Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orion, Farewell ~ After Day
Pria berambut merah itu, yang telah mengalahkan Soyeon dengan kecerdikan dan kekuatan, kini berlutut di hadapan Veronica. Wajahnya, yang biasanya dipenuhi rasa bosan atau candaan, kini menampilkan keseriusan dan empati yang tulus.
Ia meletakkan tangannya di bahu Veronica, yang masih memeluk pedang Tara dengan erat.
"Veronica," ucap Pria itu dengan suara lembut. "Ada satu hal lagi yang harus kau ketahui, kebenaran terakhir yang Soyeon sembunyikan."
Veronica mendongak, matanya lelah dan merah karena tangisan, namun ia mengangguk pasrah.
"Tara..." Pria itu menarik napas dalam. "Sahabatmu, Tara, sebenarnya sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Jauh sebelum jatuhnya Kerajaan tirani. Kami-Aku dan Araya-telah mencari keberadaannya sejak lama, dan menemukannya di sini."
Veronica tersentak, tetapi tidak lagi menangis. Rasa sakitnya kini bercampur dengan kejutan yang dingin.
"Yang kau hadapi di sini, Veronica, bukanlah Tara yang hidup," lanjut Pria itu, menatap pedang di tangan Veronica. "Yang kau temui, yang terikat benang dan berjuang, hanyalah representasi yang kuat dari ingatannya, yang masih terjebak di sini oleh sihir Soyeon. Soyeon menggunakan jiwanya, kenangan pahitnya, untuk memperkuat ilusinya."
"Kau datang bukan untuk menyelamatkan fisiknya, melainkan untuk membebaskan jiwanya dari ikatan Soyeon. Dan kau berhasil, Veronica. Dia pergi dengan damai, setelah melindungi kalian dan melakukan pengorbanan terakhirnya."
Veronica hanya bisa memejamkan mata, membiarkan kebenaran yang kejam itu meresap. Setelah semua trauma yang ia alami, ia merasa terlalu lelah untuk menyangkal.
"Puluhan tahun..." bisik Veronica. "Aku terus mencari bayangan..."
Ia membuka mata dan menatap pedang di tangannya. "Setidaknya... jiwanya bebas. Terima kasih."
Pria berambut merah itu bangkit. "Tentu saja. Sekarang, mari kita tinggalkan pulau yang dingin ini."
Di kejauhan, melalui kabut tipis, kapal yang sama yang membawa mereka terlihat telah tiba, berlabuh di pantai yang kini tampak alami dan tak berbahaya.
Ayunda, yang telah membantu Ikaeda berdiri, menghampiri mereka. "Kapal sudah menunggu. Ayo kita pergi, sebelum kita berempat sakit karena terlalu lama berada di udara terbuka."
Ikaeda menatap Seniornya dengan rasa hormat yang mendalam. "Terima kasih, Senior. Kau menyelamatkan nyawa kami, dan Benua."
Pria berambut merah itu hanya melambaikan tangan dengan malas. "Jangan berterima kasih. Aku hanya menyelesaikan tugas yang diberikan Ibunda Dewi-mu. Dan itu berarti aku berhak tidur seminggu penuh tanpa gangguan."
Mereka berempat kemudian beranjak dari bekas lokasi ilusi Kerajaan Orion. Veronica berjalan perlahan, memeluk pedang Tara erat-erat di dadanya, kini pedang itu adalah satu-satunya peninggalan nyata dari sahabatnya. Mereka menaiki kapal, meninggalkan pulau karang yang sepi itu, di mana legenda dan kematian Tara berakhir.
Kapal berlayar menjauh, membawa mereka kembali ke Benua Shirayuki Sakura, di mana Araya sudah menunggu jawaban atas misteri yang ia kirimkan.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa hari telah berlalu sejak kapal mereka merapat kembali ke dermaga. Setelah melaporkan hasil misi yang penuh gejolak kepada Pemimpin Benua, Veronica kembali ke tempat yang menjadi rumah dan tujuannya: Panti Asuhan Bunga Harapan.
Ia duduk di kursi taman yang terletak di halaman panti asuhan. Tempat ini, berada di wilayah Insomnia Benua Shirayuki Sakura, memang terasa tenang dan damai, jauh dari hiruk pikuk politik dan teror ilahi. Di sekelilingnya, beberapa anak asuhnya tertawa riang, berlarian di antara pohon-pohon yang teduh. Suara tawa polos mereka menjadi kontras yang menenangkan bagi jiwanya yang lelah.
Di sebelahnya, pedang Tara, pedang yang kini menjadi peninggalan terakhir sahabatnya, terbaring bersandar di kursi. Pedang itu telah dibersihkan dan dibalut kain sutra halus, dihormati selayaknya sebuah pusaka.
Veronica memejamkan mata, membiarkan kehangatan matahari membelai wajahnya. Dalam ketenangan itu, ingatan tentang masa lalu, tentang mimpi yang ia bagi bersama sahabatnya, kembali hadir.
.
.
.
.
.
Kilasan Ingatan:
Ia mengingat percakapan mereka saat masih berjuang di garis depan, di tengah debu dan kehancuran.
"Jika semua ini berakhir," kata sebuah suara yang kini ia rindukan. "Jika kita berhasil meruntuhkan tirani ini, apa yang akan kau lakukan, Vero?"
Veronica tersenyum dalam ingatannya. "Aku ingin membangun tempat yang aman. Tempat yang damai, jauh dari kebrutalan perang. Tempat di mana anak-anak yang kehilangan segalanya bisa tersenyum lagi."
"Ide yang bagus," balas suara itu. "Aku akan membantumu. Aku akan berhenti bertarung dan mengajar mereka. Tapi di mana?"
"Di Benua baru yang akan dibangun Araya," jawab Veronica saat itu. "Aku ingin di wilayah Insomnia. Mereka bilang wilayah itu akan menjadi tempat yang tenang, untuk para pelajar dan cerdikiawan. Kita akan membangun panti asuhan di sana, di tempat yang damai dan penuh ilmu. Kita akan menamainya Panti Asuhan Bunga Harapan."
"Bunga Harapan," suara itu tertawa renyah. "Aku suka itu. Tempat yang penuh harapan, bukan lagi air mata."
.
.
.
.
.
Kembali ke Masa Kini:
Veronica membuka matanya. Panti asuhan itu berdiri kokoh, tepat di Insomnia, sesuai dengan mimpinya. Anak-anak yang berlarian adalah bukti nyata dari harapan yang mereka perjuangkan.
Seorang anak kecil menghampirinya. "Ibu," kata anak itu. "Apakah aku boleh duduk di samping Ibu?"
Veronica tersenyum lembut. "Tentu, Nak. Kemarilah."
Anak itu duduk di kursi, matanya menatap pedang yang terbalut di sebelah Veronica. "Pedang siapa itu, Ibu? Pedang itu indah sekali."
...
...
Veronica mengelus pedang Tara, matanya menerawang jauh. "Ini pedang milik seorang kawan. Seorang kawan yang sangat berani dan mencintai tempat ini sama seperti aku."
Anak itu memiringkan kepala. "Apakah dia sekarang sudah bahagia?"
Veronica menatap tawa anak-anak di kejauhan, di wilayah Insomnia yang damai, yang dijaga oleh kekuatan Araya dan didukung oleh semangat wilayah Suzaku yang harmonis dan Niflheim yang keras.
"Ya, Nak," jawab Veronica, suaranya tenang dan penuh kedamaian. "Dia sudah bahagia. Dia berada di tempat yang penuh ketenangan, dan dia tahu, harapan yang kami bangun bersama, kini bersemi."
Ia menarik napas dalam, memeluk pedang Tara sejenak. Dengan hati yang kini terasa lebih ringan, ia mulai menceritakan sebuah kisah lama kepada anak itu, sebuah kisah tentang keberanian dan harapan yang lahir di tengah reruntuhan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di tengah gedung pusat pemerintahan Benua Shirayuki Sakura, Pria berambut merah itu memasuki kantor yang luas dan megah. Di balik meja kerjanya, Pemimpin Benua, Araya, menyambutnya dengan senyum tenang.
Pria berambut merah itu, yang biasanya terlihat malas, kali ini tampak gelisah. Ia menceritakan kejadian di Orion dengan nada cepat dan penuh kepanikan, gestur tangannya menunjukkan betapa sulitnya pertarungan itu.
...
...
"Kau harus melihatnya sendiri, Araya!" ujar Pria itu, langkahnya mondar-mandir di karpet. "Aku tidak menyangka akan melawan entitas setara dirimu. Kekuatan gelapnya begitu padat, bahkan Sayaka harus bekerja keras! Aku hanya berharap Ikaeda tidak terlalu trauma."
Araya hanya tersenyum tipis, ketenangan terpancar dari auranya. "Aku sudah tahu, Adikku. Aku yakin kau bisa melewatinya. Dan aku yakin Ikaeda dan yang lainnya juga bisa melewatinya. Pengalaman seperti ini akan membangun kekuatan mereka, terutama putraku."
"Obsesi Soyeon pada kematian selalu berlebihan," lanjut Araya, nada suaranya sedikit mengeras. "Aku tidak ingin orang-orang di sekitarku, terutama mereka yang kusayangi, tersakiti oleh kekejiannya. Jadi, lebih baik menghancurkan Soyeon secara tuntas dan mengembalikan kekuatannya yang gelap itu ke langit, tempat yang seharusnya ia berada."
Pria berambut merah itu mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya paham tentang istilah 'mengembalikan kekuatan ke langit'. "Baiklah, jika itu maumu. Jadi, apakah aku sekarang bisa mengajukan cuti panjangku? Aku sudah bekerja keras, kau tahu."
Araya tertawa kecil, senyumnya kini menyiratkan sesuatu yang licik. Ia mengabaikan pertanyaan cuti dan mengambil sebuah perkamen baru dari mejanya.
"Aku punya tawaran yang jauh lebih menarik daripada cuti," kata Araya, mendorong perkamen itu ke arahnya.
Pria berambut merah itu keheranan. "Perkamen baru? Kau serius? Aku baru saja hampir bertarung sampai mati, dan kau malah memberiku pekerjaan lagi?"
Araya bangkit dari kursinya, berjalan mendekati peta Benua yang besar di dinding. "Aku tahu kau ingin beristirahat. Jadi, bagaimana jika tawaran ini adalah untuk berlibur sekaligus bekerja?"
"Aku menawarkanmu untuk pergi ke Benua Utara. Kau tahu, Benua Glacio yang penuh salju itu? Tempat yang indah, tenang, dan cocok untuk mengistirahatkan pikiran."
Mendengar kata 'salju' dan 'libur', semangat Pria berambut merah itu langsung membara. "Benua Glacio? Salju? Kedengarannya sangat menjanjikan! Aku terima! Berapa lama cutinya?"
Araya memotongnya dengan nada datar. "Tapi ada masalah di sana. Pemimpin Benua di sana baru saja dijatuhkan dan disandera. Kepemimpinan telah diambil alih oleh para pemberontak."
Wajah Pria berambut merah itu kembali muram. "Oh, astaga. Selalu saja ada masalah. Apakah ada yang salah dengan pemerintahan sang Pemimpin? Apakah dia seorang tiran?"
Araya menggeleng. "Tidak. Pemerintahannya baik dan adil. Ini murni karena kejahatan yang ingin menguasai wilayah strategis di Utara. Para pemberontak ini berbahaya. Mereka harus dihentikan sebelum menimbulkan kekacauan yang lebih besar."
Pria berambut merah itu menghela napas, namun ia menerima takdirnya. "Baiklah. Kopi premium selama perjalanan dan aku akan mempertimbangkan untuk tidak mengeluh."
Araya tersenyum lembut, senyum yang menunjukkan betapa ia mempercayai sosok di hadapannya.
"Kau pergilah. Sekarang, nikmatilah waktu senggangmu sejenak," kata Araya, menepuk bahu 'Adik'nya. "Aku akan memanggilmu untuk berangkat ketika waktunya tiba. Bersiaplah untuk salju, dan tentu saja, masalah baru."
Araya tersenyum lagi, senyum yang menunjukkan ia tahu apa yang menjadi motivasi terkuat 'Adik'-nya itu.
"Oh ya," tambah Araya dengan nada santai. "Kebetulan sekali. Seseorang yang sangat kau sayangi, yang menguasai wilayah Suzaku, sepertinya akhir-akhir ini sangat merindukan kehadiranmu di sisinya."
Mendengar itu, mata Pria berambut merah itu yang tadinya terlihat mengantuk seketika berbinar. Segala keluhan tentang pekerjaan baru dan musuh setingkat dewa langsung menguap.
"Dia merindukanku?" tanyanya dengan semangat. "Kalau begitu aku harus pergi sekarang juga. Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Araya!"
Pria itu segera bergegas keluar dari kantor, meninggalkan perkamen tugas baru dan ancaman Benua Utara untuk sementara waktu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tak lama kemudian, Pria berambut merah itu tiba di kediaman mewah di wilayah Suzaku, wilayah yang dikenal sebagai surga kedamaian dan ketenangan. Pintu gerbang terbuka, dan di teras, seorang wanita anggun dengan rambut putih dan pakaian elegan sudah menunggunya.
Wanita itu tersenyum hangat saat melihat kedatangannya. Begitu Pria itu mendekat, ia melompat dan memeluknya dengan gemas.
"Aku sudah tahu kau akan datang," ujar Wanita itu, membalas pelukan erat kekasihnya. "Aku sangat merindukanmu."
"Aku juga, Sayang," jawab Pria itu, memeluknya tak kalah erat. "Aku segera terbang ke sini begitu tahu kau merindukanku. Kau tahu, Pemimpin Benua itu selalu memberikan pekerjaan yang merepotkan."
Wanita itu melepaskan pelukan. "Apakah ada cerita baru yang bisa kau bawakan untukku? Aku merasa sedikit bosan tanpa kehadiranmu."
Pria berambut merah itu tersenyum lebar. "Tentu saja ada! Kau tidak akan percaya betapa gilanya petualangan terakhirku."
Mereka berdua berjalan masuk, meninggalkan hiruk pikuk urusan Benua di luar.
Di ruang tamu, mereka duduk berdampingan di sofa yang nyaman. Wanita itu, yang menjabat sebagai Penguasa Abadi Suzaku, menyimak dengan tenang sambil menikmati teh hijaunya.
...
...
"Jadi," kata Pria berambut merah itu, menyesap tehnya. "Awalnya, aku hanya disuruh mengawal putra Pemimpin Benua dan Veronica ke sebuah pulau di tengah laut. Pulau itu katanya tempat Tara menghilang."
Ia menceritakan tentang kabut, Istana Orion yang mengerikan, benang-benang darah, dan bagaimana Ikaeda dan Veronica terjebak dalam kengerian itu. Ia menceritakan tentang kebangkitan Soyeon, sang Dewi Kematian.
Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian. "Entitas yang setara dengan Araya? Itu menakutkan sekali."
"Tentu saja," timpal Pria itu. "Tapi dia ceroboh. Aku harus menggunakan teknik pamungkas untuk mengalahkannya, yang mana sangat melelahkan. Dan yang paling gila," ia bersandar di sofa, "Ternyata seluruh Istana itu hanya ilusi! Pulau itu hanya karang biasa!"
Wanita itu meletakkan cangkir tehnya, matanya memancarkan kehangatan. "Itulah kau. Selalu berhasil menemukan kelemahan dalam kepalsuan. Tapi aku senang kau kembali dengan selamat."
"Tentu saja aku kembali," kata Pria itu, menyandarkan kepalanya ke bahu kekasihnya. "Aku tidak bisa membiarkan Benua ini kehilangan diriku yang sangat berharga. Apalagi, aku masih punya tugas lain dari Pemimpin Benua yang harus diselesaikan setelah ini."
"Pekerjaan baru?" tanya Wanita itu.
Pria itu mendesah. "Ya. Ke Benua Utara yang bersalju. Pemimpinnya disandera. Tampaknya kita tidak akan bisa beristirahat dengan tenang dalam waktu dekat, Sayang."
"Baiklah," jawab Wanita itu, mengelus rambut merah kekasihnya. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu. Dan sebelum kau berangkat, aku akan memastikan kau mendapat istirahat yang layak."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Keheningan dan ketenangan wilayah Suzaku benar-benar berbeda dengan kekacauan yang baru saja mereka hadapi. Di kamar tidur yang mewah dan hangat, Pria berambut merah itu akhirnya mendapatkan istirahat yang ia dambakan. Ia tertidur pulas di tempat tidur, ditutupi selimut tebal.
Wanita penguasa Suzaku, dengan rambut putihnya yang panjang terurai, bersandar di sampingnya. Ia tidak tidur, melainkan menikmati pemandangan kekasihnya yang sedang terlelap. Sebuah senyum tipis, penuh kasih sayang, terukir di bibirnya.
Ia memandang wajah damai Pria itu, yang kini terlihat jauh dari sosok malas dan penuh perhitungan di medan perang.
"Bayi besar," bisik Wanita itu pelan, suaranya dipenuhi kelembutan.
Di mata orang lain, Pria berambut merah itu adalah salah satu prajurit terkuat, yang mampu mengimbangi Dewi Kematian. Ia adalah sosok yang cerdik, kuat, dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Namun, bagi Wanita itu, ia hanyalah seorang bayi besar yang menggemaskan, yang selalu mengeluh tentang pekerjaan dan selalu mencari tempat untuk tidur.
Wanita itu perlahan mengulurkan tangannya, mengelus rambut merah kekasihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya.
"Kau berjuang keras untuk melindungi Benua ini," gumamnya. "Kau menggunakan lebih dari 'lima persen' kekuatanmu, meskipun kau tidak akan pernah mengakuinya."
Ia mengingat kembali percakapan mereka di ruang tamu, tentang bagaimana Pria itu harus menggunakan teknik terkuatnya-Busur Phoenix Raksasa-dan bagaimana ia harus mengerahkan seluruh sihirnya untuk mengalahkan musuh setingkat dewa. Pria ini akan selalu bersikap malas, tetapi ketika situasi benar-benar genting, ia akan mengerahkan segalanya demi orang-orang yang ia sayangi, termasuk dirinya dan Pemimpin Benua.
...
...
Wanita itu tersenyum lagi. "Istirahatlah, Sayang. Nikmati ketenangan ini. Kau tahu, begitu kau terbangun, Pemimpin Benua itu pasti sudah memiliki rencana yang tidak kalah merepotkan untukmu."
Ia memeluk Pria itu lebih erat, membiarkan kehangatan tubuhnya menjadi selimut tambahan. Pria itu bergerak sedikit dalam tidurnya, mencari kenyamanan, dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya lebih dalam di bahunya.
"Dia memang bayi besarku," pikir Wanita itu dalam hati, menutup matanya, dan membiarkan ketenangan Suzaku menyelimuti mereka berdua, sebelum panggilan tugas berikutnya tiba.