"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Konflik Hati
Di Kamar Orang Tua Kian
Keynan masuk ke dalam kamar, disambut aroma lembut lotion dan kehangatan cahaya lampu meja. Aisyah tengah duduk di sisi ranjang, mengoleskan lotion ke lengannya yang mulai mengeriput, namun tetap anggun. Saat menoleh dan melihat suaminya, senyum hangat langsung mengembang di wajahnya.
Tak ada lagi cadar menutupi kecantikannya. Meski usianya tak lagi muda, pesonanya masih utuh di mata sang suami.
“Aku sudah siapkan air hangat untukmu,” ucap Aisyah lembut sambil meletakkan botol lotion ke meja.
Keynan membalas dengan senyum lelah. “Makasih, Sayang.”
Aisyah bangkit, mendekatinya dengan langkah tenang. Ia membantu melepaskan jas dari bahu suaminya, lalu menggantungnya dengan rapi.
“Kau merasa bersalah karena tindakan Kian?” tanyanya pelan, menatap wajah Keynan dengan mata penuh pengertian.
Keynan menghela napas panjang. Tatapannya menerawang, seperti menyesap kembali setiap keputusan yang pernah ia ambil.
“Dia merayuku,” ucapnya akhirnya. “Meminta jabatan CEO. Katanya, perusahaan akan jauh lebih maju di bawah kepemimpinannya.”
Ia tertawa kecil—pahit.
“Saat itu aku bisa melihat ambisi besar di matanya. Dan aku tahu, ambisi yang terlalu besar... bisa membutakan siapa pun. Dia cerdas, tapi belum cukup bijak. Memimpin bukan hanya soal angka, laba, dan merger. Tapi juga hati. Kadang, kita harus mengambil keputusan bukan dengan logika saja, tapi juga dengan empati dan nurani.”
Aisyah hanya diam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Tangannya sibuk membuka kancing kemeja suaminya, tapi pikirannya tertambat pada hati pria di depannya.
“Itulah kenapa aku menantangnya menangani proyek Kalimantan,” lanjut Keynan. “Tempat yang penuh kesulitan. Tapi dia berhasil. Aku bangga. Sangat. Namun... aku tak menyangka, dia akan membuat keputusan sepenting ini tanpa bicara dengan kita. Demi posisi CEO yang ia incar sejak lama.”
Aisyah melepas kemeja Keynan, menaruhnya ke keranjang cucian. Meski tubuh suaminya mulai menua, tapi ia masih memelihara kesehatan dengan baik. Lalu ia berdiri di depannya, menatap dengan kelembutan khas istri yang telah menemani puluhan tahun.
“Jangan salahkan dirimu sendiri,” ucapnya pelan. “Kau sudah mengambil keputusan terbaik sebagai seorang ayah. Dan percayalah… pasti ada hikmah di balik semua ini. Kita hanya perlu mendampingi Kian lebih dekat. Membimbingnya, bukan menjauhinya.”
Keynan menatap wajah istrinya dengan tatapan dalam. Hening sejenak. Lalu, perlahan, ia merengkuh tubuh wanita itu dan mengecup keningnya penuh cinta.
Saat ia menjauhkan bibirnya, matanya tak lepas dari wajah istrinya.
“Karena inilah aku mencintaimu…” bisiknya. “Kau satu-satunya wanita yang membuatku jatuh cinta… tanpa pernah melihat.”
Aisyah tersenyum. Pipi tuanya merona. Meski usia pernikahan mereka sudah melewati puluhan tahun, pujian dari suaminya masih bisa membuatnya merasa seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta.
Keynan gemas melihat ekspresi itu. Cinta mereka tetap hidup, hangat, dan utuh.
“Mandi, sana. Biar lebih segar,” ucap Aisyah seraya mendorongnya pelan ke arah kamar mandi. “Kau harus sehat… supaya bisa menimang cucu bersamaku nanti.”
Keynan terkekeh kecil. “Aamiin, Sayang. Semoga segera.”
Lalu ia masuk ke kamar mandi, meninggalkan Aisyah yang tersenyum sendiri, penuh harap dan doa untuk anak mereka.
***
Di Kamar Kian
Begitu Kian masuk ke kamar mandi, suara gemericik air terdengar samar di balik pintu tertutup.
Kanya berdiri terpaku sejenak di tengah kamar, matanya mengamati ruangan yang kini resmi menjadi tempat tinggalnya bersama seorang pria—suami yang belum sepenuhnya ia kenal, dan mungkin… belum sepenuhnya menerimanya.
Perlahan ia melangkah ke arah lemari, lalu membukanya. Deretan pakaian pria tersusun rapi di dalam sana: kemeja, jas, beberapa celana kain, juga beberapa setelan santai yang dilipat bersih di rak bawah.
“Dia pakai baju apa saat tidur, ya?” gumamnya lirih, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Tangannya mengusap kaos polos berwarna hitam yang terasa lembut di ujung jari. Senyumnya muncul tipis.
“Mungkin kaos dan celana pendek… seperti kebiasaan Ayah.”
Namun senyum itu tak bertahan lama. Perlahan, pudar. Matanya menunduk, dan debar di dadanya terasa berat.
Ayah…
Hening sejenak. Kanya memejamkan mata.
“Aku akan berusaha menjadi istri yang baik… sesuai ajaran agama kita,” bisiknya dalam hati. “Meski aku tak tahu apakah aku bisa mempertahankan pernikahan ini… tapi aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Tangannya kini menggenggam erat kaos dan celana pendek yang ia pilih.
“Aku percaya… Ayah tak akan memilihkan imam yang buruk untukku. Dan… kalaupun ternyata firasat Ayah keliru… mungkin ini bagian dari ujian kehidupan untukku.”
Ia menarik napas panjang. Dalam-dalam.
“Jadi… aku akan menjalani ini. Sebaik mungkin.”
Kanya menutup pintu lemari dengan tenang, lalu berjalan ke sisi ranjang. Ia meletakkan pakaian tidur itu dengan rapi di atas seprai yang bersih.
Suara air dari kamar mandi masih terdengar. Tapi di dalam kamar itu, suasana justru lebih sunyi dari sebelumnya.
Sunyi… tapi penuh dengan tekad dan doa yang menggantung di udara.
Sambil menanti suara air berhenti dari balik kamar mandi, Kanya membuka ponselnya. Ia memeriksa ulang pesanan abaya yang belum sempat ia selesaikan. Notifikasi dari grup kuliah juga terus berdenting, memenuhi layar.
Ia menghela napas panjang.
"Aku harus menyelesaikan kuliah dan pesanan pelanggan. Tapi... kami akan tinggal di rumah ini? Atau pindah ke tempat lain?" pikirnya.
Belum sempat ia merenung lebih jauh, suara pintu kamar mandi terbuka memutus lamunannya.
Cklek.
Refleks, kepalanya menoleh.
Dan… di sanalah Kian berdiri. Tubuhnya tinggi menjulang, hanya dililit sehelai handuk putih di pinggang. Rambutnya basah dan masih meneteskan air, mengalir pelan di dada bidang dan otot perut yang terlihat jelas.
Kanya terpaku.
Seketika matanya membelalak, lalu buru-buru menunduk menatap layar ponsel, meski tak membaca apapun.
"Astaghfirullah... Dia keluar begitu saja... dan aku malah—"
Ia menggigit bibir bawahnya.
"Ya Allah, bodohnya aku. Memang tak berdosa menatap tubuh suami sendiri, tapi tetap saja ini... memalukan!"
Untung saja cadar di wajahnya menyelamatkannya. Setidaknya... pipinya yang kini semerah delima tak bisa dilihat siapapun—kecuali Allah.
Sementara itu, Kian yang masih setengah basah menyeringai tipis.
"Sudah kuduga, dia pasti terpesona."
Ia nyaris tertawa puas, tapi tak jadi. Karena alih-alih gugup atau klepek-klepek, Kanya justru… kembali tenggelam dalam ponselnya.
Kian mendengus kecil.
“Hm.”
Ia melangkah menuju lemari, hendak mengambil baju, tapi matanya langsung menangkap satu set kaus dan celana pendek yang sudah terlipat rapi di atas tempat tidur.
Kian menoleh sejenak ke arah Kanya, yang duduk di tepi ranjang.
"Lumayan juga. Ternyata ada gunanya juga dijadikan istri," batinnya, setengah meremehkan.
Tanpa ragu dan tanpa minta izin, ia mulai mengenakan pakaian di depan Kanya. Sengaja. Tanpa terburu-buru. Ia ingin tahu reaksi gadis itu.
Tapi yang mengejutkan, pikirannya tak sepenuhnya pada aksi tebar pesona itu.
Saat memasukkan tangannya ke dalam kaus, Kian menarik napas perlahan. Rasa hangat dari air mandi belum mampu menenangkan pikirannya yang kembali keruh.
Friska.
Namanya melintas seperti bayangan kabur yang tiba-tiba tajam di benaknya. Ia terdiam sesaat. Perasaan bersalah menusuk perlahan.
“Bagaimana perasaannya setelah malam ini? Dia pasti sangat malu… disaksikan banyak tamu, di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya.”
Ia menggertakkan rahang. Ada sesak di dadanya. Bukan karena Kanya—tapi karena harapan yang kembali hancur, untuk kedua kalinya.
“Aku mencintainya… Friska.”
Pengakuan itu terasa pahit di dada. Dulu, saat menikahi Kanya, ia berusaha mengubur perasaan itu dalam-dalam. Ia pikir waktu akan menghapusnya. Tapi saat Kanya menghilang, semua kenangan bersama Friska kembali menguat. Hangat, manis, dan begitu nyaman.
Dan saat mereka akhirnya hendak mengikat janji, Kanya muncul—seperti badai yang menumbangkan segalanya tanpa ampun.
Ia menoleh. Kanya masih duduk di tepi ranjang, menunduk menatap layar ponsel, seolah tak peduli pada apa pun di sekelilingnya. Wajahnya tetap tersembunyi di balik cadar, tapi… ada yang berbeda.
“Dia berubah.”
Dulu Kanya adalah gadis kecil yang keras kepala dan jarang bicara. Kini… sorot matanya begitu kalem, suaranya tenang, dan gerak-geriknya penuh rahasia. Seolah bukan Kanya yang dulu dikenalnya.
Dan itu membuat Kian… bingung.
Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menunduk.
“Perjanjian setahun…” gumamnya dalam hati. “Jika dia menyerah sebelum waktu itu… jika ia memilih pergi, berarti aku bebas, bukan?”
Pikiran itu muncul begitu saja. Ia benci mengakuinya—tapi ia memikirkannya.
“Apa aku bisa kembali ke Friska? Apa dia masih mau menerimaku? Atau... harapan itu sudah terkubur bersama pesta yang batal malam ini?”
Kian mendesah pelan. Kepalanya terasa penuh.
Ia tak tahu harus menata hidup dari mana.
Karena di satu sisi, hati dan pikirannya belum selesai dengan masa lalu.
Dan di sisi lain, ada wanita asing bernama Kanya, yang kini menyandang status sebagai istrinya, duduk tak jauh darinya... membawa ketenangan yang justru membingungkan.
Begitu selesai berpakaian, ia mengambil ponsel dari nakas dan berbaring di sisi ranjang yang lain. Ragu, ia membuka aplikasi pesan.
Namun...
Suara lembut Kanya menyusul dalam hening.
“Di mana kita akan tinggal?”
Pertanyaan sederhana itu menggema seperti dentingan halus yang mengetuk ruang antara mereka—sunyi, tapi penuh makna.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁