Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Pencarian Arya kini memiliki arah baru. Setelah perintahnya kepada Pak Adi, seluruh tim keamanan mengalihkan fokus dari terminal dan stasiun ke jaringan rumah sakit dan klinik anak di pinggiran kota yang memiliki koneksi ke Dewi Arumi Satya, mendiang Ibu Arya.
Tekad Arya semakin kuat, didorong oleh keyakinan bahwa Kaila, dalam keputusasaan, akan mencari ketenangan di bawah bayangan satu-satunya wanita yang ia tunjukkan sisi rapuhnya.
Keyakinan itu adalah satu-satunya pelampung Arya di tengah badai keruntuhan emosional dan bisnis.
Arya duduk di kantornya, namun pikirannya jauh melayang.
Ia teringat percakapannya dengan Kaila di taman kota. Kaila tersenyum kecil saat ia bercerita tentang mendiang Ibunya, Dokter Arumi, yang suka membawa cerita lucu tentang pasien ciliknya.
Kaila melihat sosok Dewi Arumi sebagai manusia yang punya hati lembut, meski tegas, dan Arya tahu, Kaila membutuhkan sosok ibu yang bisa memberinya perlindungan emosional saat ini.
Arya berharap, Kaila merasakan koneksi yang sama, koneksi yang akan membawanya ke tempat yang aman.
“Pak, kami menemukan sesuatu yang menarik,” lapor Pak Adi, kembali ke ruangan Arya dengan membawa berkas lama yang dikumpulkan dari arsip perusahaan dan catatan pribadi mendiang Ibu Arya.
“Rumah Sakit Anak Kasih Arumi. Itu adalah klinik kecil yang didirikan oleh sekelompok rekan mendiang Ibu Arya, tepat di luar batas kota. Namanya diambil dari nama mendiang Ibu sebagai bentuk penghormatan. Kami sudah mengirim tim pendahulu ke sana.”
Jantung Arya berdebar kencang, sebuah firasat kuat muncul. Itu adalah petunjuk terkuat yang mereka miliki, sebuah titik terang di tengah kegelapan.
“Langsung ke sana,” perintah Arya, bangkit dari kursi dengan gerakan tegas. Ia menolak menunggu laporan tim. “Jangan ada yang tahu kita bergerak. Aku ingin kita bergerak cepat dan senyap.
Aku yang akan pergi sendiri. Koordinasikan tim di sana, tapi jangan sampai mereka menakut-nakuti Kaila.”
Di saat yang sama, Nayla sedang melancarkan serangan baliknya yang kejam. Di kantor orang tuanya yang mewah, Pak Hendrawan, Ayah Nayla, terlihat semakin tegang.
Ia baru saja mengakhiri panggilan telepon dari beberapa direktur perusahaan mitra besar. Ekspresinya menunjukkan kekalahan.
Mereka menyatakan penarikan investasi secara halus, menggunakan alasan "ketidakstabilan internal manajemen Satya Group."
“Ini berjalan sesuai rencana, Pa,” Nayla berkata dingin, menyesap teh mahalnya. “Kerugian Satya Group sudah mencapai lebih dari lima puluh miliar dalam waktu kurang dari dua belas jam. Mereka harus tahu konsekuensi menceraikan aku. Ini baru permulaan.”
Pak Hendrawan menghela napas berat, kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. “Aku tahu kau marah, Nayla. Tapi ini bisa membahayakan perusahaan kita juga. Kerugian ini terlalu besar, Arya pasti akan membalas dengan sangat keras, dan Wira tidak akan tinggal diam.”
“Biarkan saja. Aku ingin dia merasakan tekanan yang aku rasakan saat dia mengusirku dari rumahnya.
Aku ingin Wira melihat bahwa wanita yang akan dia jadikan menantu sah, wanita laundry itu, tidak sebanding dengan kerugian bisnis dan reputasi ini,” balas Nayla, matanya menyala.
“Dia akan kembali merangkak meminta aku kembali.”
Nayla segera menghubungi seorang reporter media gosip yang sudah lama ia kendalikan.
Ia memberi informasi, memutarbalikkan fakta secara jahat, mengatakan bahwa Kaila adalah seorang gold digger yang hamil anak dari pria lain, dan menggunakan Arya hanya untuk menghindari tanggung jawab.
Nayla tahu, di tengah kericuhan bisnis, serangan reputasi ini akan menghantam Arya dari sisi paling lemah: kehormatan Kaila.
Sementara Nayla menyusun rencana jahatnya, Arya melaju kencang menuju Rumah Sakit Anak Kasih Arumi.
Ia meninggalkan mobil mewahnya beberapa blok dari klinik dan berjalan kaki, mengenakan jaket hoodie gelap untuk menyamarkan identitasnya.
Ia tahu, jika Kaila melihat kemewahan atau pengawalan, ia akan lari. Ia tidak ingin Kaila lari lagi karena merasa terancam oleh dirinya.
Klinik itu terletak di area yang teduh, dikelilingi pohon-pohon rindang.
Bangunannya sederhana, kontras dengan rumah sakit mewah di pusat kota. Begitu masuk, Arya merasakan aura damai yang sama seperti saat ia mengunjungi makam mendiang ibunya.
Tempat ini terasa tulus, tidak ada kepalsuan di dalamnya.
Arya mendekati meja resepsionis. Seorang perawat paruh baya, yang kemungkinan mengenal mendiang ibunya, menyambutnya.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya perawat itu ramah.
Arya menurunkan tudung hoodienya sedikit. “Saya Arya Satya. Saya mencari seseorang. Wanita muda bernama Kaila. Dia mungkin sedang mencari tempat yang tenang, atau bertanya tentang kamar sewa di sekitar sini. Dia adalah istri saya.”
Perawat itu mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. “Kaila? Nama itu… sepertinya familiar. Ada seorang wanita muda datang pagi tadi. Dia terlihat lelah, tapi sangat sopan dan tenang.”
Jantung Arya berdebar kencang, harapannya membuncah. “Ya. Itu dia. Dia sedang hamil. Apakah dia masih di sini?”
“Tidak. Dia hanya duduk sebentar di bangku tunggu kami, sekitar satu jam. Dia bertanya apakah ada loker pekerjaan paruh waktu di klinik ini, atau di kafe terdekat.
Dia bilang dia sedang mencari pekerjaan sederhana sambil mencari tempat tinggal murah.” Perawat itu terdiam sejenak, menatap Arya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan simpati.
Arya merasa lega sekaligus marah. Kaila benar-benar berniat mencari pekerjaan dan hidup mandiri, menolak semua kemewahan yang bisa ia tawarkan.
Harga diri Kaila jauh lebih tinggi daripada yang ia perkirakan.
“Ke mana dia pergi? Apakah dia meninggalkan pesan?” tanya Arya mendesak, suaranya sedikit tercekat.
“Dia tidak bilang. Tapi dia terlihat sangat tertarik pada toko buku tua di seberang jalan. Toko itu juga memiliki beberapa kamar sewa di lantai atas,”
jawab perawat itu. “Dia bilang, dia merindukan bau kertas lama, dan ingin melupakan sejenak dunia luar.”
Arya berterima kasih singkat dan segera keluar. Ia menyeberang jalan ke toko buku tua itu. Jendela toko itu buram, dipenuhi debu waktu dan judul-judul buku yang usang.
Kontras sekali dengan kantor Arya yang modern dan bersih.
Begitu masuk, Arya merasakan aroma khas kertas tua dan lembab, aroma yang asing namun entah mengapa terasa menenangkan, sebuah pelarian dari bau parfum mahal dan karpet Satya Group.
Seorang pria tua dengan kacamata tebal sedang duduk di balik meja kasir.
Arya langsung menuju inti masalah. “Saya mencari wanita bernama Kaila. Dia datang pagi tadi, mencari kamar sewa.”
Pria tua itu mendongak, matanya yang ramah menatap Arya yang terlihat terlalu rapi untuk tempat itu.
“Oh, Nona Kaila. Ya, dia ada di sini. Dia menyewa kamar yang paling kecil, di lantai atas. Sudah bayar untuk dua minggu di muka dengan uang tunai.”
Arya merasakan gelombang kelegaan yang besar membanjiri dirinya.
Ia telah menemukannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang liar. Ia harus tenang, atau Kaila akan lari lagi.
“Saya suaminya,” kata Arya, nadanya tidak lagi terkesan memerintah, melainkan memohon pengertian. “Saya ingin bicara dengannya. Tolong jangan bilang saya ada di sini, biarkan saya yang mendatanginya.”
Pria tua itu tersenyum kecil. “Dia bilang dia tidak ingin diganggu oleh siapa pun dari masa lalunya. Tapi... saya tidak bisa menghentikan suaminya. Dia ada di kamar nomor tiga, di ujung lorong.”
Arya mengangguk berterima kasih. Ia berjalan perlahan menaiki tangga kayu yang berderit. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang menapaki jurang kerentanan.
Ia tahu, setelah semua yang terjadi, ia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia harus berbicara dari hati ke hati, bukan dari kontrak ke kontrak.
Ia berdiri di depan pintu kayu bernomor tiga. Tangannya gemetar saat ia mengangkatnya untuk mengetuk. Ia mendengar suara samar di dalam, suara Kaila.
Arya menarik napas. Ia adalah CEO Satya Group, seorang pria yang mengendalikan pasar, namun di depan pintu ini, ia hanyalah seorang pria yang takut ditolak oleh wanita yang ia cintai.
Tok. Tok.
Ketukan itu memecah keheningan di kamar Kaila. Arya menunggu, jantungnya berdebar keras, menunggu keputusan takdir.