Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Hati yang Merindu
Sebelum Hendra benar-benar memastikan siapa gadis yang berdiri di sudut lift itu, seorang pengawal segera mendorong kursi rodanya keluar. Tatapannya hanya sempat menyapu sekilas, namun cukup membuat Talita membeku di tempat. Begitu rombongan keluar dan pintu lift menutup, ia buru-buru menekan tombol lantai dasar. Nafasnya tercekat, dadanya sesak, seperti ada ribuan jarum yang menancap di jantung. Ia selamat… tapi juga tidak. Karena sekilas tatapan itu kembali membangunkan kerinduan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Di sampingnya, El Mariachi menatap lekat. Jurnalis itu bisa membaca sesuatu dari sorot mata Talita yang mendadak berkaca-kaca. “Kau… barusan…” gumamnya, mencoba memancing.
Talita cepat memotong. “Diam. Ini urusan pribadiku. Lakukan saja bagianmu. Ingat dua miliar itu.”
El Mariachi mengangguk, meski dalam hatinya gelisah. Talita, di rumah Angkasa dan tidak menyapa ayahnya.
Seolah ada lapisan hidup yang jauh lebih besar, lebih berbahaya, dan lebih mahal dari sekadar Talita yang ia kenal selama ini.
^^^^
Sementara itu, di ruang rapat lantai dua puluh satu, suasana jauh berbeda. Meja panjang berlapis kayu elegan, layar proyektor menampilkan presentasi produk baru Diamond Corp. Hendra Wiguna Baskara duduk di kursi roda di ujung meja, dikelilingi para ajudan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, aura kepemimpinannya tetap kuat.
Angkasa duduk di seberang, tidak kalah berwibawa dengan tatapan tegas. Kerja sama dengan Diamond Corp adalah emas murni. Skincare baru dengan formula anti-aging berbasis teknologi mikro, pure retinol, hingga retinal, produk yang akan mengguncang pasar dunia. Dan ia, Angkasa, adalah pintu utama distribusinya lewat platform digital. Ia tahu betul, satu kontrak ini bisa melambungkan perusahaannya lebih tinggi lagi.
Diskusi berjalan intens, angka-angka keuntungan dipaparkan. Semua terkesan profesional sampai seorang supervisor mencoba mencairkan suasana.
“Saya dengar, Pak Hendra punya putri cantik, kuliah kedokteran di Harvard?” tanyanya dengan senyum kaku.
Ruangan langsung dingin. Hendra mengangguk singkat. “Iya.” Tak ada elaborasi, tak ada cerita tambahan. Ia langsung menutup laptopnya, memberi sinyal rapat selesai.
Angkasa menahan amarah, meski dalam hati ia ingin menendang supervisornya keluar dari jendela. Betapa tololnya orang itu. Tidak tahukah ia bahwa keluarga Diamond Corp adalah keluarga eksklusif? Tak ada satu pun jurnalis di dunia ini yang berani menyentuh privasi mereka, apalagi menyinggung soal anak. Dalam dunia bisnis raksasa, informasi keluarga adalah kelemahan mematikan, cukup sekali bocor, musuh akan mengubahnya jadi senjata untuk menculik, melukai, bahkan membunuh. Angkasa paham benar hal itu. Ia tahu karena dirinya sendiri, sebagai keluarga Zibrano, tak kalah eksklusif dari Diamond Corp. Bedanya, keluarganya tidak dilindungi oleh pagar ketakutan, melainkan terus diintai jurnalis gila bernama El Mariachi. Entah apa yang mendorong jurnalis itu, obsesi, dendam, atau sekadar kerakusan. Jurnalis itu menjadikan keluarganya santapan murahan di web gosip. Kadang Angkasa geli, kadang muak. Beruntung Diamond Corp tidak pernah bersinggungan dengan sampah media macam El Mariachi~~~~.
Sebelum rapat itu benar-benar bubar, Hendra tiba-tiba menoleh. Sorot matanya tajam, namun ada sedikit keraguan di sana. “Apa di sini ada karyawan bernama Talita?”
Angkasa dan Ragiel saling pandang. Sebuah nama yang jarang sekali disebut mendadak muncul di ruangan ini. Ragiel yang menjawab, dengan suara datar, “Ada, Pak. Dia bagian akuntansi pajak.”
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Hendra termenung, wajahnya sulit dibaca. Dalam hatinya, wajah gadis di lift tadi kembali muncul, wajah gadis yang tertutup topi dan kaca mata hitam, sejenak ia merasa seperti Talita. Namun ia menepis pikiran itu. Mana mungkin. Putrinya tidak mungkin bekerja di bidang akuntansi. Talitanya membenci angka, ia tahu persis itu.
Rapat selesai. Hendra keluar dengan rombongannya. Tapi hati kecilnya tetap gelisah. Ia sudah menyewa detektif swasta dan polisi khusus untuk mencari Talita, tapi hasilnya nihil. Kerinduan semakin dalam, ketakutan semakin besar. Bagaimana jika Talita terluka? Bagaimana jika putrinya tak lagi ingin pulang?
^^^^^
Di kamarnya yang sunyi di mansion, Talita duduk di tepi ranjang, cahaya dari jendela menyinari wajahnya yang sembab. Tangisnya pecah lagi. Sejak keluar dari lift, rasa lega bercampur pilu tak juga mereda. Papa… ia masih hidup, ia sehat, ia kembali ke kursi CEO. Tuhan memberinya kesempatan kedua. Namun dirinya? Dirinya hanyalah bayangan yang tersembunyi di sudut ruangan, anak yang seharusnya duduk di samping sang ayah, kini justru bersembunyi dengan topi lusuh menutupi wajah.
Talita menunduk, menekan wajah dengan telapak tangan. Air mata tak berhenti. Rasa bersalah yang menahun mencengkeram kuat. Ia teringat malam kelam itu, malam yang mengubah segalanya. Satu kesalahan fatal, satu noda yang membuat Papa jatuh sakit hingga stroke. Dalam benak Talita, semua itu salahnya. Ia merasa dirinya bukan anak yang membanggakan, melainkan aib keluarga.
Kenangan masa kecil menyusup. Saat Papa menggenggam tangannya di panggung lomba, saat Papa menepuk bahunya dengan bangga setiap ia mendapat nilai terbaik. Dulu ia percaya bisa membuat Papa tersenyum dengan prestasinya. Tapi kenyataan berkata lain, justru ia yang membuat Papa terpuruk.
“Kalau saja aku bisa kembali ke masa lalu…” bisiknya lirih. Hatinya hancur. Ia ingin pulang. Ingin merasakan kembali kehangatan rumah, suara Papa yang menasehati dengan lembut, bahkan teguran kerasnya pun kini terasa menenangkan. Tapi rasa takut dan rasa bersalah lebih besar dari kerinduannya. Pulang terasa mustahil.
^^^^^
Talita terisak dalam diam, merasa dirinya tak pantas pulang. Di sisi lain, Hendra menatap keluar jendela mobil mewahnya, dihantui rasa kehilangan. Dua hati yang sama-sama merindukan, sama-sama mencintai, namun dipisahkan oleh kesalahpahaman, gengsi, dan rasa bersalah. Seperti dua bintang di langit, berpendar terang tapi terjebak dalam orbit masing-masing, tak pernah bisa bersatu.
makasih sudah mampir