NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:10.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 31

Seminggu menjelang hari pernikahan, rumah keluarga Hambert semakin ramai. Lalu lalang orang dengan setumpuk kain gaun, undangan yang masih harus disortir, hingga bunga yang mulai berdatangan memenuhi ruangan.

Namun di tengah kesibukan itu, Emily merasa ada ruang kecil yang tenang dan ruang itu selalu muncul ketika Albert ada di dekatnya.

Hari itu, mereka dijadwalkan untuk memilih gaun dan jas. Butik yang dipilih keluarga Hilton adalah salah satu yang paling bergengsi di kota, dengan dinding kaca tinggi dan lampu kristal berkilauan.

Emily awalnya tidak begitu antusias. Ia tahu ia akan dipaksa mencoba gaun besar dengan ekor panjang yang nyaris mustahil dipakai berjalan.

Namun saat ia keluar dari ruang pas dengan gaun putih sederhana, semua orang di ruangan menahan napas.

Ayahnya langsung berkomentar, “Cantik, tapi terlalu sederhana. Pernikahan ini butuh sesuatu yang lebih mewah.”

Emily menunduk, bersiap menerima kritik itu. Tapi kemudian, suara Albert terdengar jelas.

“Tidak. Itu gaun yang tepat.”

Semua kepala menoleh padanya. Albert berdiri tegak, menatap Emily seolah tak ada orang lain di ruangan itu.

“Gaun itu tidak berlebihan, tapi… menampilkan siapa dirinya. Anggun dengan caranya sendiri.”

Pipi Emily memanas. Ia menatap lantai, jantungnya berdegup kencang. Para staf butik langsung mencatat keputusan itu, tak berani membantah pewaris Hilton Group.

Ketika mereka keluar, Emily masih menahan debaran di dadanya. Ia melirik Albert pelan. “Kenapa kau selalu membelaku?”

Albert hanya melangkah santai. “Karena aku tidak suka melihat seseorang kehilangan jati dirinya hanya demi menyenangkan orang lain.”

Emily terdiam. Kata-kata itu menancap lebih dalam daripada yang dia kira.

***

Malam berikutnya, keluarga besar mengadakan makan malam kecil. Emily, yang biasanya duduk diam di sudut meja, kali ini justru mendapat perhatian tak terduga.

Albert, yang biasanya hanya bicara soal bisnis atau logistik pernikahan, tiba-tiba bertanya padanya di depan semua orang.

“Emily, bagaimana menurutmu soal musik di pesta nanti?”

Emily tertegun, sendok di tangannya berhenti bergerak. Semua mata kini tertuju padanya.

“Uh.. aku suka musik klasik, tapi aku juga ingin ada sedikit sentuhan jazz. Supaya tidak terlalu kaku.”

Ayahnya hendak menyela, tapi Albert lebih cepat. “Jazz dan klasik. Itu bagus. Kita akan pakai itu.”

Suasana meja mendadak canggung. Beberapa anggota keluarga Hilton tampak kaget—tak terbiasa melihat Albert memberi ruang untuk keputusan orang lain, apalagi seorang Emily yang selama ini dianggap hanya ‘pelengkap’.

Emily menunduk, tak bisa menahan senyum kecil yang muncul diam-diam.

***

Hari-hari terus berjalan. Semakin dekat hari pernikahan, semakin sering mereka berdua terjebak dalam momen-momen kecil yang tidak direncanakan.

Suatu sore, listrik di rumah padam selama beberapa jam. Semua orang sibuk panik karena persiapan jadi terhambat. Emily memilih keluar ke taman, duduk di bawah pohon sambil menikmati cahaya senja.

Tak lama kemudian, Albert ikut duduk di sampingnya. Tanpa jas, hanya kemeja kasual, ia tampak lebih.. manusiawi.

“Lucu ya,” Emily berujar pelan, “semua orang sibuk mengkhawatirkan pesta besar itu. Padahal.. aku hanya ingin hari itu terasa hangat.”

Albert menoleh padanya. “Bagaimana maksudmu?”

“Bukan tentang bunga mahal, makanan mewah, atau lampu kristal. Aku hanya ingin bisa tersenyum tulus di hari itu. Meskipun..” ia menunduk, suaranya melemah, “..mungkin senyum itu hanya untuk diriku sendiri.”

Albert terdiam lama. Angin berhembus, membawa aroma tanah basah.

Akhirnya, ia berkata, “Kalau begitu, aku janji akan membuatmu tersenyum di hari itu. Tulus. Setidaknya sekali.”

Emily menoleh kaget, menatap matanya. Tak ada gurauan, tak ada basa-basi. Hanya janji sederhana yang terdengar sungguh-sungguh.

***

Beberapa hari sebelum pernikahan, mereka dijadwalkan melakukan latihan berjalan di altar. Emily, mengenakan gaun latihan, melangkah dengan hati-hati di lorong yang dihiasi bunga sementara.

Namun tiba-tiba, gaun itu tersangkut di ujung kursi. Emily hampir terjatuh, tapi tangan Albert sigap menahan lengannya.

Sejenak mereka berdiri terlalu dekat. Emily bisa merasakan degup jantungnya sendiri melompat tak karuan. Albert menatapnya, dan untuk pertama kalinya, senyum tipis muncul di wajahnya.

“Hati-hati. Aku tidak mau kau jatuh sebelum hari pentingmu,” katanya pelan.

Emily buru-buru menjauh, menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan wajahnya yang memanas.

Malam terakhir sebelum pernikahan, Emily tidak bisa tidur. Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap bulan yang bersinar redup.

Di kejauhan, ia melihat cahaya dari balkon kamar Albert. Laki-laki itu juga sedang berdiri di sana, dengan tangan menyilang di dada.

Seolah ada tarikan tak kasat mata, pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu berhenti.

Tidak ada kata yang terucap, tapi Emily tahu—di balik semua kesepakatan bisnis, di balik perjodohan yang dipaksakan, ada sesuatu yang tumbuh diam-diam.

Sesuatu yang membuatnya takut sekaligus berharap.

Maka, menjelang hari pernikahan itu, Emily bukan lagi hanya seorang gadis yang pasrah pada takdir. Ia mulai melihat Albert bukan sekadar calon suami yang dipilihkan ayahnya, melainkan seseorang yang mungkin benar-benar bisa menyentuh hatinya.

Dan di balik tatapan tenang Albert, Emily perlahan menyadari: ia bukan satu-satunya yang sedang belajar membuka hati.

Hari yang selama berminggu-minggu dibicarakan akhirnya tiba. Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika rumah keluarga Hambert dan Hilton sudah ramai oleh lalu lalang orang. Petugas dekorasi, penata rias, fotografer, semua sibuk mempersiapkan pesta yang disebut-sebut sebagai salah satu acara pernikahan terbesar tahun ini.

Emily berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Rambutnya ditata dengan anggun, sebagian diangkat dan dihiasi mahkota tipis berlapis kristal. Gaun putih sederhana—yang sempat diperdebatkan keluarga—kini menyatu indah dengan dirinya. Tidak mewah berlebihan, tapi justru memancarkan ketulusan yang lembut.

“Cantik sekali,” bisik salah satu penata rias.

Emily tersenyum samar. Namun di balik senyum itu, jantungnya berdetak tak karuan. Ia bukan hanya gugup karena pesta besar yang menantinya, tapi juga karena janji diam-diam yang masih ia genggam: janji Albert untuk membuatnya tersenyum tulus hari ini.

Sementara itu, di ruangan lain, Albert sedang mengenakan jas hitam yang disesuaikan khusus untuknya. Potongan tajam, dasi kupu-kupu elegan, dan wajah tenang membuat semua orang di sekitarnya berdecak kagum.

Namun, tatapan Albert tetap dingin seperti biasa, setidaknya di mata orang lain. Hanya ia yang tahu, ada sedikit kegelisahan di dalam dadanya. Bukan tentang bisnis, bukan tentang tamu kehormatan, melainkan tentang perempuan yang sebentar lagi akan berdiri di sisinya.

***

Upacara berlangsung di sebuah gereja besar yang dipenuhi bunga putih dan lampu gantung kristal. Lantunan musik klasik mengalun lembut ketika para tamu berdatangan.

Emily berdiri di pintu masuk, menggenggam buket bunga lili putih. Tangannya sedikit gemetar. Saat pintu besar terbuka, semua mata tertuju padanya. Suara bisikan takjub terdengar di antara kursi-kursi tamu.

“Indah sekali..”

“Gaun itu cocok sekali dengannya.”

Emily menarik napas dalam, lalu melangkah maju. Setiap langkah terasa berat, namun di ujung lorong, Albert berdiri menunggu. Tatapan matanya tidak berpaling sedikit pun darinya.

Seolah dunia menyempit hanya pada mereka berdua.

Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan di altar, pendeta mulai membaca doa dan janji pernikahan. Emily menunduk, mendengarkan kata-kata yang begitu sakral.

“Apakah Saudara Albert Hilton bersedia menerima Emily Hambert sebagai seorang istri?”

Albert menatap lurus ke arah Emily, lalu menjawab mantap, “Ya, saya bersedia.”

Gema suaranya memenuhi ruangan. Emily merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya.

“Apakah Saudari Emily Hambert bersedia menerima Albert Hilton sebagai seorang suami?”

Emily menatap Albert. Di balik ketenangan wajahnya, ia melihat sesuatu yaitu ketulusan yang jarang diperlihatkan. Bibirnya bergetar, namun akhirnya ia berucap, “Ya, saya bersedia.”

Tepuk tangan riuh bergema dari seluruh ruangan.

Momen berikutnya adalah cincin. Ketika Albert menyematkan cincin perak dengan batu kecil di jarinya, Emily merasa hangat menjalar hingga ke hatinya.

Lalu, tibalah giliran Emily menyematkan cincin di jari Albert. Jemarinya sedikit bergetar, namun Albert menggenggam tangannya pelan, menahannya agar tak goyah.

“Sekarang. kalian boleh mencium pasangan kalian,” ucap pendeta.

Emily menahan napas. Ia tahu ini hanyalah formalitas. Namun saat Albert menunduk dan bibirnya menyentuh lembut keningnya, bukan bibir, melainkan kening, itu membuat Emily terkejut.

Itu bukan ciuman penuh gairah, melainkan tanda penghormatan. Dan entah kenapa, justru itu membuat hatinya lebih bergetar.

Pesta resepsi dimulai beberapa jam kemudian di ballroom hotel megah. Lampu kristal bergemerlap, meja-meja dipenuhi hidangan mewah, dan musik jazz klasik mengalun sesuai pilihan Emily.

Para tamu berdansa, berbincang, dan memuji-muji pasangan pengantin. Namun di tengah keramaian, Emily merasa dadanya ringan.

Saat acara dansa pertama, Albert mengulurkan tangan padanya. “Maukah kau berdansa denganku?”

Emily tersenyum kecil. “Bukankah aku harusnya bilang ya? Kita sudah menikah.”

Albert tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Emily terdiam. Ia menerima tangan itu, dan mereka pun melangkah ke tengah lantai dansa.

Musik mengalun, dan untuk pertama kalinya, Emily merasakan dirinya benar-benar dilihat. Albert menuntunnya lembut, meski gerakannya tegas. Mereka berdansa di tengah sorak kagum tamu, namun Emily merasa hanya ada mereka berdua di sana.

“Jadi,” kata Albert lirih sambil menatap matanya, “apakah aku berhasil?”

“Berhasil apa?” Emily bertanya bingung.

“Membuatmu tersenyum tulus di hari ini.”

Emily tertegun. Ia baru sadar bahwa sejak berdiri di altar tadi, ia tak henti-hentinya tersenyum. Bukan karena dipaksa, tapi karena hatinya sendiri.

Ia menunduk, wajahnya memerah. “Ya.. kau berhasil.”

Albert mengeratkan genggaman tangannya sedikit lebih kuat, seolah jawaban itu berarti lebih dari sekadar formalitas pernikahan.

Malam makin larut, pesta berakhir dengan pesta kembang api di langit. Emily berdiri di balkon ballroom, memandang kilatan cahaya berwarna-warni. Albert berdiri di sampingnya, diam, hanya menatap langit.

Emily menggenggam ujung gaunnya, lalu berkata pelan, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi, terima kasih. Untuk hari ini.”

Albert menoleh, menatapnya lama. “Aku sudah berjanji padamu, bukan? Setidaknya satu senyum tulus. Dan aku ingin melihat lebih banyak lagi.”

Emily membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti janji lain yang lebih dalam.

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!