lihat wajah abang. Abang pikir adek gak tau setip malam abang nangis kan? Abang tidak punya seseorang untuk diajak bicara. Dulu abang sering curhat sama mama, tapi mama sekarang udah gak bisa diajak komunikasi. Jadi, abang gak usah berkorban seorang diri lagi. Adek udah dewasa, ayo kita berbagi beban bersama.”
Rehan berlutu. Air mata yang selama ini dia simpan, kini tumpah ruah. Dia menangis sejadinya. Amelia menghampiri lalu memeluk rehan.
“Adek ngurus mama di rumah, abang cari uang buat hidup kita. Gak apa-apa adek gak usah sekolah juga.”
“Jangan, abang mohon jangan berhenti sekolah.”
“Adek uah ambil keputusan. Mobil sudah dijual, toko sudah gak bisa diandalkan , dijual gak ada yang mau karena dikira tempat wadal. Motor kesayangan abang pun udah dibeli sama Gunawan. Abang sudah mengorbankan segalanya. Cukup, bang. Adek gak mau membebani abang lebih berat lagi.”
Rehan menangis sesenggukan.
“Maaf, dek. Abang minta maaf karena gak bisa seperti papa.”
Kedua anak tersebut menangis saling memeluk, saling memberikan kekuatan satu sama lain. Mereka yang terbiasa hidup enak dan serba kecukupan, harus berjuang demi kelangsungan hidupnya.