Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Sirine ambulans di kejauhan seperti gema masa kecil yang tak pernah benar-benar hilang dari benak Andre. Malam itu, gas ditekan penuh, mobil melesat menembus lampu-lampu jalanan Jakarta yang sepi dan dingin. Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 01:14 dini hari. Andre tidak mempedulikannya. Telepon dari rumah sakit datang terlalu tiba-tiba, terlalu menyesakkan: Andrea Suthajningrat, kakaknya, mencoba bunuh diri.
Lorong rumah sakit malam itu dingin dan menyilaukan, dengan cahaya putih pucat dari lampu neon yang memantul di lantai keramik. Suara langkah kaki Andre bergema sepi, menggema di antara dinding dan tanda arah bercat biru yang menunjuk ke arah Instalasi Gawat Darurat. Udara AC menusuk hingga tulang. Tangannya gemetar meski ia berusaha tampak tenang.
Di setiap napasnya, Andre seolah mencium jejak masa lalu—malam-malam gelisah saat ibunya dulu terbaring sakit dan hanya Andrea yang menangis diam-diam. Kini, Andrea kembali tergeletak, bukan karena penyakit, tapi karena keputusasaan.
Begitu sampai di ruang UGD, Andre menyingkap tirai hijau dengan tangan yang nyaris bergetar. Cahaya dari lampu operasi menggantung di atas kepala Andrea, memantulkan warna pucat di kulit kakaknya. Wajah Andrea tampak bersih, tetapi terlalu tenang. Terlalu sunyi. Hanya detakan mesin monitor jantung yang menunjukkan bahwa nyawanya belum sepenuhnya menyerah.
Andrea mengenakan gaun pasien berwarna biru muda. Di sekitar pergelangan tangannya, perban bekas infus membungkus luka kecil. Bibirnya pecah-pecah, matanya terpejam lemah.
“Ndre…” suara parau itu akhirnya keluar, pelan, nyaris seperti hembusan angin yang lelah.
Andre langsung mendekat, menarik kursi di sisi tempat tidur. Ia mencengkeram tangan Andrea yang terasa dingin.
“Kakak” suara Andre pecah. Untuk pertama kalinya sejak dewasa, ia menangis di hadapan orang lain tanpa rasa malu.
Andrea membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia masih bisa menatap adiknya yang wajahnya penuh luka batin.
“Kenapa kakak sampai begini…?” tanya Andre lirih, seperti menyalahkan dirinya sendiri.
Andrea tak langsung menjawab. Ia menoleh pelan ke arah jendela kecil yang memperlihatkan langit malam Jakarta yang kelabu. “Capek.”
Andre diam. Matanya menelusuri wajah Andrea yang masih cantik meski terlihat sangat letih. Di balik garis halus dan warna pucat kulitnya, ada luka yang telah lama ia abaikan—luka yang muncul dari ketidakadilan sejak kecil. Dari tekanan sebagai perempuan. Dari ekspektasi sebagai anak pertama. Dari penghinaan yang tak pernah diucapkan, tapi terasa setiap hari.
“Aku capek Ndre.”
Andre menunduk. “Aku salah. Aku sibuk urus diriku, sampe lupa kakak juga butuh seseorang buat dengerin.”
Andrea menghela napas. “Kamu juga babak belur, aku tahu. Kita ini dua anak dari luka yang sama, Ndre. Tapi setidaknya kamu masih punya sesuatu buat diperjuangkan.”
Sunyi menggantung sejenak. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terdengar pelan. Di luar, angin malam menggerakkan tirai tipis jendela. Udara masuk, membawa aroma tanah basah.
Andre bangkit dari kursi dan menutup jendela pelan, lalu kembali duduk. Ia menatap Andrea seperti melihat dirinya sendiri—dengan luka yang sama, hanya beda bentuk.
“Aku akan perbaiki semuanya. Untuk kakak, untuk Lily, untuk hidup kita yang selama ini selalu dikendalikan.”
Andrea menatap adiknya. Tatapannya tidak lemah, tapi juga bukan kuat. Hanya jujur—dan menyakitkan. “Jangan kalah sama mereka, Ndre. Jangan jadi pecundang.”
Andre mengangguk. Wajahnya tegas. “Aku akan bikin mereka menyesal pernah meremehkan kita.”
Andrea tersenyum lemah. Lalu menutup mata lagi.
Andre duduk di samping tempat tidur itu sampai pagi. Ia menolak tidur. Setiap lima menit, ia menatap wajah kakaknya, memastikan ia masih bernapas. Sekali waktu, ia menyentuh dahinya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi pelipisnya. Sekali waktu, ia mengusap selimut, memastikan Andrea tak kedinginan.
Pukul 05:40, ponsel Andre berbunyi. Sebuah email masuk dari notaris keluarga.
Pak Bowo akan menandatangani pengambilalihan semua aset resmi hari ini pukul 11.00. Mohon hadir sebagai formalitas.
Andre menggenggam ponselnya erat. Matanya tajam. Nafasnya dalam.
Di luar jendela, cahaya matahari pertama menyusup masuk. Tapi bagi Andre, ini bukan pertanda damai. Ini adalah panggilan perang.
...****************...
Andre berdiri membatu. Ia membacanya dua kali, tiga kali, seolah tak percaya.
Tangannya gemetar.
Ayahnya benar-benar melanjutkan rencana itu.
Menyerahkan seluruh kerja kerasnya. Menghapus namanya. Menghapus seluruh jejaknya dari perusahaan—seperti menutup buku yang belum selesai ditulis.
Ia berjalan keluar ruangan rumah sakit dengan napas yang pendek dan langkah tergesa. Di lorong, ia berhenti, merapat ke dinding, menatap ke langit-langit seakan mencari udara. Tapi yang ia temukan justru amarah yang menekan seluruh dadanya.
Bukan hanya untuk ayahnya. Tapi juga untuk dirinya sendiri. Karena membiarkan semua ini terjadi.
Karena terlalu lama memilih diam.
Siang itu, langit Jakarta mendung. Di dalam mobilnya yang melaju di jalur cepat, Andre memelintir kemudi dengan keras, gas diinjak hingga mobil meraung.
Wajahnya dingin. Matanya merah, tapi bukan karena menangis—melainkan karena marah. Frustrasi. Terluka. Dan yang lebih menyakitkan: dihianati oleh darah dagingnya sendiri.
“Sialan,” gumamnya, Mobilnya mengebut menuju rumahnya.
Kali ini, Andre tidak akan tinggal diam.
semoga rumah tangga dan usahanya lancar
ayah yg seharusnya mendukung anaknya untuk bangkit tapi malah menjadi penghambat
lanjut kak
semoga andrea juga tdk putus asa
lanjut kak