NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cincin Transaksional

​Aku membawa kotak beludru yang diberikan Bunda Fatma tadi sore ke kamar. Kotak itu tidak terasa hangat seperti hadiah cinta, melainkan berat dan resmi, layaknya dokumen perjanjian.

​"Bunda bilang, Gus Ammar Fikri memilih cincin ini sendiri di sela-sela rapat pentingnya," gumamku pada diri sendiri. "Dia mengirimkannya karena tidak mau menunda keputusan, demi menjaga stabilitas taaruf."

​Aku membuka tutup kotak itu. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin emas putih dengan desain minimalis namun elegan, dihiasi mata berlian tunggal yang sederhana. Cincin yang indah, tetapi tidak memiliki cerita.

​Cincin ini adalah simbol kepatuhanku dan ketegasan Ammar. Ini adalah Cincin Pengikat Komitmen, bukan Cincin Janji Romantis.

​Aku mencoba cincin itu di jari manisku. Pas. Terlalu pas. Ammar tidak perlu menanyakan ukuranku; dia pasti sudah mendapatkannya dari Bunda, atau mungkin dari data yang ia miliki tentangku.

Saat aku sedang menatap cincin itu, ponselku yang tergeletak di meja bergetar, menampilkan nama Neli dan Imel yang menelepon secara bergantian. Aku memutuskan untuk mengangkat panggilan Imel.

Saat aku sedang menatap cincin itu, ponselku yang tergeletak di meja bergetar, menampilkan nama Neli dan Imel yang menelepon secara bergantian. Aku memutuskan untuk mengangkat panggilan Imel.

​"Halo, Mel? Ada apa? Bunda lagi sibuk atur acara," kataku.

​"Ra! Lo harus tahu. Kami habis dari meeting BEM lanjutan, dan kami ketemu salah satu teman BEM Wijaya Krama," suara Imel terdengar tegang dan panik. "Gue sama Neli lupa mau kasih tahu Lo sesuatu, untuk orang itu ingetin Gue dan Neli masalah barang titipan."

​"Titip apa?" tanyaku dingin, hatiku sudah berdebar kencang. Aku tahu, ini pasti Revan. Nomornya terblokir, jadi dia mencari perantara.

​"Surat. Surat tulisan tangan, Ra," jelas Imel. "Temannya Revan langsung kasih ke kami. Dia bilang, ini adalah kata-kata terakhir yang harus lo tahu sebelum lo resmi bertunangan. Aku sama Neli enggak berani bukan."

​"Terus, suratnya di mana sekarang?" tanyaku cemas.

​"Aman! Kami enggak berani bawa-bawa di tas kami. Ingat buku Filsafat Timur yang lo titip ke kami pas pulang kemarin? Kami selipkan surat itu di halaman tengahnya, di dalam totebag-mu. Biar enggak ada yang curiga kalau Bunda atau Ayahmu lihat," jelas Imel lega. "Cepat cek, Ra!"

​Aku segera menuju tas kuliahku. Aku menarik buku Filsafat Timur yang tebal, dan benar saja, sebuah amplop putih tersembunyi di halaman tengahnya. Tulisan tangan di amplop itu, yang hanya bertuliskan namaku, sudah cukup membuatku lemas.

​"Mel, aku tutup dulu ya. Makasih banyak," kataku, lalu segera mematikan ponsel.

​Aku merobek amplop itu, menarik napas dalam-dalam. Ammar memintaku untuk melapor setiap variabel. Revan adalah variabel yang mengirimkan surat terakhirnya.

Aku membaca tulisan tangan Revan yang rapi, namun terlihat tergesa-gesa:

​Indira,

​Jika kamu menerima ini, berarti kamu sudah tahu tentang pertunanganmu. Dan kamu sudah berhasil memblokirku dari semua akses. Aku mengerti. Aku menghormati kepatuhanmu pada Ayah Bimo dan pada Garis Batas Keyakinan yang kamu pilih.

​Aku tidak menulis ini untuk memintamu kembali, atau untuk menyalahkan mu. Pria yang menjemputmu kemarin, Gus Ammar, dia benar. Dia memberikan skakmat yang tidak bisa ku bantah.

​Dia benar, Indira. Kami melakukan Maksiat yang Terang-Terangan. Kami bangga pada sebuah pelanggaran. Dia memberimu Kepastian Halal sementara aku hanya bisa memberimu Janji Haram yang indah. Dia memberimu stabilitas sementara aku memberimu drama.

​Aku hanya ingin kamu tahu satu hal. Cincin yang dia kirimkan itu adalah pertanda baik, karena dia bertanggung jawab. Tapi jangan biarkan dia mengaudit hatimu sampai hati itu beku, Ra. Jangan biarkan dia menjadikannya aset tanpa rasa.

​Aku tidak akan lagi muncul. Kamu menang, Ra. Kamu memilih jalan yang benar. Aku berharap kamu bahagia, dan aku berharap pria itu tidak hanya bisa menjadi imam sholat mu, tapi juga bisa menjadi imam hatimu.

​Terima kasih untuk semua pelajaran dan Garis Batas yang kamu berikan.

​Selamat, Indira.

​— Revan Elias Nugraha

Air mataku menetes di atas surat itu. Revan tidak marah. Dia menerima kekalahannya di ranah spiritual. Dia mengakui kebenaran Ammar, yang ironisnya, membuat Revan terlihat lebih mulia dan dewasa dalam menerima perpisahan.

​Revan telah menutup pintu itu untukku. Dia memberikan restu terakhirnya, bukan sebagai kekasih, tetapi sebagai seseorang yang tulus ingin aku berada di jalan yang benar.

​Di satu tangan, aku memegang cincin indah yang dingin dan transaksional, persembahan dari Manajer Risiko-ku. Di tangan lain, aku memegang surat perpisahan yang hangat dan emosional, persembahan dari Masa Laluku.

​Aku menyeka air mataku. Cinta Revan adalah api yang membakar, sedangkan komitmen Ammar adalah es yang membekukan. Untuk berada di jalan yang benar, aku harus memilih es.

​Aku merobek surat Revan menjadi serpihan kecil. Kali ini, aku menghapusnya bukan karena takut Ammar marah, tetapi karena aku harus membersihkan hatiku secara total, sesuai dengan tuntutan Studi Kasus Pengendalian Emosi.

​Aku mengambil ponselku, mengirim pesan singkat kepada Ammar, tanpa menyebutkan surat itu. Aku hanya akan melaporkan data yang ia butuhkan.

​Indira: Assalamu'alaikum, Gus. Saya telah memeriksa cincin yang dikirim. Ukurannya sudah sesuai. Terima kasih.

​Tak lama kemudian, Ammar membalas.

​Ammar Fikri: Wa'alaikumussalam. Bagus. Silakan siapkan diri Anda untuk acara pertunangan. Kita akan membahas Rencana Pernikahan Jangka Pendek pada pertemuan berikutnya.

​Aku menanggalkan cincin itu, meletakkannya kembali di kotak beludru. Aku kini siap menghadapi pertunangan. Revan telah mengucapkan selamat tinggal, dan Ammar telah menetapkan jadwal kerja.

Babak lama telah selesai. Babak baru, yang dingin dan terstruktur, baru saja dimulai.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!