NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31

Caleb yang masih bicara dengan sopan di depan Lyeria, refleks mundur satu langkah saat melihat pria itu mendekat seperti badai.

Lyeria memalingkan wajah. Terlambat.

Dalam satu gerakan mulus, Ferlay meraih pinggang gadis itu dan langsung mengangkatnya ke atas bahu.

Mudah. Seolah tubuh Lyeria tidak seberat apa pun.

“FERLAY!” seru Velicia, berdiri.

Beberapa bangsawan juga berdiri dari kursi mereka, bingung, syok, takut.

Tapi Ferlay tidak peduli. Tidak ada yang penting.

Kecuali Lyeria.

Lyeria meronta di atas pundaknya, memukul punggung Ferlay, menendang, memohon.

“Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku! Ini memalukan!! Ferlay!!”

Ferlay berhenti sejenak.

Di hadapannya, Putri Nata berdiri. Mata indahnya membelalak tidak percaya. Gaunnya bergetar pelan karena emosi.

Wajah Ferlay dingin. Tegas.

Suara yang keluar nyaris seperti cambuk.

“Aku batalkan pertunangan ini.”

“Utusan keluarga Darmount akan ke rumahmu besok.”

Seketika aula menjadi sunyi.

Putri Nata tidak bisa bicara. Matanya berkaca-kaca. Tapi Ferlay sudah berjalan melewatinya. Melewati Caleb. Melewati semua mata yang menatap tanpa percaya.

Raja Garduete sendiri datang menyusul dari balkon atas. Tapi dia tidak memanggil. Tidak menghentikan.

Karena dia tahu, tidak ada satu suara pun yang bisa menghentikan Ferlay…

…ketika dia sudah ‘mengambil’ apa yang dia anggap miliknya.

Malam itu, pesta perjodohan menjadi malam pengumuman takhta.

Bahwa tak ada satu pun pria di dunia ini—entah bangsawan, pangeran, bahkan raja—

yang bisa menyentuh Lyeria… selain Ferlay.

...****************...

“Ferlay, turunkan aku… Ferlay…!”

Teriakan Lyeria memecah malam, tapi tak ada satu pun yang berani menghentikan pria yang membawanya seperti barang curian.

Langkah Ferlay cepat, tajam, penuh kemarahan yang nyaris tak bisa dikendalikan.

Menuju istana mereka. Istana yang selama ini menjadi tempat persembunyian—tempat ia menyembunyikan Lyeria dari dunia.

Pintu dibuka oleh para penjaga yang terlatih tidak bertanya.

Dan langsung ditutup begitu Ferlay melangkah masuk.

Lalu—

BRAK.

Tubuh Lyeria mendarat di atas kasur dengan benturan keras. Gaunnya berantakan. Napasnya tercekat.

Dia segera bangkit, menatap Ferlay dengan marah.

Matanya memerah. Rambutnya berantakan.

Tapi suaranya masih bergetar—antara takut, marah, dan tak percaya.

“Apa kau gila?! Apa yang kau lakukan di pesta tadi?! Kau mempermalukanku di depan semua orang!”

Ferlay berdiri di depan pintu, menutupnya perlahan. Tidak menjawab.

Bahunya naik-turun. Rahangnya mengeras.

Tatapannya seperti luka terbuka yang sudah membusuk—bau, panas, dan siap membunuh siapa pun yang menyentuhnya.

“Kenapa kau bawa aku ke sini?!” Lyeria terus bicara, air mata mulai menetes. “Aku bukan milikmu, Ferlay!”

“Bukan?” suara Ferlay akhirnya keluar, rendah, dingin.

Langkahnya pelan, mendekat ke arah ranjang.

“Lalu kenapa kau tinggal di istana ini? Kenapa kau biarkan aku membesarkanmu, menyentuhmu, menciummu setiap malam, kalau kau bukan milikku?”

Lyeria mundur. Ketakutan. Tapi juga muak.

Air matanya mengalir deras.

“Karena aku tidak punya tempat lain! Karena kau menyembunyikanku dari dunia! Karena kau… karena aku bodoh cukup untuk percaya… bahwa kau melindungiku!”

Ferlay merunduk. Tangannya mencengkeram ujung ranjang.

Suaranya berubah lirih… namun justru lebih mengerikan.

“Kau tidak tahu rasanya melihat pria lain menyentuhmu… melihatmu tersenyum pada mereka… menerima lamaran yang bahkan tak pernah kubiarkan sampai ke tanganmu…”

Matanya terangkat menatap Lyeria.

“Aku ingin membunuh mereka. Masing-masing dari mereka. Termasuk Leon.”

Lyeria membeku.

“Karena kau satu-satunya hal di dunia ini… yang masih membuatku waras. Tapi juga… satu-satunya yang bisa membuatku gila.”

“Ferlay… Aku adikmu.”

Suara itu gemetar.

Lirih.

Seperti permohonan terakhir dari seorang gadis yang masih mencoba mencari sisa-sisa logika di balik semua kegilaan ini.

Ferlay menatapnya. Tajam. Dalam.

Tapi tidak ada lagi kelembutan di matanya.

Ia mendekat, perlahan.

Hingga hanya ada jarak satu napas di antara mereka.

Tangannya mengangkat dagu Lyeria paksa—menyuruh gadis itu menatap ke matanya.

“Dulu… Aku kakakmu.”

Suaranya rendah. Pelan. Tapi setiap kata jatuh seperti pukulan palu.

“Tapi sekarang… lihat aku sebagai pemilikmu.”

Jantung Lyeria seperti berhenti berdetak.

Matanya membelalak. Tubuhnya membeku.

“Kau milikku, Lyeria. Kau sudah lama menjadi milikku. Bahkan sebelum kau tahu caranya mencintai seorang pria. Sebelum kau tahu cara membenci.”

Ferlay mendekat lebih jauh.

“Kau bisa lari ke mana pun. Tapi setiap jalanmu akan kembali ke arahku.”

“Karena satu-satunya tempat yang akan menerimamu apa adanya… adalah aku.”

“Ferlay—”

“Cukup.”

Satu kata itu memotong napas Lyeria.

Ferlay meletakkan keningnya di kening gadis itu. Matanya terpejam.

“Kau bisa membenci aku. Tapi jangan pernah lagi memanggilku kakak…”

“Karena kalau kau lakukan itu… aku mungkin akan mencium bibirmu hanya untuk menghancurkan semua kenanganmu tentang keluarga.”

“Kau tidak bisa seperti ini. Bagaimanapun juga kita dibesarkan di atap yang sama. Kau… Kau bahkan yang merawatku—”

“Mmmpphh—!”

Ferlay memotongnya.

Brutal.

Tanpa ampun.

Ciuman yang bukan sekadar sentuhan bibir… tapi sebuah pernyataan. Penguasaan. Penegasan.

Kedua tangan Lyeria ditekan ke atas, terperangkap dalam genggaman kuat pria itu.

Ia meronta, tapi tak bisa bergerak. Berat tubuh Ferlay menahannya. Mengunci.

Udara terasa sesak. Bukan hanya karena ciuman itu… tapi karena kesadaran akan siapa pria itu baginya.

Seseorang yang dulu melindunginya… sekarang menjadi seseorang yang harus ia lindungi diri darinya.

Tapi yang lebih menakutkan—

Adalah bagian dari dirinya sendiri yang tidak lagi yakin apakah ia membenci ciuman itu… atau kenyataan bahwa hatinya tidak sepenuhnya menolak.

Ferlay melepaskan bibirnya perlahan.

Menatap Lyeria dari jarak sangat dekat.

Wajahnya merah, napasnya cepat, dan matanya… penuh bara.

“Aku yang merawatmu.”

“Aku yang tidur di depan pintumu tiap kau sakit.”

“Aku yang menggendongmu ke rumah sakit saat kau berdarah karena pingsan.”

“Aku yang menungguimu bangun. Aku yang pertama kali kau panggil saat ketakutan…”

“Jadi jangan bicara soal ‘kita dibesarkan bersama’ seolah kau sedang menegur saudara kandungmu.”

“Aku bukan itu.”

“Aku tidak akan pernah jadi itu.”

Lyeria menoleh, berusaha memalingkan wajah.

Tapi Ferlay menangkap dagunya lagi—lebih lembut kali ini.

Ia menatapnya… dalam. Dan untuk sesaat, ada luka lama di matanya. Luka yang belum pernah Lyeria lihat.

“Aku tidak ingin menjadi saudaramu, Lyeria.”

“Aku ingin menjadi satu-satunya yang kau lihat…”

“Yang kau cintai… bahkan kalau itu artinya aku harus kau benci dulu.”

“Kakak…”

Suara Lyeria nyaris seperti bisikan.

Tertahan di tenggorokan yang tercekat antara takut, bingung, dan masih ingin percaya bahwa pria di hadapannya—Ferlay—masih bisa disadarkan.

Tapi Ferlay hanya menatapnya.

Dingin. Tegas. Tak ada ruang untuk sanggahan dalam tatapannya.

“Saudara tidak akan melakukan apa yang aku lakukan padamu, Lyeria.”

“Aku bukan kakakmu.”

Tangan Ferlay masih menahan Lyeria. Tapi bukan lagi demi menundukkannya secara fisik.

Melainkan agar gadis itu tidak bisa berpaling dari kebenaran yang selama ini coba ia tolak.

“Kau terus memanggilku ‘kakak’ karena itu lebih aman.”

“Karena kau takut kalau kau mengakuinya—tentang kita—semua ini tidak akan bisa kembali seperti semula.”

“Dan kau benar… tidak akan.”

Lyeria menggigit bibir bawahnya. Napasnya berat.

Matanya mulai berkaca. Tapi bukan karena takut. Bukan hanya karena bingung.

Melainkan karena bagian dari dirinya sendiri—yang menyadari bahwa Ferlay… tidak salah.

Ia sudah lama tahu bahwa kasih sayang Ferlay padanya bukanlah kasih seorang kakak.

Dan bahwa rasa aman yang ia rasakan di dekatnya… sudah lama tercampur dengan rasa lain.

Ferlay menunduk sedikit.

Suaranya lebih rendah sekarang. Tapi lebih berbahaya, seperti bara api yang siap membakar seluruh dunia:

“Aku bukan kakakmu.”

“Aku adalah pria yang akan menghancurkan siapa pun yang menyentuhmu… bahkan dirimu sendiri.”

Ferlay melesakkan wajahnya, nyaris tenggelam di sisi leher Lyeria. Ia mencium gadis itu dengan keras kepala, seperti sedang berusaha menandai wilayahnya, menenggelamkan emosi yang selama ini ia tekan.

“Ferlay…Kakak…” Lyeria menggeliat, mencoba mendorongnya, memohon lirih agar Ferlay berhenti. Tapi permintaannya tak digubris.

Wajahnya, lehernya, hingga ke pelipis—semua disentuh paksa oleh emosi pria itu.

Lyeria berusaha melawan tapi kedua tangannya dicekal kuat. Rontaannya tidak berarti dengan beban tubuh Ferlay diatasnya.

Berkali-kali Ferlay menggigit dan menghisap kulit Lyeria. Menarik paksa pakaiannya hingga menunjukan dadanya. Sentuhan Ferlay bukan lagi sentuhan keluarga. Tapi sentuhan seorang pria.

Dia meremas buah dada lyeria bergantian. Mencium bibir Lyeria. Memaksakan lidahnya masuk ke sela-sela gigi gadis itu.

“Aku sudah mengajarimu berciuman kemarin, Kau tampaknya belum menyerap dengan baik”

“Tidak…Ferlay…Mmmpppp”

Air liur Mereka menetes. Ferlay menarik pakaian dalam yang menutupi kedua dada Lyeria keatas. Dan tanpa keraguan menggosokan wajahnya di sana. Mencium aromanya dengan rasa lapar. Sementara pemiliknya semakin ketakutan.

Tanpa keraguan, Ferlay menghisap puncaknya bergantian. Mempermainkan keduanya. Lyeria mengerang. Dia tidak tahu sensasi apa yang muncul.

Takut, kecewa dan sesuatu yang lain bercampur dalam dirinya. Yang belum pernah dirasakannya sebelum ini.

“Kak…berhenti…jangan Ferlay…Aku mohon”

Tapi Ferlay tentu saja tidak mau berhenti.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!