Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musuh Menyerang Ibu Kota
Fajar yang seharusnya membawa kedamaian, justru membawa teriakan. Al Fariz terbangun dari tidur singkatnya di gubuk tua di pinggiran kota. Bukan karena sinar matahari, tapi karena gemuruh yang menggetarkan tanah.
"Suara apa itu?" gumamnya, melompat dari tempat tidur daruratnya.
Dia melesat ke luar, memandang ke arah ibu kota. Dari kejauhan, asap hitam membumbung tinggi. Suara gemuruh semakin keras - suara yang dia kenal terlalu baik. Suara mesin perang.
"Tidak mungkin..." desisnya. "Mereka menyerang sekarang?"
Tanpa pikir panjang, dia berlari. Kaki-kakinya melesat cepat, melebihi angin. Energi Inti Roh mengalir deras, membuatnya seperti bayangan yang menyusuri jalan setapak.
Sesampainya di bukit terdekat, nafasnya tertahan. Ibu kota Nurendah, yang semalam masih berdiri megah, sekarang dikepung. Puluhan kapal perang berkubah besi berlabuh di pelabuhan, mengerahkan ribuan prajurit bersenjata lengkap. Bendera Kerajaan Sandhara - elang merah di atas latar hitam - berkibar sombong di mana-mana.
"Valerius," geram Al Fariz, mengingat utusan sombong itu. "Rupanya kunjunganmu dulu bukan sekadar diplomasi."
Tapi yang lebih mengerikan adalah kekacauan di dalam kota. Gerbang utara sudah jebol. Prajurit Sandhara mengalir seperti air bah, membakar rumah, membantai siapa saja yang melawan. Teriakan penduduk menyayat hati.
"Tolong! Tolong kami!"
"Mereka bunuhi anak-anak!"
"Di mana Sultan? Di mana pasukan kita?"
Al Fariz ingin langsung terjun, tapi sesuatu menghentikannya. Di tengah kekacauan, dia melihat pola. Serangan ini terlalu terorganisir. Pasukan Sandhara tidak menyerang secara acak. Mereka bergerak dengan presisi, seolah tahu setiap titik lemah pertahanan kota.
Dan yang paling mencurigakan - tidak ada perlawanan berarti dari pasukan Nurendah.
"Pengkhianatan," bisiknya. "Ini bukan sekadar serangan. Ini konspirasi."
Dia memutuskan untuk tidak langsung menyerang. Harus tahu dulu situasi sebenarnya. Dengan menyamar sebagai pengungsi, dia menyusup ke dalam kota.
Kekacauan di dalam lebih parah dari yang dia kira. Mayat berserakan di jalan. Api membakar pasar yang semalam masih ramai. Para prajurit Sandhara dengan brutal menjarah dan membunuh.
"Ke istana!" teriak seorang prajurit Sandhara. "Raja perintahkan tangkap pangeran palsu hidup-hidup! Yang lain, habisi!"
Al Fariz terkesiap. Mengejar pangeran palsu? Jadi Sandhara tidak berencana mendukung pangeran palsu? Lalu apa tujuan sebenarnya?
Dia mengikuti sekelompok prajurit Sandhara yang bergerak menuju istana. Tapi di tengah jalan, dia melihat adegan yang membuat darahnya mendidih.
Sekelompok prajurit Sandhara mengerumuni beberapa penduduk sipil yang bersembunyi di kuil kecil. Di antara mereka, dia mengenali wanita tua yang semalam dia tolong.
"Keluar, tai tikus Nurendah!" hardik seorang prajurit. "Kalian semua akan mati!"
Wanita tua itu berdiri di depan, melindungi yang lain. "Kami tidak akan menyerah pada penjajah!"
Prajurit itu tertawa, mengangkat pedangnya. "Bodoh sekali!"
Tapi sebelum pedang itu menghunjam, sesuatu yang aneh terjadi. Pedang itu berhenti di udara, seolah membentur dinding tak terlihat.
"Siapa?!" teriak prajurit itu, bingung.
Al Fariz melangkah keluar dari bayangan. Matanya berapi-api. "Aku."
Wajah-wajah prajurit Sandhara berubah pucat. Mereka mengenali wajahnya.
"S-Sultan..." gagap salah satu.
"Kalian punya dua pilihan," suara Al Fariz dingin. "Pergi dari sini, atau mati."
Prajurit itu, meski ketakutan, mencoba bersikap berani. "Kau sendirian! Apa bisa lawan kami semua?"
Al Fariz tidak menjawab. Dia hanya menatap. Tapi dari tatapan itu, energi mematikan mengalir. Para prajurit itu berteriak kesakitan, jatuh bergelimpangan. Tidak mati, tapi tidak akan bisa bertarung lagi dalam waktu lama.
Wanita tua itu berlutut. "Baginda... terima kasih."
Al Fariz membantu dia berdiri. "Pergi ke persembunyian bawah tanah di kuil agung. Bawa sebanyak mungkin orang."
Tapi wanita tua itu menggeleng. "Tidak bisa, Baginda. Para pendeta menutup pintunya. Hanya para bangsawan yang boleh masuk."
Sekali lagi, Al Fariz merasa seperti ditampar. Bahkan dalam situasi seperti ini, masih ada yang memikirkan diri sendiri.
"Dengan cara apa pun, selamatkan diri," pintanya. "Aku harus ke istana."
Dia melanjutkan perjalanan, kini dengan amarah yang membara. Setiap kali melihat ketidakadilan, dia mengintervensi. Tapi dia tidak bisa berada di semua tempat. Kota terlalu besar, dan dia hanya seorang diri.
Di depan gerbang istana, pertempuran sengit terjadi. Pasukan setia yang dipimpin beberapa jenderal tua berusaha mempertahankan, tapi kalah jumlah. Yang membuat Al Fariz geram - dia melihat Menteri Rustam berdiri di atas tembok, berbicara dengan panglima Sandhara.
"Pengkhianat!" geramnya.
Dia bersiap melompat, tapi tiba-tiba ada tangan menariknya ke balik puing-puing.
"Jangan gegabah, Baginda."
Al Fariz berbalik, dan terkejut. Yang menahannya adalah pendekar wanita misterius yang dulu menolongnya di pasar malam. Wajahnya masih tertutup selendang, tapi matanya bersinar tajam.
"Kau?" kata Al Fariz. "Apa kau di sini?"
"Tidak waktu untuk penjelasan," jawab wanita itu. "Ini jebakan. Rustam sengaja memancingmu muncul."
"Dia bekerja dengan Sandhara?"
"Lebih rumit dari itu," wanita itu menariknya lebih dalam ke persembunyian. "Sandhara hanya alat. Ada dalang lain di balik ini semua."
Dari balik jubahnya, wanita itu mengeluarkan selembar kertas. "Aku temukan ini di kamar Rustam."
Al Fariz membacanya. Matanya membelalak. Isinya bukan rencana pengkhianatan biasa, tapi sesuatu yang lebih mengerikan. Rustam tidak berniat mendukung pangeran palsu atau Sandhara. Dia ingin menghancurkan semuanya - Nurendah, Sandhara, semuanya.
"Tapi... kenapa?" bingung Al Fariz.
"Ada kekuatan lain yang mengendalikannya," kata wanita itu. "Kekuatan yang sama dengan yang kau rasakan semalam."
Pengamat. Jadi ini berkaitan dengan kata-kata misteriusnya.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Al Fariz. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat rakyatku dibantai."
Wanita itu memandangnya dalam-dalam. "Kau harus membuat pilihan. Menyelamatkan orang-orang di sini, atau pergi ke tempat di mana segalanya bisa diakhiri."
"Apa maksudmu?"
"Dengan mencapai Inti Roh, kau bisa merasakannya, kan?" wanita itu menunjuk ke arah istana. "Sumber semua masalah ada di ruang bawah tanah istana. Tapi jika kau pergi ke sana, orang-orang di sini akan terus mati."
Al Fariz terdiam. Ini pilihan yang diinginkan Pengamat? Menyelamatkan beberapa atau menyelamatkan semua?
Dari kejauhan, teriakan semakin menjadi-jadi. Api semakin luas. Dan dia melihat sesuatu yang membuat hancur hatinya - bendera Nurendah di menara istana perlahan diturunkan, diganti bendera Sandhara.
"Baginda!" teriak seseorang dari kejauhan.
Al Fariz menoleh. Sekelompok penduduk sipil, dipimpin wanita tua tadi, berlari ke arahnya. Mereka dikepung prajurit Sandhara.
"Menyelamatkan yang di depan mata, atau mengorbankan mereka untuk kemenangan yang lebih besar?" bisik pendekar wanita. "Pilihan ada di tanganmu."
Al Fariz menatap wajah-wajat ketakutan rakyatnya. Lalu menatap istana, di mana sumber kehancuran bersembunyi. Dadanya sesak. Ini pilihan yang tidak mungkin.
Tapi tiba-tiba, dia tersenyum. Senyum getir penuh keyakinan.
"Kenapa harus memilih?" katanya. "Aku akan melakukan keduanya."
Dia berdiri, energi Inti Roh berkumpul di sekelilingnya. Cahaya keemasan memancar dari seluruh tubuhnya.
"Tapi Baginda..." protes pendekar wanita.
"Dengarkan," potong Al Fariz. "Kau pimpin evakuasi warga. Aku akan ke istana."
"Tapi kau tidak bisa berada di dua tempat sekaligus!"
Al Fariz mengangkat tangan, dan sesuatu yang ajaib terjadi. Dari tubuhnya, bayangan cahaya terpisah. Satu, dua, tiga... sampai lima sosok cahaya yang mirip dengannya.
"Kekuatan Inti Roh," ujarnya. "Aku bisa membagi kesadaranku."
Sosok-sosok cahaya itu melesat ke berbagai penjuru kota, membantu warga yang terkepung. Sementara tubuh aslinya menatap istana.
"Tapi ini berisiko!" peringatkan pendekar wanita. "Jika salah satu bayanganmu hancur, jiwamu akan terluka!"
"Lebih baik jiwaku terluka daripada melihat rakyatku mati," jawab Al Fariz. "Sekarang, tolong bantu mereka."
Dia tidak menunggu jawaban. Langkahnya mantap menuju istana. Setiap langkahnya, tanah bergetar. Energi yang dia kumpulkan begitu besar sampai prajurit Sandhara di sekitarnya terjatuh ketakutan.
Rustam, dari atas tembok, melihat kedatangannya. Wajahnya tidak menunjukkan ketakutan, justru senyum kemenangan.
"Akhirnya kau datang, Fariz," bisiknya. "Persis seperti yang direncanakan."
Dari balik jubahnya, segel ungu gelap berpendar. Energi yang sama dengan energi Pengamat.
Al Fariz berhenti di depan gerbang istana yang hancur. Matanya menatap Rustam.
"Permainanmu berakhir, pengkhianat."
Rustam tertawa. "Justru baru dimulai, Sultan bodoh. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi."
Di ruang bawah tanah istana, sesuatu yang gelap mulai bangun. Sesuatu yang tua, yang lapar. Dan itu menunggu kedatangan Al Fariz.
Pertempuran untuk ibu kota mungkin baru permulaan, tapi pertempuran untuk jiwa Al Fariz baru saja mencapai titik kritis. Dan di suatu tempat yang sangat jauh, Pengamat tersenyum, mengamati semuanya dengan penuh kepuasan.