Ketika Naya, gadis cantik dari desa, bekerja sebagai babysitter sekaligus penyusui bagi bayi dari keluarga kaya, ia hanya ingin mencari nafkah.
Namun kehadirannya malah menjadi badai di rumah besar itu.
Majikannya, Arya Maheswara, pria tampan dan dingin yang kehilangan istrinya, mulai terganggu oleh kehangatan dan kelembutan Naya.
Tubuhnya wangi susu, senyumnya lembut, dan caranya menimang bayi—terlalu menenangkan… bahkan untuk seorang pria yang sudah lama mati rasa.
Di antara tangis bayi dan keheningan malam, muncul sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh — rasa, perhatian, dan godaan yang membuat batas antara majikan dan babysitter semakin kabur.
“Kau pikir aku hanya tergoda karena tubuhmu, Naya ?”
“Lalu kenapa tatapan mu selalu berhenti di sini, Tuan ?”
“Karena dari situ… kehangatan itu datang.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Nyempil di tengah padatnya kerjaan
...0o0__0o0...
...Setelah meeting berjam-jam lamanya, Arya melangkah cepat kembali menuju ruang kerjanya. Firan mengikuti di belakang, setengah berlari mengejar ritme sang bos....
...“Kapan jadwal saya ke luar negeri ?” tanya Arya datar, tanpa menoleh sedikit pun. Langkah-nya terus mengarah ke ruang CEO....
...Firan segera mengecek tablet di tangan-nya. “Seminggu lagi, Bos. Apa ada yang ingin anda ubah ?”...
...Arya berhenti tepat di depan pintu ruangan-nya. “Padatkan jadwal saya. Sebelum saya ke luar negeri, saya mau waktu saya kosong.”...
...Firan langsung melotot....
...Pasalnya jadwal Arya selama ini saja sudah lebih dari sekadar padat—penuh sesak. Laki-laki itu pergi pagi, pulang hampir tengah malam, mengurus proyek yang tidak ada habisnya....
...“Bos… jadwal Anda sudah sangat padat,” jelas Firan hati-hati. “Kalau di padatkan lagi, anda tidak akan punya waktu untuk istirahat.”...
...Arya tampak tidak peduli sedikit pun. Yang ia pikirkan hanya satu: pulang tanpa gangguan apa pun… dan menikmati kebersamaan dengan Naya sesuka hatinya....
...“Lakukan saja,” titahnya, dingin dan tak memberi ruang untuk bantahan. “Siapkan mobil. Kita pulang sebentar sebelum menemui rekan bisnis.”...
...Tanpa menunggu jawaban, Arya langsung masuk ke dalam ruangan-nya, meninggalkan asisten-nya begitu saja....
...Firan hanya mampu menghembuskan napas berat....
...“Resiko punya bos gila kerja…” gumam-nya. Firan kemudian berjalan ke ruangan-nya sendiri untuk mengambil dokumen dan kunci mobil....
...0o0__0o0...
...Arya berdiri lama di ambang pintu kamar kecil itu. Tatapan-nya turun perlahan dari putranya yang terlelap… ke Naya yang duduk diam di ujung sofa, tubuhnya menegang begitu gadis itu sadar Arya memperhatikan....
...Begitu melihat Arya, Naya langsung menegakkan tubuhnya. “Tuan…? Anda sudah selesai meeting ?”...
...Arya tidak menjawab. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap keduanya—tajam, dalam, dan sulit di baca. Ada letih, ada rindu, ada obsesi yang menekan dadanya....
...Perlahan Arya melangkah masuk....
...Si kecil berguling, menggumam kecil. Arya mendekat, mengecup kening putranya dengan gerakan yang jauh lebih lembut daripada ekspresi wajahnya....
...“Dia rewel ?” tanya Arya, suaranya rendah....
...“Sedikit. Sepertinya baby Karan bosan menunggu,” jawab Naya pelan....
...Arya menatap anaknya sejenak, kemudian menoleh pada Naya. Tatapan itu membuat gadis itu menurunkan pandangan—ada intensitas di sana yang selalu membuatnya gugup....
...“Naya.” Suara Arya rendah, dingin, dan terlalu tenang....
...Gadis itu segera bangkit, menunduk sopan. “Ya, Tuan ?”...
...Arya melangkah mendekat, setiap langkah-nya membawa tekanan yang membuat udara kamar terasa lebih berat. Ia berhenti tepat di hadapan Naya, menatapnya dari atas....
...“Kau sudah memberi Karan susu ?”...
...“Sudah, Tuan.”...
...“Kau menjaga dia dengan benar ?”...
...“Tentu, Tuan…”...
...Arya mencondongkan tubuh sedikit, matanya mengunci mata Naya. ...
...Tatapan itu bukan tatapan bos pada pegawai. Lebih seperti seseorang yang sedang menilai miliknya sendiri....
...“Kau selalu terlihat gugup kalau aku mode ke setelan pabrik,” gumam Arya, suaranya menggores lembut namun menusuk. “Kenapa ? Takut aku marah ?”...
...Naya menelan ludah. “Saya hanya… menghormati Tuan.”...
...Arya tersenyum tipis—senyum yang bukan kehangatan, tapi dominasi....
...“Tidak perlu pura-pura sopan,” katanya. “Kau bukan cuma babysitter di sini. Kau tahu itu.”...
...Naya langsung menunduk lebih dalam....
...Arya mengangkat tangan, bukan untuk menyentuh-nya, tapi untuk menyingkirkan sedikit rambut yang jatuh di wajah Naya—gerakan kecil, tetapi membuat gadis itu menahan napas....
...“Kau ada di sini karena Karan butuh mu,” bisik Arya. “Dan karena aku menginginkan mu tetap di sini.” Nada itu membuat lutut Naya hampir lemas....
...Arya mendekat....
...Tanpa mengatakan apa pun, ia menurunkan tubuhnya ke sofa—tepat di samping Naya berdiri. Gerakan-nya perlahan, bukan malas, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja memikul beban dunia....
...Naya menatap-nya ragu. “Tuan… Anda terlihat lelah.”...
...Arya tidak menjawab....
...Duda itu hanya menatap wajah Naya beberapa detik, tajam, padat, namun hampa emosi—seolah hanya Naya yang bisa membuat pikiran-nya kembali fokus....
...Tiba-tiba, Arya menarik lengan Naya dengan satu gerakan lembut namun tak bisa di bantah. Ia menyandarkan kepala'nya di bahu gadis itu. ...
...Gerakan sederhana, tapi membuat seluruh tubuh Naya membeku....
...“Tuan…?”...
...“Diam.”...
...Suara itu rendah, berat, nyaris seperti desahan seseorang yang akhirnya menemukan titik istirahat....
...Arya memejamkan mata, menyandarkan sebagian berat tubuhnya ke Naya, seolah gadis itu satu-satunya tempat ia bisa merelakan kelemahan-nya....
...“Tadi… semuanya berisik,” gumam Arya. “Rekan bisnis, orang-orang rapat… semua membuat kepala ku penuh.”...
...Jari Naya bergerak ragu, tidak tahu harus bagaimana. “Apa saya… bisa melakukan sesuatu ?”...
...Arya membuka mata sedikit, menoleh ke leher Naya, dan mendekatkan wajahnya tanpa menyentuh....
...“Cukup diam di sini.”...
...Naya menelan ludah. “Baik, Tuan.”...
...Arya menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma samar Naya yang membuat ekspresinya melunak—hal yang sangat jarang muncul. ...
...Tatapan-nya masih gelap, posesif, tapi kini ada sesuatu yang lebih manusiawi: rapuh yang di sembunyikan....
...“Kau membuat pikiran aku lebih tenang,” katanya lirih, hampir tidak terdengar. “Walau kadang kau menyebalkan.”...
...Naya menunduk kecil. “Maaf kalau saya—”...
...“Aku tidak bilang itu buruk.”...
...Arya menahan napas sejenak, lalu menyandarkan kepala lagi....
...Keheningan menyelimuti mereka....
...Karan tidur pulas, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, Arya tidak tampak seperti Raja yang sedang menaklukkan dunia—melainkan seorang pria yang kelelahan dan hanya mau di biarkan dekat dengan orang yang ia pilih....
...Jari Arya bergerak perlahan, menyentuh lengan Naya. Bukan menggoda....
...Bukan memaksa....
...Hanya… mengklaim....
...“Kau tetap di sini,” bisiknya. “Sampai lelahku hilang.”...
...Naya mengangguk, suara lembutnya nyaris tenggelam....
...“Ya, Tuan. Saya akan ada di sini.”...
...Arya akhirnya membuka mata, menatap Naya lama—pandangan yang membuat gadis itu sulit bernapas....
...“Bagus,” gumam-nya, senyum tipis muncul. “Jangan pergi. Kau milikku saat ini.”...
...Dan di ruangan kecil itu, beban Arya sedikit runtuh… hanya karena Naya duduk diam, membiarkan dirinya menjadi tempat Arya bersandar....
...Arya masih bersandar pada bahu Naya, matanya terpejam, napasnya dalam namun tidak stabil. ...
...Ketegangan di tubuhnya begitu jelas—pundaknya kaku, rahangnya mengeras, alisnya mengerut seperti seseorang yang memaksakan diri untuk tetap kuat....
...Naya ragu sejenak, memandangi wajah sang bos. “Tuan…” bisiknya. “Bolehkah saya… membantu ?”...
...Arya tidak membuka mata. “Apa ?” suaranya rendah, berat....
...“Saya bisa… memijit sedikit. Anda terlihat sangat kecapek'an.”...
...Lama hening....
...Lalu Arya mengeluarkan napas pendek, seolah akhirnya menyerah pada dirinya sendiri....
...“Lakukan,” katanya pelan namun tetap tegas. “Tapi jangan sampai pijitan mu gagal.”...
...Naya mengangguk dan pelan-pelan menggeser tubuhnya agar lebih dekat. Ia mengangkat tangan dengan hati-hati, menyentuh kepala Arya terlebih dulu. ...
...Lelaki itu langsung merespons—tidak bergerak, tetapi ototnya sedikit melemah....
...Sentuhan pertama Naya jatuh pada pelipis Arya. Gerakan-nya lembut, penuh kehati-hatian. Jempolnya memutar kecil, menekan titik-titik yang ia tahu bisa meredakan pening....
...Arya menghela napas panjang—lebih panjang dari sebelum-nya....
...“Lanjutkan.”...
...Perintah itu lirih, tapi tak butuh jeda....
...Naya menuruti....
...Jemarinya bergerak naik ke kening Arya, memijat perlahan hingga menyisir rambut sang bos ke belakang. ...
...Arya menikmati setiap gerak halus itu, meski ia tidak mengakuinya....
...Setelah beberapa menit, Naya memindahkan kedua tangan-nya ke pundak Arya. Begitu ia menekan bagian yang paling kaku—...
...Arya mengerang kecil....
...Bukan kesakitan....
...Lebih seperti akhirnya mendapatkan sesuatu yang ia butuhkan sejak pagi....
...“Fokus di situ,” gumam-nya....
...Naya memijit bagian itu perlahan, lalu menekan titik-titik yang membuat Arya lebih rileks. Bahu pria itu yang semula tegang mulai turun beberapa milimeter....
...“Naya.”...
...Suara Arya terdengar lebih dalam sekarang....
...“Ya, Tuan ?”...
...“Tangan mu handal dalam segala hal ternyata.”...
...Kalimat itu sederhana, tapi cara Arya mengatakan-nya membuat pipi Naya memanas....
...Babysitter itu terus memijat, bergantian antara bahu dan tengkuk. Arya menundukkan kepala sedikit, memberi akses lebih, seolah mempercayakan tubuh'nya pada satu-satunya orang yang ia izinkan menyentuh dirinya di saat lemah....
...“Jangan berhenti,” perintah Arya—suara pelan tapi mutlak....
...Naya mengangguk, memijat lebih lama....
...Sesekali Arya menutup mata lebih rapat, napasnya menjadi lebih teratur....
...Dan saat Naya secara refleks membenarkan kerah Arya yang kusut, lelaki itu menangkap pergelangan tangan-nya. Tidak keras, hanya memastikan Naya memperhatikan....
...“Aku kembali ke sini karena kalian,” bisiknya. “Dan… karena hanya kau yang bisa membuat kepala ku tidak meledak.”...
...Naya terdiam, jantung-nya berdebar keras....
...Arya melepaskan pergelangan itu dan bersandar kembali, menundukkan kepala, memberi restu tanpa kata....
...“Lanjutkan memijatnya,” katanya. “Aku belum selesai melepas penatku dengan mu.”...
...Naya kembali memijat pundak itu, dan untuk pertama kalinya hari itu—Arya tampak seperti seseorang yang akhirnya bisa bernafas tanpa tekanan dunia menindih bahunya....
...Pijatan Naya di bahu dan leher Arya semakin dalam....
...Gerakan lembut itu membuat napas Arya perlahan berat, bukan karena lelah saja—tapi karena akhirnya ia merasakan ketenangan setelah berjam-jam terjebak rapat yang melelahkan....
...“Tepat di situ,” gumam Arya rendah, matanya setengah tertutup....
...Naya mengikuti arahan, memijit lebih pelan namun menekan pada titik yang membuat Arya menghela napas puas....
...Suasana ruangan sudah sangat tenang… Hingga ...
...tok… tok… tok. ...
...Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Ketukan itu pelan, tenang. Namun mampu membuat Arya dan Naya berhenti menikmati kebersamaan tenang-nya....
...Arya langsung mengerutkan dahi keras....
...Naya refleks menghentikan pijatan-nya....
...“Tch…” Arya menghela napas berat, jelas sangat terganggu. “Siapa lagi ?”...
...Pintu terbuka sedikit....
...Firan muncul, mencondongkan tubuh ke dalam, tidak berani langsung masuk....
...“Maaf, Bos,” katanya hati-hati. “Mobil sudah siap untuk mengantar Anda pulang. Waktu kita tidak banyak.”...
...Arya memejamkan mata lagi, kali ini bukan karena rileks—tapi karena kesal yang ia tahan....
...beberapa menit....
...Hanya 5 menit kenyamanan itu berlangsung… dan langsung terputus....
...Arya menegakkan tubuhnya, menatap Firan dengan sorot mata tajam yang membuat asisten-nya langsung kaku....
...“Kenapa harus sekarang ?” gumam Arya dingin....
...“Karena itu perintah Anda sendiri, Bos…” Firan menjawab pelan, hampir seperti berbisik. "Dan jadwal anda sangat padat."...
...Naya menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul tanpa sengaja....
...Arya sadar, tapi tidak menegur—hanya menghela napas berat sambil bangkit dari sofa....
...“Baik,” katanya singkat. “Tutup pintunya.”...
...“Baik, Bos.” Firan menutup pintu dengan cepat, nyaris kabur karena tekanan aura Arya....
...Setelah pintu tertutup, Arya menatap Naya....
...Tatapan itu penuh rasa tidak puas karena momen nyaman-nya di potong, tapi juga sedikit melembut saat melihat-nya....
...“Naya,” suara Arya rendah, nyaris seperti geraman. “Kita pulang.”...
...Naya mengangguk....
...“Karan masih tidur, Tuan. Biar saya gendong nanti.”...
...Arya mendekat, memperbaiki kerah kemejanya sambil masih menatap gadis itu....
...“Cepat,” katanya pelan namun tegas. “Waktu saya tidak banyak.”...
...0o0__0o0...