kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 12- antara deg-degan, soal ujian, dan soal hati
Pagi itu, halaman SMA Harapan Bangsa ramai luar biasa. Udara masih segar, tapi tegangnya suasana udah kayak medan perang. Hari pertama ujian kenaikan kelas, bro. Semua anak datang dengan wajah pucat, kantong mata tebal, dan doa-doa yang belum tentu dikabulkan.
Di antara kerumunan itu, muncul Kinan dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda tinggi. Seragamnya sederhana, tapi rapi; kemeja putihnya sedikit dilapisi sweater rajut warna sage green yang lembut. Wajahnya tanpa makeup, tapi entah kenapa malah kelihatan makin manis.
“Kin, kamu yakin gak mau sarapan dulu?” tanya Maya, yang baru datang sambil bawa roti isi.
“Udah telat, May. Aku aja masih hafalin anatomi mata manusia.”
Maya mendengus. “Anatomi mata? Yang harusnya kamu hafalin itu rumus Fisika, bukan mata Danu.”
Kinan langsung nyeletuk cepat, “Dua-duanya sama penting, May. Satu buat nilai, satu buat motivasi hidup.”
Mereka berdua ngakak bareng sampai guru piket nengok. Tapi Kinan cuek. Dalam hati, dia cuma berharap hari ini gak jadi hari sial—soalnya semalam aja dia cuma tidur tiga jam gara-gara belajar… dan sedikit mikirin chat-nya Danu yang muncul jam setengah dua belas malam:
> “Belum tidur? Jangan maksain ya. Aku tahu kamu pengen nilai bagus, tapi jangan sampe tumbang.”
Dan tentu aja, Kinan cuma bales “Hehe iya kok 😅” padahal jantungnya udah marathon.
---
Begitu sampai di kelas, suasananya makin chaos. Ada yang masih fotokopi catatan, ada yang panik karena penghapus hilang, dan ada juga yang sibuk pura-pura belajar padahal baca komik.
Danu duduk di bangku belakang, bersandar santai tapi kelihatan fokus. Seragamnya rapi, rambut sedikit berantakan habis lari pagi. Cowok itu kayak magnet — tiap dia lewat, setengah isi kelas kayak otomatis memperbaiki posisi duduk.
“Pagi, Kin,” sapa Danu lembut waktu Kinan lewat di depan mejanya.
“Pagi, Dokter Masa Depan.”
“Pagi, Kapten Masa Kini,” jawab Kinan dengan senyum kecil.
Danu terkekeh pelan, suaranya rendah tapi hangat. “Kamu belajar semalam?”
“Belajar sih, tapi kayaknya yang masuk cuma lima persen.”
“Lima persen aja bisa nyelametin satu hati kok.”
Kinan melotot, pura-pura gak paham. “Hati siapa, emangnya?”
“Hati siapa ya?” balas Danu santai sambil menatapnya sebentar.
Duh, kenapa tatapan cowok ini bisa bikin oksigen di sekitar Kinan menipis 😭
---
Bel berbunyi, tanda ujian dimulai. Guru pengawas masuk dengan wajah serius banget. Semua langsung tenang, kecuali jantung Kinan yang entah kenapa makin berisik.
“Baik anak-anak, ujian Biologi. Waktu kalian dua jam. Dilarang mencontek, menyontek, ataupun menatap harapan orang lain,” kata bu pengawas ketus.
Kinan nyeletuk pelan ke Maya, “Kalimat terakhir tuh sindiran buat aku apa gimana?”
Maya nahan ketawa. “Kayaknya buat kamu, soalnya tatapan kamu ke Danu udah kayak mikroskop.”
Kinan pura-pura serius nulis nama di lembar jawab, tapi sesekali nyolong pandang ke arah belakang. Danu tampak tenang, nulis cepat, jarinya lincah di atas kertas. Gaya duduknya aja udah kayak model buku tahunan.
Di sisi lain, Rafi — si ketua OSIS — duduk tak jauh dari Kinan. Cowok tinggi berkulit sawo matang itu sibuk mencatat, tapi sesekali nyengir waktu Kinan garuk-garuk kepala.
“Eh Kin, soal nomor tiga kamu dapet jawabannya?” bisiknya pelan.
“Enggak, aku malah dapet kesadaran baru kalau aku gak cocok jadi dokter,” balas Kinan lirih.
Rafi senyum, matanya hangat. “Kalau kamu nyerah aja belum, berarti kamu masih cocok.”
“Wah, motivasi pagi dari ketua OSIS. Mantap.”
Dan di detik itu juga, Maya nyeletuk dari belakang, “Kin, fokus ujian, bukan flirting, plis.”
---
Dua jam kemudian, ujian selesai. Semua langsung heboh keluar kelas, ada yang lega, ada yang pengen nangis.
Kinan menguap lebar, rambut kuncir kudanya sedikit berantakan. “Aku butuh es teh manis dan pelukan spiritual.”
Maya ngikik. “Pelukan spiritual dari siapa, nih?”
“Dari dompet kantin,” jawab Kinan cepat.
Mereka jalan ke kantin, tapi sebelum sampai, Rafi tiba-tiba muncul di belakang.
“Kin, bareng ke kantin yuk. Aku traktir deh, biar semangat lagi buat ujian berikutnya.”
Kinan nyengir. “Wah, tawaran menggiurkan. Tapi aku takut Danu ngira aku disuap.”
Rafi ngakak. “Biarin aja. Toh aku beneran niat, bukan modus.”
Dan tepat saat itu, Danu lewat, ngeliat mereka. Sekilas aja, tapi cukup buat hawa di sekitarnya jadi beda.
Kinan refleks canggung. “Eh, Dan… mau bareng ke kantin gak?”
Danu cuma senyum tipis. “Kalian aja dulu. Aku nyusul.”
Suasana langsung hening beberapa detik. Maya ngelirik Kinan, “Nah lo, ini udah mulai panas, Kin.”
Kinan ngebuang pandang. “Ah, biasa aja kali. Cuma ujian… dan kebetulan hati juga ikut diuji.”
---
Siang harinya, setelah istirahat, gosip mulai beredar di lorong. Nadia — si cewek yang terkenal cantik dan sedikit sombong — keliatan ngobrol sama gengnya sambil sesekali ngelirik ke arah Kinan.
“Aku heran deh,” kata Nadia agak keras, “ada aja cewek yang baru deket dikit sama cowok, langsung dikira spesial.”
Temannya nyengir. “Kamu ngomongin siapa, Nad?”
“Ya gak usah disebut. Tapi keliatan banget kok siapa yang sok deket sama Danu dan Rafi sekaligus.”
Kinan yang baru lewat bareng Maya otomatis berhenti. Suasana di koridor langsung senyap.
Maya bisik pelan, “Kin, sabar, abaikan aja.”
Tapi Kinan yang biasanya santai, kali ini senyum tipis. “Enggak kok, May. Aku cuma pengen tanya—emangnya salah deket sama temen sekelas?”
Nadia nyengir sinis. “Kalau temen sih enggak. Tapi kalau deketin dua cowok sekaligus? Gak malu?”
Kinan melipat tangan di dada, masih dengan nada kalem. “Kalau deketin cowoknya kamu maksud ‘ngobrol dan belajar bareng’, ya berarti aku guilty as charged.”
“Lucu banget kamu, Kin. Gak heran cowok-cowok tuh gampang ketipu sama gaya manismu.”
Sekitar mereka udah mulai ramai, beberapa siswa berhenti buat nonton. Dan di momen itulah Danu muncul dari arah belakang, langkahnya cepat, ekspresinya dingin.
“Udah cukup, Nad,” katanya datar. “Gak usah ngomong yang kamu gak tahu.”
Nadia mendengus, “Oh, jadi kamu bela dia sekarang?”
Danu menatapnya tajam. “Aku cuma gak suka orang dijudge cuma karena ramah.”
Suasana makin panas. Rafi yang baru datang pun ikut mendekat, berdiri di samping Kinan.
“Udah, Danu, gak usah dibesar-besarin,” katanya tenang tapi jelas melindungi Kinan. “Ayo Kin, kita ke kelas aja.”
Kinan sempat ngelirik dua cowok itu — Danu dan Rafi, berdiri di sisi berlawanan tapi sama-sama ngelindungin dia.
Dan Nadia cuma berdecak, “Wah, juara banget kamu, Kin. Dua pelindung sekaligus.”
Kinan menarik napas dalam, menatap Nadia dengan tatapan setenang mungkin.
“Kalau kamu sibuk ngitung siapa yang di sampingku, nanti kamu gak sempet ngitung nilai ujian kamu, Nad.”
Sekeliling langsung riuh — sebagian tertawa, sebagian menahan napas. Nadia melotot tajam, lalu pergi sambil mengibaskan rambut.
---
Begitu Nadia pergi, Danu dan Rafi sama-sama menatap Kinan.
“Kin, kamu gak papa?” tanya Rafi cepat.
“Gak apa-apa,” jawab Kinan, senyum kecil. “Aku udah biasa ujian… tapi baru kali ini soal hatinya ikut campur.”
Danu menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau dia berani ganggu kamu lagi, bilang aku ya.”
Rafi langsung menimpali, “Atau aku. Tapi kayaknya kamu bisa ngelindungin diri sendiri juga sih.”
Kinan terkekeh kecil. “Tenang, aku punya nilai plus: tahan banting dan punya cadangan tawa.”
Danu senyum samar. “Dan punya kuncir kuda paling keren di sekolah.”
Kinan mendengus malu. “Udah ah, jangan gombal di depan ketua OSIS.”
Rafi nyengir. “Biarin aja. Aku saksi, bukan saingan.”
“Tergantung definisi saksi kamu, Fi,” celetuk Danu setengah bercanda, tapi matanya gak lepas dari Kinan.
Dan ya, di antara tawa canggung itu, udara sekitar mereka terasa lebih padat.
---
Sore menjelang. Langit berubah oranye, angin lembut berhembus lewat jendela kelas. Kinan duduk sendirian, menatap halaman sambil menulis sesuatu di buku catatannya.
Rafi muncul di pintu kelas. “Masih di sini?”
“Iya. Lagi nulis catatan buat ujian besok.”
“Rajin banget, padahal udah pusing dari pagi.”
Kinan senyum tanpa menoleh. “Kalau gak rajin, nanti malah mikirin hal lain.”
“Hal lain kayak… Danu?”
Kinan berhenti nulis. “Fi, tolong deh, jangan mulai lagi.”
Rafi mengangkat tangan, setengah bercanda tapi matanya serius. “Aku cuma pengen kamu tau, aku gak akan nyerah semudah itu.”
Hening sesaat. Danu muncul beberapa detik kemudian di koridor, ngeliat pemandangan itu — Rafi berdiri di pintu, Kinan di dalam kelas, cahaya sore jatuh pas di wajah mereka berdua.
Dan di situ, senyum Danu tipis tapi matanya meredup. “Kayaknya besok bakal lebih berat dari ujian Biologi,” gumamnya pelan, lalu pergi sebelum Kinan sempat sadar.
Kinan menatap keluar jendela, merasa ada yang aneh di dadanya. Mungkin benar, ujian kenaikan kelas gak cuma tentang nilai. Tapi juga tentang hati — siapa yang kuat bertahan, dan siapa yang diam-diam mulai kalah.
---
To Be Continued...