PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Panglima Garangan yang sudah tidak berdaya itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Dia meregang nyawa setelah tubuhnya terpotong menjadi dua.
Setelah memastikan Bhirawa sudah mati, Mahesa mendekati Manarah untuk memeriksa denyut nadinya, "Untunglah dia hanya pingsan saja," ucapnya dalam hati. Dia segera mengalirkan tenaga dalamnya untuk membantu Manarah agar bisa segera siuman.
Raja Dharmacakra yang melihat dari jauh salah satu panglimanya mati dengan tubuh terpotong menjadi dua, segera melesat mendekati Manarah dan Mahesa.
"Kau sudah membunuh panglima perangku. Kau harus menerima ganjarannya!" bentaknya
Mahesa menolehkan kepalanya melihat ke arah Raja Dharmacakra yang menatap tajam padanya. Sesaat kemudian pemuda itu berdiri dengan senyum tipis di bibirnya.
"Akhirnya raja kota Wentira yang perkasa turun tangan juga," cibir Mahesa. Matanya melirik sedikit ke arah tubuh Manarah yang terlihat bergerak. Dari mahkota yang digunakan sosok di depannya, Mahesa mengetahui jika lawannya kali ini pastilah penguasa kota Wentira.
"Jaga bicaramu Pemuda tengik! Aku pastikan kau akan mati hari ini!"
"Kapanpun aku siap mati. Dan mati adalah suatu kewajiban bagi makhluk yang bernapas. Tapi yang menentukan kematianku bukan kau, Dewata-lah yang berhak menentukan aku hidup atau mati hari ini!"
"Bangsat!" dengus Raja Dharmacakra.
Dalam satu kedipan mata saja, dia sudah berada di depan Mahesa dan melakukan serangan. Mahesa dibuat terkejut setengah mati. Karena tidak siap untuk menghindar, dia hanya menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya untuk menahan serangan Raja Dharmacakra.Tubuh Mahesa terdorong mundur jauh ke belakang.
Meski tidak sampai terjatuh, tapi dia bisa merasakan jika kekuatan raja kota Wentira itu paling tidak minimal dua kali lipat dari pada dirinya.
Rasa nyeri langsung menjalar di tulang tangannya akibat benturan tadi, "Edan ...! kecepatan dan kekuatannya jauh di atasku," umpat Mahesa dalam hati.
Raja Dharmacakra tersenyum sinis memandang Mahesa yang sedang menggosok kedua tangannya untuk meredakan rasa nyeri.
"Kemampuanmu ternyata tidak sebanding dengan mulut besarmu Bedebah!"
"Setidaknya kemampuanmu tidak lebih tinggi dari pemuda yang kemarin sudah masuk ke istanamu!" cibir Mahesa.
"Oh, pemuda sialan itu. Di mana dia sekarang? gilirannya mati akan menunggu setelah aku membunuhmu terlebih dahulu!"
Seusai berucap, tiba-tiba saja Raja Dharmacakra kembali sudah berada di depan Mahesa. Dengan begitu cepat dia melepaskan pukulan nya ke tubuh pemuda itu.
Meski sudah mengantisipasi serangan itu dengan mengerahkan tenaga dalam untuk menahannya, Mahesa kembali dibuat terdorong ke belakang, bahkan lebih jauh lagi.
"Pertarungan ini tidak menarik sama sekali. Baru dua kali pukulan kau sudah terlempar jauh. Bagaimana mungkin kau bisa melawanku!?"
Wajah Mahesa berubah menjadi pucat seperti kapas. Dia memang tahu kalau sudah jauh secara kekuatan. Tapi yang membuatnya tidak percaya, tenaga dalam yang sudah dikeluarkan secara penuh, ternyata bahkan tidak bisa menahan sedikitpun pukulan tersebut.
Dia kemudian menoleh ke arah Ranu yang sedang bertarung sengit melawan Panca.
"Kenapa, apa kau mau meminta bantuan temanmu itu?"Raja Dharmacakra tersenyum mengejek.
"Tampaknya nasibku harus berakhir hari ini," kata Mahesa dalam hati. Namun dia tidak mau mati dengan begitu mudah.
Setelah mengambil napas dalam, pemuda itu melesatkan Jurus Badai Es Selatan untuk menyerang Raja Dharmacakra.
Tapi yang terjadi membuat Mahesa semakin tidak bisa tenang, Raja Dharmacakra hanya diam di tempatnya sambil mengibaskan tangannya. Puluhan pisau es yang dikeluarkan Mahesa melesat ke samping tubuh raja kota Wentira tersebut.
"Hahaha ... jurus mainan seperti itu kau gunakan untuk melawanku?"
Mahesa tidak mengindahkan ejekan Raja Dharmacakra.
Kali ini dia kembali menyerang lawannya itu dengan Pedang Penebas Embun. Namun kembali Raja Dharmacakra bisa mematahkan serangannya dengan begitu mudah.
"Sialan, sebesar apa kekuatan orang itu?" umpat Mahesa dalam hati.
Karena menyerang dari jarak jauh tidak efektif, Mahesa mencoba menyerang dari jarak dekat. Dia melesat dengan kecepatan tertingginya sambil melepaskan Pukulan Naga Terbang.
Nampaknya Raja Dharmacakra ingin membuat pemuda itu ketakutan sebelum mati. Dengan santai dia menahan setiap serangan yang mengincar tubuhnya.
Dalam satu kesempatan, Mahesa yang jelas-jelas kalah dalam segala hal, dibuat terpental jauh ke belakang setelah pukulan Raja Dharmacakra mendarat telak di tubuhnya.
Pemuda itu merasakan tubuhnya terasa seperti remuk akibat pukulan itu. Meski masih bisa bangkit kembali, tapi tiba-tiba saja sebuah pukulan kembali mendarat di perutnya dan membuatnya melayang jauh ke belakang.
Mahesa yang langsung dibuat pingsan akibat pukulan kedua itu tidak sadar jika sudah diselamatkan Raja Condrokolo. Penguasa kerajaan Jin Kalingga itu bergerak cepat menyambar tubuhnya yang dalam keadaan melayang pingsan.
"Pilihlah lawan yang setara denganmu!" desis Raja Condrokolo yang tiba-tiba saja sudah 5 langkah di depan Raja Dharmacakra setelah meletakkan tubuh Mahesa.
"Hahaha ... Kesempatan tidak akan datang dua kali, Condrokolo. Padahal aku berniat menyerang kerajaanmu, Tapi ternyata kau datang sendiri menyerahkan kekuasanmu kepadaku, hahaha!" Raja Dharmacakra tertawa pongah.
"Kau yakin bisa melawanku?" tanya Raja Condrokolo dingin.
"Kau ... kau boleh saja yakin dengan kemampuanmu, Condrokolo! Tapi bagiku, kau hanya semut yang bisa kuinjak dengan mudah! Bahkan para Dewa pun kulawan, apalagi makhluk rendahan seperti kamu!"Selesai berucap, Raja Dharmacakra tiba-tiba terpental jauh ke belakang. Sebuah pukulan yang dilepaskan Raja Condrokolo di saat dia lengah menghujam keras di dadanya.Raja Dharmacakra mengumpat keras tidak karuan.
"Bajingan pengecut! Bisa-bisanya kau menyerang di saat aku lengah!"
Raja Kolocokro tersenyum tipis namun dengan ekspresi dingin, "Apa aku harus lapor dulu sebelum menyerangmu wahai manusia yang dikutuk para dewa?"
"Bedebah! Kubunuh kau!"Pertarungan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang terjadi dengan begitu sengit. Hanya pendekar tanpa tanding tahap menengah ke atas saja yang bisa menyaksikan pertarungan tersebut.
Ledakan energi yang sangat besar berulang kali terdengar menggelegar. Ratusan prajurit bahkan dibuat mati seketika akibat tidak kuat menahan tekanan yang menghempaskan mereka.
Debu bercampur asap akibat ledakan demi ledakan yang terjadi, membumbung tinggi seperti sedang terjadi kebakaran hebat.
Seolah terjadi kesepakatan di antara mereka, pertarungan mereka berdua berlangsung di angkasa.
Raja Wentira yang juga bisa melayang mengikuti arah Raja Condrokolo menjauhi pertempuran di bawah.
Pertempuran di bawah bahkan sempat terhenti beberapa saat. Mereka mendongak ke atas untuk melihat yang terjadi karena ledakan demi ledakan keras terus terdengar.
Sementara itu, Ranu yang sedang menghadapi Panca juga sempat melihat ke atas. Sejenak dia tertegun karena bisa melihat bagaimana kecepatan kedua raja yang sedang bertarung tersebut.
Keadaan lawan yang lengah dimanfaatkan Panca untuk menyerang Ranu dengan kecepatan tinggi. Beruntung Geni mengingatkan Ranu sehingga pemuda itu tidak mengalami nasib buruk.
Panglima perang tertinggi kota Wentira itu benar-benar membuat pemuda tersebut kerepotan dengan serangannya yang seolah tanpa jeda. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilepaskan Panca ke arah Ranu.
"Gerakannya sangat cepat sekali!"Ranu menggunakan Langkah Angin untuk meladeni gerakan Panca yang di luar dugaannya. Namun panglima perang tertinggi kota Wentira itu masih terlihat lebih unggul sedikit kecepatannya.