NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 3: Kegagalan Pertama di Bawah Energi Samawi

Tiga hari telah berlalu sejak para kultivator asing meninggalkan Desa Hijau, namun jejak mereka masih terasa di udara seperti bau asap yang menempel di dinding.

Penduduk desa kembali bekerja, tetapi setiap langkah dan tawa mengandung sisa ketakutan. Mereka berbicara pelan, seolah takut suara keras akan memanggil bencana kembali. Sungai Jernih tetap mengalir, namun riaknya kini terdengar seperti napas yang tertahan.

Di dalam rumah bambu yang sederhana, Liang Chen duduk diam di tepi ranjang. Luka di dadanya belum sepenuhnya pulih; setiap tarikan napas mengingatkannya pada benturan angin tajam yang menjatuhkannya.

Tapi rasa sakit di tubuh hanyalah bayangan dari luka yang jauh lebih dalam. Kata-kata itu, kasar dan sederhana, terus bergema di kepalanya: sampah tanpa meridian.

Ia memandang telapak tangannya yang penuh kapalan, tangan yang sama yang memegang palu, mencangkul tanah, dan berusaha memegang pedang tumpul itu.

Di matanya, kedua tangannya tampak seperti dua dunia yang bertentangan — tangan seorang petani dan tangan seorang pejuang yang tak pernah lahir. Dunia ini menghargai kekuatan spiritual, bukan kerja keras fana.

Ia menatap keluar jendela, melihat penduduk desa yang masih gelisah. Dalam mata mereka ia melihat pantulan ketakutan, dan menyadari bahwa ketakutan adalah rantai. Selama tidak ada yang cukup kuat untuk memutus rantai itu, mereka semua akan tetap berjalan membungkuk di bawah langit yang sama.

Hari itu, setelah makan siang, Liang Chen memberanikan diri mendatangi rumah kecil di tepi barat desa, tempat tinggal seorang tabib tua yang dikenal pernah menempuh jalan kultivasi.

Pria itu dikenal pendiam, hidup menyendiri, dan hanya keluar bila diminta menyembuhkan luka. Pintu rumahnya terbuka sedikit, aroma obat-obatan menyengat keluar bersama asap dupa.

Liang Chen mengetuk pelan. "Tabib Qin, bolehkah aku masuk?"

Suara serak dari dalam menjawab, "Masuklah, jika kau datang bukan untuk mati."

Ia melangkah masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi rak bambu dengan botol-botol kecil dan akar kering menggantung di langit-langit.

Seorang pria tua duduk di kursi rendah, jubahnya lusuh, rambutnya kusut. Mata tuanya tajam, namun sinarnya suram, seperti bara yang hampir padam.

"Aku ingin belajar cara membuka meridian," ucap Liang Chen tanpa berputar-putar.

Tabib Qin tertawa pendek.

"Kau? Anak petani? Bukankah aku sudah cukup melihat kebodohan manusia di dunia ini?"

Liang Chen menunduk, menahan rasa malu. "Aku tahu aku tidak punya bakat. Tapi aku tidak ingin lemah selamanya. Ajari aku, meski hanya sedikit."

Tawa itu berhenti. Tabib Qin menatapnya lama. "Kultivasi bukan sekadar kemauan. Kau butuh garis keturunan yang bersih, tubuh yang sesuai dengan energi langit, dan batu spiritual untuk memperkuat dasar. Kau tidak memiliki ketiganya."

"Aku punya tekad."

"Tekad bisa menyalakan api, tapi tidak bisa menciptakan angin untuk menjaganya tetap hidup," gumam si tabib. Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata, "Baiklah."

Ada satu teknik dasar, tidak berguna bagi orang biasa, tapi jika nasibmu memang keras kepala, mungkin langit akan menoleh padamu.

Duduklah di bukit di sebelah utara desa saat bulan purnama. Saat itu Energi Samawi paling pekat. Hirup dengan tenang, bayangkan benang-benang cahaya memasuki tubuhmu melalui ubun-ubun, lalu mengalir ke jantung. Jangan paksa. Energi langit tidak suka dipaksa."

Liang Chen menunduk dalam-dalam. "Terima kasih, Tabib Qin."

"Jangan berterima kasih padaku," kata si tua tanpa menatapnya. "Terima kasihlah pada langit jika kau masih bernapas setelah mencoba."

Malam itu tiba tanpa suara. Langit tampak jernih, bulan bundar menggantung tinggi di atas hutan bambu. Liang Chen mendaki bukit kecil di sisi utara, tempat rumput tumbuh tebal dan batu-batu tua menonjol dari tanah.

Ia duduk bersila di atas batu datar, menghadap langit. Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah dan embun. Di kejauhan, suara serangga malam terdengar seperti nyanyian kecil yang menyambut keberaniannya.

Ia menutup mata. Dalam pikirannya, ia mengingat petunjuk tabib itu: bayangkan benang-benang cahaya yang lembut, meraih mereka, membimbing ke dalam tubuh. Ia menarik napas panjang, menenangkan pikirannya.

Perlahan, di dalam kegelapan matanya, ia merasa ada sesuatu di udara, seperti kabut tipis yang berkilau. Energi Samawi. Lembut, suci, dan jauh. Ia berusaha memanggilnya, membiarkan napasnya menjadi jembatan antara tubuh dan langit.

Untuk sesaat, ia merasakannya: seberkas dingin yang menyentuh kulit, menelusup di antara pori-porinya. Ia menahan napas, mencoba menuntun energi itu ke dalam tubuh.

Namun ketika energi itu mendekati dada, tiba-tiba tubuhnya menegang. Seolah dinding tak terlihat menolak masuknya cahaya. Meridian di tubuhnya tertutup rapat, seperti tembok batu yang dingin dan keras.

Liang Chen menggertakkan gigi. Ia memusatkan pikiran, berusaha menekan energi itu masuk. Hasilnya, rasa dingin berubah menjadi sakit.

Energi Samawi berputar di luar tubuhnya, menolak dan menyengat, sementara darah hangat mengalir dari hidungnya. Ia terbatuk pelan, namun tidak berhenti.

"Aku tidak akan menyerah," bisiknya. Ia mencoba lagi, kali ini lebih kuat. Napasnya berat, peluh mengalir di pelipis, namun Energi Samawi tetap tak mau menembus. Jam-jam berlalu.

Bulan bergerak perlahan ke barat, sementara Liang Chen masih duduk di sana, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat. Pada akhirnya, rasa dingin yang menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Ia kehilangan kendali, dan seluruh energi yang sempat menyentuhnya menghilang, meninggalkan kehampaan yang menyakitkan.

Fajar mulai menyingsing. Cahaya pertama matahari menembus kabut, menimpa wajahnya yang letih. Liang Chen terhuyung jatuh ke tanah, napasnya tersengal. Ia menatap langit yang mulai terang, matanya basah bukan oleh tangis, melainkan karena rasa hampa yang menusuk hati.

Begitulah rasanya ditolak oleh langit. Ia telah berusaha sekuat mungkin, namun alam tidak memberinya tempat. Dalam dunia kultivasi, tak ada yang lebih hina daripada tubuh yang menolak Energi Samawi. Ia memejamkan mata dan tertawa getir. Jadi beginikah, aku memang sampah seperti kata mereka.

Ia berbaring di atas rumput basah, menatap matahari yang naik. Bagi dunia, fajar adalah awal kehidupan baru; bagi Liang Chen, itu adalah cahaya yang menyoroti kegagalannya.

Ia merasa dikhianati oleh langit, oleh dunia, oleh dirinya sendiri. Dalam hati kecilnya, ia mendengar gema janji yang ia ucapkan di bawah rembulan beberapa malam lalu, janji untuk menjadi pedang yang melindungi. Tapi bagaimana mungkin pedang bisa lahir dari tangan yang bahkan tak mampu membuka satu meridian?

Ia ingin menyerah. Mungkin memang takdirnya hanya menjadi petani, menempa besi, menua di bawah pohon bambu. Ia menutup mata dan membiarkan pikirannya tenggelam dalam pasrah.

Namun di tengah keputusasaan itu, rasa hangat aneh muncul di dadanya. Panas, lalu berdenyut, seperti bara kecil yang hidup di bawah abu. Liang Chen mengerang pelan. Rasa itu berbeda dari Energi Samawi,  lebih kasar, lebih liar. Ia duduk, menggenggam dadanya.

Nafasnya cepat, tapi tidak ada rasa dingin, hanya panas yang menyebar ke seluruh tubuh.

Di dalam pikirannya, suara samar bergema, tidak seperti kata-kata manusia, melainkan bisikan yang menyelinap di antara napas dan detak jantungnya. Jalan ini menolakmu... tetapi ada jalan lain.

Liang Chen memejamkan mata. Bayangan lautan darah dari mimpinya di malam sebelumnya muncul lagi, lebih jelas kali ini.

Siluet pedang hitam terangkat dari pusaran, mata merah menyala di balik kabut. Suara itu datang lagi, lebih tegas. Ketenangan adalah kebohongan. Kekuatan sejati tidak lahir dari kedamaian, tetapi dari luka.

Ia tersentak dan membuka mata. Nafasnya berat. Rasa panas itu perlahan mereda, namun meninggalkan getaran halus di dalam tubuhnya, seperti suara detak pedang yang tidur.

Tangannya tanpa sadar menggenggam pedang tumpul yang selalu ia bawa. Logam dinginnya menenangkan, tapi di dalam genggamannya ada sesuatu yang bergemuruh.

"Apa yang terjadi padaku?" bisiknya. Ia menatap pedang itu, tapi hanya melihat pantulan wajahnya sendiri.

Angin pagi bertiup, membawa kabut turun dari bukit. Liang Chen bangkit perlahan, tubuhnya lemah namun matanya tajam. Dalam dirinya, ada dua suara yang bertarung, suara ayahnya yang mengajarkan keteguhan, dan suara aneh yang menawarkan kekuatan lewat kemarahan.

Ia menatap lembah di bawah sana. Desa Hijau terlihat kecil, rumah-rumah bambu tampak rapuh di bawah sinar matahari muda. Ia tahu dunia tidak akan berubah untuknya. Jadi, satu-satunya pilihan adalah mengubah dirinya sendiri.

Ia menarik napas panjang, lalu berbisik lirih, seolah berbicara pada langit dan bumi. "Jika Jalan Panjang Umur menolakku, maka aku akan mencari jalan lain. Aku gagal menjadi setetes air suci di sungai kultivasi. Maka biarkan aku menjadi kerikil tajam yang memecahkan alirannya."

Cahaya pagi menimpa wajahnya, menyingkap garis-garis tekad di matanya. Tidak ada Energi Samawi yang mengalir di tubuhnya, tidak ada cahaya ilahi yang menandakan keberhasilan. Namun sesuatu yang lain kini hidup di dalam dirinya, kegelapan kecil yang berdenyut bersama darahnya.

Ia memandang ke langit untuk terakhir kali, lalu menuruni bukit dengan langkah mantap. Setiap langkah terasa berat, namun pasti. Di tangan kanannya, pedang tumpul itu bergeming, pantulannya menangkap sinar matahari seperti seberkas cahaya yang berjuang menembus kegelapan.

Hari itu, Liang Chen tidak membuka meridiannya. Tetapi di pagi yang dingin itu, ia membuka pintu menuju takdir yang jauh lebih gelap.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!