Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Mengajar Mengaji di Teras
Suara deru mesin mobil mewah itu perlahan menghilang, meninggalkan Fatimah yang berdiri mematung di depan gerbang kayu panti asuhan yang sudah lapuk. Jantungnya masih berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya setelah ancaman mematikan dari Haikal di tengah hutan tadi.
Ia meraba dadanya, memastikan napasnya masih mengalir meskipun terasa sangat sesak di balik kain cadar hitam yang kini lembap oleh keringat dingin. Bayangan wajah Arfan yang bersimbah darah di dalam lorong gelap itu terus menghantui pikirannya seperti mimpi buruk yang enggan berlalu.
"Fatimah, syukurlah kau sudah kembali, anak-anak sudah menunggumu sejak tadi di teras depan," panggil Ibu Sarah dengan nada suara yang penuh kecemasan.
Fatimah tersentak dari lamunannya, mencoba mengatur raut wajahnya agar tidak tampak sedang memikul beban sebesar gunung di hadapan wanita tua itu. Ia memaksakan sebuah senyuman kecil yang tersembunyi, lalu melangkah pelan menuju teras rumah panti yang hanya diterangi lampu pijar kekuningan.
Di sana, sepuluh anak yatim sudah duduk rapi dengan kitab suci di pangkuan mereka, menanti bimbingan dari wanita yang mereka anggap sebagai kakak sekaligus pelindung. Fatimah duduk di tengah mereka, mencoba menekan gemetar di ujung jemarinya saat membuka lembaran pertama dari kitab yang suci tersebut.
"Mari kita mulai dengan doa pembuka, semoga Allah memberikan cahaya di hati kita malam ini," ucap Fatimah dengan suara yang sedikit bergetar namun berusaha tegar.
Suara riuh rendah anak-anak yang mengikuti bacaan Fatimah memenuhi udara malam, menciptakan melodi kedamaian yang sangat kontras dengan badai di dalam batinnya. Namun, di tengah kekhusyukan itu, sebuah mobil dinas polisi berhenti tepat di depan halaman panti, memecah ketenangan yang baru saja terbangun.
Dua orang petugas berseragam lengkap turun dari mobil, mata mereka menyisir setiap sudut halaman panti dengan pandangan yang sangat menyelidik dan penuh kecurigaan. Ibu Sarah segera keluar menyambut mereka, wajahnya yang keriput tampak semakin pucat saat melihat lencana perak yang berkilat di bawah sinar lampu.
"Kami mencari keberadaan seorang pria bernama Arfan, apakah dia datang ke tempat ini hari ini?" tanya salah satu petugas polisi dengan nada bicara yang sangat tegas.
Fatimah menghentikan bacaannya, tangannya meremas pinggiran kain sajadah yang ia duduki hingga buku-buku jarinya memutih seolah tanpa darah. Ia tahu bahwa menjawab pertanyaan itu dengan jujur berarti membuka pintu bagi Ayahnya untuk menghancurkan panti ini secara total dan permanen.
"Tuan Arfan tidak ada di sini, Pak Polisi, kami hanya panti asuhan kecil yang tidak tahu urusan orang besar," jawab Ibu Sarah dengan suara yang terdengar sangat jujur.
"Kami menerima laporan bahwa ada kecelakaan besar di dekat hutan belakang, dan jejak ban mobil itu mengarah ke wilayah ini," sahut petugas polisi lainnya sambil mengeluarkan buku catatan.
Anak-anak panti mulai saling berbisik, rasa takut terpancar jelas dari mata polos mereka yang menatap ke arah petugas polisi bersenjata tersebut. Fatimah menarik napas panjang, ia tahu ia harus melakukan sesuatu agar perhatian polisi tidak tertuju pada Arfan yang mungkin masih sekarat di dalam hutan.
Ia berdiri perlahan, membetulkan letak cadarnya sebelum melangkah mendekati para petugas itu dengan gerakan yang sangat anggun namun sarat akan ketegasan batin. Kehadirannya yang misterius di balik kain hitam itu sesaat membuat para petugas polisi terdiam, terpaku oleh aura ketenangan yang ia pancarkan secara alami.
"Jika Bapak ingin memeriksa, silakan masuk dan lihat sendiri bahwa di sini hanya ada anak-anak yang sedang belajar mengenal Tuhan," ujar Fatimah dengan nada suara yang sangat tenang.
Petugas polisi itu saling pandang, mereka merasa sungkan untuk merangsek masuk ke dalam kegiatan ibadah yang sedang berlangsung dengan begitu khidmatnya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat di halaman dan gudang belakang yang kosong, mereka akhirnya berpamitan untuk melanjutkan pencarian ke arah jalan raya utama.
Setelah mobil polisi itu menjauh, Fatimah hampir ambruk jika saja Ibu Sarah tidak segera menangkap lengannya dengan sigap dan membawanya duduk kembali. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah, membasahi kain cadar hitamnya hingga meninggalkan bercak-bercak basah yang menandakan keputusasaan yang mendalam.
"Apa yang sebenarnya terjadi di hutan tadi, Fatimah? Mengapa polisi mencari Tuan Arfan dengan cara yang sangat menyeramkan seperti itu?" tanya Ibu Sarah dengan bisikan yang sangat penuh kekhawatiran.
Fatimah hanya menggeleng lemah, ia tidak sanggup menceritakan bahwa ia baru saja membuat perjanjian dengan iblis demi menyelamatkan nyawa seorang pria yang baru dikenalnya. Pikirannya melayang pada Arfan, pria kaku yang memiliki tatapan tajam namun menyimpan luka yang sangat dalam di balik mata cokelat gelapnya yang dingin.
"Aku harus mencari cara untuk menolongnya tanpa melibatkan panti ini, Ibu Sarah, tolong jaga anak-anak di dalam rumah dan kunci semua pintu," pinta Fatimah sambil berdiri dengan tekad yang baru.
"Kau tidak boleh pergi sekarang, di luar sangat gelap dan orang-orang jahat itu mungkin masih mengintai di balik pohon-pohon besar itu," larang Ibu Sarah sambil memegang tangan Fatimah dengan sangat erat.
Namun, Fatimah sudah memantapkan hatinya, ia tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah pertaruhan nyawa bagi Arfan yang tergeletak tak berdaya di tanah dingin. Ia menyelinap keluar melalui pintu dapur, membawa sebuah kotak obat kecil dan lampu senter yang cahayanya sudah mulai meredup akibat baterai yang lemah.
Langkah kakinya yang ringan berlari membelah semak belukar, mengabaikan duri-duri tajam yang merobek bagian bawah jubah hitamnya yang panjang dan kusam itu. Ia harus sampai ke lorong gua itu sebelum anak buah ayahnya kembali untuk memastikan bahwa Arfan benar-benar sudah tidak bernapas lagi di dunia ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakang, membuat Fatimah menghentikan larinya dan mematikan senter secara tiba-tiba untuk bersembunyi. Dari balik kegelapan hutan, muncul sebuah bayangan tinggi besar yang memegang sebilah parang panjang yang berkilat tertimpa cahaya bulan yang sangat pucat.
Fatimah menahan napas, ia bersembunyi di balik pohon beringin tua yang akarnya menjuntai seperti tirai-tirai kematian yang siap menjerat siapa saja. Jantungnya berdebar sangat kencang, ia melihat pria itu adalah salah satu anak buah Haikal yang tadi sempat ia lihat di jalanan hutan yang sepi.
Pria itu menyisir semak-semak dengan parangnya, memotong dahan yang menghalangi jalan dengan sekali tebas seolah ia sedang mencari seekor kelinci liar yang sedang ketakutan. Fatimah berdoa dalam hati, memohon perlindungan kepada Sang Pemilik Nyawa agar ia tidak ditemukan oleh manusia kejam yang tidak memiliki nurani tersebut.
"Aku tahu kau ada di sekitar sini, wanita bercadar, keluarlah sebelum parang ini menemukan lehermu lebih dulu di balik kegelapan malam," teriak pria itu dengan suara yang sangat parau.
Ketakutan menyelimuti seluruh tubuh Fatimah, namun di saat yang sama, ia merasakan sebuah tangan dingin membekap mulutnya dari arah belakang dengan sangat kuat. Ia mencoba meronta, namun tenaga orang yang mendekapnya itu terasa sangat lemah seolah-olah sedang berjuang melawan rasa sakit yang sangat hebat di tubuhnya sendiri.
Fatimah menoleh sedikit dan mendapati wajah Arfan yang pucat pasi tepat berada di samping telinganya, dengan peluh yang mengucur deras di keningnya yang penuh luka. Arfan memberikan isyarat dengan jarinya agar Fatimah tetap diam, meskipun napas pria itu terdengar sangat berat dan penuh dengan suara desis menahan perih.
Mereka berdua meringkuk di balik akar beringin, menunggu pria pemegang parang itu menjauh menuju sisi hutan yang lain dengan perasaan was-was yang sangat tinggi. Arfan tampak sangat rapuh, bajunya sudah robek di sana-sini dan bau darah segar menusuk indra penciuman Fatimah dengan sangat kuat dan mengkhawatirkan.
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini dalam keadaan seperti ini?" bisik Fatimah setelah pria pemegang parang itu tidak lagi terlihat oleh pandangan mata mereka.
Arfan tidak menjawab secara langsung, ia hanya mencoba menyandarkan tubuhnya ke batang pohon sambil memegangi perutnya yang tampak merah akibat luka tusukan yang cukup lebar. Ia menatap Fatimah dengan pandangan yang sangat tajam, seolah sedang menuntut penjelasan atas semua kejadian gila yang menimpa mereka berdua hari ini.
"Pertanyaan Arfan yang tajam mulai muncul di benaknya, namun ia terlalu lemah untuk sekadar membuka mulut dan mengeluarkan suara yang terdengar sangat jelas bagi telinga manusia."