Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 UCAPAN YANG MENGGANGGU
Sinar matahari pagi menyusup masuk melalui jendela yang terbuka separuh. Udara segar menyelinap, menembus kain tirai tipis dan menyusup hingga ke sela-sela selimut. Zia menggeliat pelan. Tubuhnya masih terasa berat, sisa kelelahan dari hari kemarin menempel di otot-ototnya. Tangannya terulur ke udara, meregangkan lengan dan bahu, mencoba mengusir sisa-sisa pegal.
Perlahan, ia bangkit. Jemarinya mengucek mata yang masih lengket kantuk. Sekeliling kamar tampak sepi. Viren pasti sudah bangun lebih dulu dan—seperti biasa—menunggunya di ruang makan dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak.
Zia menyibakkan selimut dan berdiri. Langkahnya menuju kamar mandi terasa lamban. Saat berdiri di depan cermin, wajahnya terpampang tanpa rias. Pucat. Matanya sedikit bengkak, jejak malam sebelumnya masih tertinggal jelas.
Ia menyalakan keran. Kedua tangan menyatu, menampung air dingin sebelum membasuh wajahnya—sekali, dua kali, tiga kali. Sensasi dingin menampar kulitnya, menariknya kembali ke kenyataan bahwa semua yang terjadi semalam... bukan mimpi.
Pikiran Zia kembali melayang pada Alin—pada ucapan kakaknya yang mengguncang itu. Tentang Alex, tentang rencana kaburnya, tentang semua jebakan yang terasa seperti kisah gila… tetapi nyata.
Tentang bagaimana Zia sekarang terkurung dalam rumah ini, dengan seseorang yang bahkan belum ia kenali sepenuhnya.
Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya keras. Kedua tangannya bertumpu di tepi wastafel, sementara matanya menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.
"Kenapa dia berkata seperti itu?" gumamnya pelan, nyaris seperti keluhan yang ditelan suara air mengalir.
Namun ia segera menggeleng, seakan mencoba mengusir pikiran itu. “Ck. Itu cuma bualan Kak Alin,” bisiknya pada diri sendiri, lalu kembali fokus untuk mandi.
Jarum jam hampir menyentuh angka tujuh ketika Zia berdiri di depan meja rias, mengikat sebagian rambutnya dengan gerakan cepat. Ia mengenakan pakaian santai, lalu mengambil tas kecil yang biasa ia bawa saat keluar. Isinya diperiksa sekilas: ponsel, dompet, dan beberapa catatan. Semuanya lengkap.
Ia keluar kamar dan melangkah menyusuri lorong menuju dapur. Tapi ada yang janggal pagi ini. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada suara alat makan beradu. Tidak ada Viren. Rumah itu terasa lebih hening dari biasanya—hening yang menyisakan ruang kosong yang membuat dada terasa aneh.
Zia melangkah lebih dalam, melewati ruang makan yang tampak rapi dan tak tersentuh.
Di dapur, ia melihat Emi berdiri di depan kompor, memasak sesuatu. Aroma tumisan perlahan memenuhi udara.
"Emi," sapa Zia sambil mendekat. "Apa kau melihat Viren?"
Emi menoleh singkat. "Tuan Viren pergi ke luar kota, Nyonya."
Zia mengernyit. "Keluar kota?" tanyanya pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. “Kapan?”
"Semalam."
Semalam? Kenapa mendadak? Kenapa tidak memberi tahu?
Hatinya tergerak oleh sesuatu yang asing. Bukan kemarahan. Bukan sedih. Tapi semacam… curiga. Seolah ada bagian dari cerita ini yang tidak ia tahu. Apakah ini tentang SPEKTRA?
Pikiran itu menari-nari di benaknya, tapi ia tidak ingin langsung menyimpulkan.
Emi menoleh lagi. "Nyonya ingin sarapan apa?"
Zia menarik napas pelan. “Apel kemarin masih ada?”
"Ada, di dalam kulkas," jawab Emi sambil menunjuk ke arah lemari pendingin.
Zia melangkah ke sana, membuka kulkas, dan mengambil satu apel merah yang terlihat segar. Tapi pikirannya masih tertinggal pada jawaban Emi tadi… dan kepergian Viren yang terasa terlalu sunyi.
Manuel sudah berada di halaman Calligo. Ia bersandar pada badan mobil hitam yang berkilau diterpa cahaya pagi. Kacamata hitam membingkai wajahnya, melindungi pandangan dari silau matahari. Tapi rambutnya justru bersinar terang, memantulkan cahaya seperti benang emas.
Zia menuruni tangga batu satu per satu, tanpa tergesa. Tangannya menggenggam apel merah dengan bekas gigitan di pinggirnya. Udara pagi masih mengandung sisa embun, dan langkahnya menggema pelan di antara suara burung dari kejauhan.
“Lama tak bertemu, Nuel,” sapa Zia, suaranya ringan seperti angin yang lewat.
Manuel tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, lalu bergerak untuk membukakan pintu mobil. Gerakannya cepat dan tepat, nyaris tanpa suara. Zia membungkuk sedikit, masuk ke dalam dan menyandarkan tubuhnya perlahan hingga menemukan kenyamanan.
Mesin menyala, dan mobil melaju perlahan meninggalkan Calligo—rumah megah yang selalu tampak sepi meski penuh orang. Diam-diam, tempat itu menyimpan lebih banyak bisu daripada kata.
“Nuel...” panggil Zia, menoleh sedikit.
“Panggil aku Manuel,” potong pria itu, nadanya tegas namun tidak menusuk. Seolah menjaga batas yang tak bisa dilanggar. Panggilan akrab itu terlalu berisiko—bisa menyulut tanya, atau lebih buruk: perhatian yang tak perlu.
“Maaf. Tapi namamu terlalu panjang,” ujar Zia, separuh bercanda.
Tak ada tawa dari Manuel. Ia hanya kembali pada keheningan, pandangannya tersembunyi di balik lensa gelap. Sesekali, ia melirik ke kaca spion, melihat Zia yang kini menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dalam benaknya, suara Alin kembali hadir—dalam bisik yang tajam, seperti bekas luka yang tak pernah sembuh:
"Kenapa menyebut pernikahannya bencana?"
Mungkin... karena tidak ada cinta di sana.
Mungkin, karena perjodohan selalu menyimpan bahaya yang tidak kasatmata: kekerasan yang dibungkus kesepakatan, luka yang dibiarkan tumbuh di bawah nama keluarga.
Tapi Zia tidak merasa begitu. Entah kenapa, perasaannya tidak sedingin itu. Rasanya seperti—
“Nyonya, kita sudah sampai,” suara Manuel memutus lamunannya.
Zia mengangkat wajah. Matanya sedikit menyipit terkena cahaya saat pintu dibuka. Ia mengangguk kecil. “Terima kasih.”
Mengalungkan tas selempangnya, ia keluar dari mobil. Di depan kafe, Ami dan Lily sudah menunggu.
Zia mengerutkan dahi. “Tumben kalian datang awal?”
“Aku datang seperti biasa,” jawab Lily cepat, datar seperti biasa.
Ami, sebaliknya, sibuk memicingkan mata ke arah mobil yang baru saja pergi. “Siapa itu? Yang tadi nganter kak Zia.”
Zia sempat diam. “Dia supir ayahku. Aku numpang karena kesiangan.”
“Hmm, kupikir itu Kak Giin,” kata Ami sambil tertawa pelan.
Zia hanya tersenyum samar, menggeleng pelan dan berjalan ke pintu kafe sambil mengambil kunci. Di belakangnya, Lily menoleh ke kanan dan kiri—seakan mengecek sesuatu.
Tak ada yang tahu bahwa sejak semalam, Jake telah memberi peringatan: seseorang mengawasi Zia.
Dan kini, Lily punya satu tugas tambahan—menjadi pagar sunyi di antara Zia dan bayang-bayang yang mungkin mengintai dari sudut kota yang tak terlihat.
Di tempat lain… Alin tampak gelisah.
Tangannya saling bertaut, mengencang seiring langkahnya yang berputar lambat ke kiri dan kanan, seperti arloji yang kehilangan arah waktu. Kejadian semalam masih menempel di kepalanya, seakan-akan baru saja terjadi satu detik lalu.
Zia benar-benar sudah terpengaruh oleh kebaikan ayahnya. Dan kini mungkin membencinya.
"Iblis bersetelan jas itu…" bisiknya lirih, penuh geram.
Alin tahu pria itu. Nama Kaeshiro terlalu sering disebut dalam obrolan orang-orang hebat. Genius, karismatik, berwibawa—semua pujian menempel seperti gelar kehormatan. Ia pernah melihatnya dari kejauhan, dan ya, pria itu memang memikat. Terlalu memikat untuk seseorang yang bermain di antara bayangan.
Tapi… sebuah pikiran menyelinap, menusuk keyakinannya.
Bagaimana jika Ayahnya berbohong? Bagaimana jika semua cerita tentang Viren hanyalah manipulasi agar ia tak iri pada Zia? Supaya ia tidak mencoba mencuri pria itu—sebelum benar-benar jatuh?
“Ah, sial…” desis Alin sambil menepis rambut yang mengganggu pandangan. Emosinya membentur dinding logika, membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Ia jadi ragu. Mana yang benar? Apakah Viren memang monster berbaju Armani? Atau… Ayahnya sendiri yang sedang memainkan lakon?
Hanya ada satu cara untuk tahu: menyelidiki sendiri.
Ia tak akan membiarkan siapa pun menulis kisah ini untuknya. Baik Ayah, maupun Viren. Jika ternyata pria itu berbahaya, maka ia sendiri yang akan menarik Zia keluar—meski harus menariknya dari lubang neraka.
Sementara itu, di sebuah tempat berbeda…
Gedung-gedung tinggi menjulang, menusuk langit kelabu sore itu. Dalam sebuah ruangan yang bersih dan rapi, suara televisi memenuhi udara. Berita tentang perayaan tahunan Kairotek mendominasi semua saluran. Di layar, wajah Viren terpampang—tenang, berwibawa, dan... menyebalkan bagi satu orang yang sedang menyaksikannya.
Seorang pria duduk diam di kursi kulit, tubuhnya tak bergerak, namun matanya—mata biru yang tajam seperti pecahan es—terpaku pada layar dengan kebencian yang menghitamkan pikirannya.
Senyum smirk muncul saat ia mendengar tema yang dipilih tahun ini: Disney. Tema kekanak-kanakan yang begitu kontras dengan karakter Kairotek selama satu dekade terakhir—tema yang tak akan pernah disetujui oleh Viren, kecuali untuk satu alasan.
Zia.
Gadis itu.
“Sudah sejauh itu kau manipulasi dia, Viren?” bisiknya, penuh getir.
Tangan Noah menggenggam gelas kaca di sisi meja. Ia tak sadar tekanan jari-jarinya terlalu kuat—hingga suara pecah menggema. Retakan memenuhi permukaan kaca sebelum akhirnya pecah sepenuhnya di tangannya.
Darah menetes.
Mengalir di sela jarinya, membasahi meja, dan jatuh ke lantai seperti air mata yang ia tolak untuk tumpahkan.
Ia tak bergerak.
Hanya menatap tetesan darah itu, dingin… seperti hatinya yang kini tinggal separuh.
...----------------...
Cahaya mentari sore menyusup melalui celah jendela yang dibiarkan terbuka.
Langit mulai menguning, membasuh ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Zia sudah kembali ke Calligo. Kini ia duduk santai di meja makan, menatap sepiring mangga yang telah dipotong rapi. Ia menyuap satu potong ke mulutnya—manis, sedikit asam, menyegarkan.
Sementara itu, Emi sibuk mengepel lantai dapur yang berkilau.
“Emi,” panggil Zia santai. “Kak El ke mana? Aku tidak pernah lihat dia ikut sarapan atau makan malam.”
Emi tak menghentikan gerakannya. “Tuan Samuel tidak tinggal di sini. Ia tinggal di tempat lain,” jawabnya datar.
Zia terdiam sejenak.
Samuel? Jadi itu nama pria itu? Ia sempat mengira namanya Eliot...
“Kenapa begitu?” tanyanya lagi.
“Mungkin karena Tuan Viren dan Tuan Samuel berbeda,” ujar Emi, masih tanpa menoleh.
“Berbeda?” Zia mengernyit. “Berbeda gimana? Penampilannya?”
Bayangan dua pria itu muncul dalam benaknya. Viren dengan gaya monokrom—hitam, putih, kelabu, nyaris tanpa warna. Sedangkan Samuel... rambut abu gelapnya saja sudah cukup mencolok, apalagi caranya tersenyum.
“Mungkin,” jawab Emi pendek. Seakan ingin mengakhiri percakapan.
Zia mengangguk kecil, lalu melompat ringan dari kursinya. Ia meraih piring kosong, membawanya ke dapur, dan menaruhnya di dekat bak cuci.
“Aku ke kamar dulu, ya,” ucapnya, meski tahu itu tak perlu dikatakan.
Langkahnya bergema ringan menyusuri lantai marmer putih mengilap.Penjaga-penjaga berdiri di beberapa sudut seperti biasa—hening, kaku, seolah patung yang diberi baterai agar tetap hidup dan mengawasi.
Zia berhenti di depan dapur, menutup mata sebentar.
Berapa banyak penjaga sebenarnya di rumah ini?
Dua di gerbang depan. Dua di pintu masuk utama. Satu tukang kebun yang jarang bicara. Dan sisanya? Entahlah. Mungkin tugas mereka ialah membantu Emi membersihkan rumah megah ini. Atau mungkin, mengawasi.
Langkah yang semula lurus, tiba-tiba berbelok dengan sendirinya. Seolah ada sesuatu yang menariknya, lembut namun pasti.
Tanpa sadar, Zia berbelok ke lorong lain—melewati dinding-dinding dingin yang ia hapal di luar kepala. Ada bisikan halus dalam hatinya, semacam kerinduan yang samar, dan langkahnya membawanya ke tempat yang selalu ia sebut sebagai surga tersembunyi dalam Calligo: perpustakaan.
Pintu kayunya berdiri tenang, berhiaskan ukiran tua yang nyaris tak terbaca. Tak banyak yang datang ke tempat ini, terlalu sunyi, terlalu damai bagi rumah sebesar Calligo yang dipenuhi kesibukan dan rahasia. Tapi bagi Zia, justru di sinilah waktu seolah diam. Di sinilah ia merasa... utuh.
Jari-jarinya menyentuh gagang pintu. Udara di baliknya membawa aroma khas: perpaduan kertas tua, kayu manis, dan sesuatu yang lembut seperti kenangan. Zia masuk perlahan.
Deretan rak buku menjulang seperti pepohonan di hutan rahasia. Cahaya lampu gantung menyentuh permukaan meja baca yang kosong, meninggalkan bayangan-bayangan lembut di lantai marmer. Di sudut ruangan, jendela tinggi memperlihatkan remang langit senja yang belum sepenuhnya gelap.
Zia menarik napas panjang, lalu berjalan ke rak favoritnya—rak keempat dari kanan, tempat di mana buku-buku sejarah dan jurnal lama tersusun. Tangannya melayang di atas punggung-punggung buku, mencari, atau mungkin hanya merasakan kehadiran diam mereka.
Lalu, tanpa rencana, ia duduk di kursi tua berlapis beludru. Di hadapannya terbuka sebuah buku, meski matanya tidak membacanya. Ia menatap jauh, ke luar jendela, ke langit yang pelan-pelan berubah ungu kebiruan.
Dan tiba-tiba, sebuah kalimat menyelinap dalam pikirannya, begitu pelan hingga ia hampir tak menyadarinya.
“Jika aku bisa memilih tempat untuk menunggu seseorang... maka aku ingin menunggunya di sini. Di antara buku dan senja."
.
.
.
.
.
Jangan lupa like dan komennya ya 😘 karena itu bikin author semangat 🤗 ohiya buat visualnya.. Mohon Tunggu yaa
semangaatt dari tegal. 🤗