Valentine Lee mengalami malam terburuk dalam hidupnya. Ia diperkos4 oleh pria yang mencintainya selama ini, lalu mendapati tunangannya berselingkuh. Dalam kepedihan itu, ia mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya.
Saat sadar, seorang pria tampan dan berkuasa bernama Vincent Zhao mengaku sebagai tunangannya dan membawanya pulang untuk tinggal bersamanya.
Namun ketika ingatannya pulih, Valentine akhirnya mengetahui siapa Vincent Zhao sebenarnya. Akankah ia memilih Vincent yang selalu melindunginya, atau kembali pada tunangan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Vincent segera menghampiri Valentine. Wajah tegasnya sedikit melunak saat melihat kondisi wanita itu yang masih memegangi kakinya yang terkilir.
“Maaf, aku terlambat,” ucapnya rendah, penuh penyesalan.
Valentine menunduk, suaranya gemetar. “Mereka mengambil gaun yang bibi belikan untukku…” ujarnya sambil menunjuk Katty dan Sandra.
Sekejap mata Vincent berubah dingin. Ia memberi isyarat kepada asistennya.
“Willy.”
“Baik, Tuan.”
Willy melangkah cepat, merebut gaun itu dari tangan Katty tanpa basa-basi. Katty terkejut dan berusaha menariknya kembali, tetapi Willy menatap tajam. “Benda ini milik Nona Valentine.”
Arnold maju setengah langkah, mencoba menahan keadaan. “Vincent, jangan keterlaluan. Kami adalah keluarga Valentine.”
Vincent berbalik, sorot matanya menusuk tajam. Tangannya merangkul pinggang Valentine, menegaskan posisi wanita itu di sisinya.
“Keluarga? Kalian selalu menindas Valentine, memaksanya bekerja keras demi membiayai hidup kalian. Kalian hidup dari keringat dan air matanya, lalu sekarang, di depan umum, kalian sengaja mempermalukannya? Apa kalian mengira aku sudah mati, hingga berani bertindak sesuka hati?"
Sandra mencoba menyela dengan nada memelas. “Vincent, kau salah paham. Kami hanya—”
“Bawa mereka pergi!” titah Vincent dengan suara lantang.
Polisi segera bergerak, memborgol keluarga Valentine satu per satu. Jeritan protes terdengar keras, menarik perhatian orang-orang yang masih berkerumun.
“Valentine, kau tidak bisa melakukan ini pada kami!” teriak Katty dengan wajah penuh amarah.
“Hei! Aku adalah kakakmu, cepat lepaskan kami!” Arnold berusaha meronta, tetapi dua polisi mendorongnya masuk ke mobil tahanan.
“Dasar anak durhaka!” teriak Sandra, suaranya pecah oleh emosi bercampur histeris.
“Valentine, kamu baik-baik saja?” tanya Vincent sambil menundukkan kepala, menatap wajah pucat wanita itu penuh kekhawatiran.
Valentine memejamkan mata, tangannya memegangi kening. “Vincent, kepalaku sakit… aku ingin pulang.”
Tanpa pikir panjang, Vincent langsung mengangkat tubuh Valentine ke dalam gendongannya. Orang-orang yang melihat hanya bisa terdiam, menyaksikan betapa protektifnya pria itu terhadapnya. Dengan langkah panjang, Vincent membawa Valentine menuju mobilnya.
Beberapa saat kemudian – di dalam mobil menuju rumah sakit
Valentine bersandar di kursi, wajahnya pucat. “Kenapa membawaku ke rumah sakit?” tanyanya.
Vincent menoleh ke arahnya, “Kepalamu sakit, dan harus diperiksa.” Suaranya tegas, tapi penuh kekhawatiran.
“Tapi…” Valentine mencoba membantah, matanya menatap Vincent ragu.
“Patuhlah! Demi kebaikanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” kata Vincent, kali ini dengan nada lebih lembut. Jemarinya sempat menggenggam tangan Valentine, memberi kehangatan.
Valentine terdiam beberapa saat, lalu mengangguk kecil. “Iya, baiklah.”
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Valentine tertidur pulas di ranjang pasien, efek obat penenang membuat wajahnya terlihat lebih tenang.
Vincent berdiri di luar kamar bersama dokter, ekspresinya tegang. “Apa yang sebenarnya terjadi pada Valentine? Kenapa kepalanya tiba-tiba sakit? Apakah ada sesuatu yang berbahaya?”
Dokter menghela napas sambil memegang berkas hasil pemeriksaan. “Kepala pasien sebelumnya memang mengalami benturan yang cukup parah. Terdapat darah beku yang tersisa. Kini, darah beku itu mulai mencair karena pasien rutin minum obat. Itu berarti ingatannya akan pulih secara perlahan.”
Mata Vincent sedikit melebar. Ada rasa lega, tapi juga cemas—karena ia tahu, ketika ingatan Valentine kembali, mungkin ada kebenaran yang bisa mengubah segalanya.
“Ingatan… akan pulih?” tanya Vincent dengan suara yang nyaris bergetar, tatapannya menajam penuh kekhawatiran.
Dokter mengangguk mantap. “Benar. Tapi sakit kepala yang dialaminya juga bisa terjadi karena tekanan mental. Apakah pasien mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan akhir-akhir ini?”
Vincent menarik napas dalam, wajahnya menegang mengingat kejadian tadi. “Iya… keluarganya. Mereka selalu memberinya tekanan, bahkan sampai mempermalukan dia di depan umum.” Suaranya berubah berat, penuh penyesalan sekaligus amarah.
Dokter menepuk bahu Vincent pelan. “Perhatikan pasien dengan baik. Kondisinya saat ini tidak boleh menerima tekanan sembarangan. Kalau tidak… dia bisa kehilangan kesadarannya, bahkan sulit kembali stabil.”
Vincent menunduk, rahangnya mengeras. “Baiklah, aku mengerti,” ucapnya pelan.
Ketika dokter pergi, Vincent berdiri sendirian di koridor rumah sakit. Lampu putih di atas kepalanya terasa dingin, seolah membekukan hatinya. Tatapannya beralih ke pintu kamar tempat Valentine terbaring, napasnya berat.
“Kalau Valentine ingat semuanya… apakah dia akan tetap memilihku? Apakah dia akan menikah denganku lagi… atau justru kembali pada Jacky?” batinnya bergejolak, penuh ketakutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.