NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:760
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cemburu

Malam itu aula villa sudah ditata sederhana. Beberapa meja bundar dipenuhi cemilan, teh hangat, dan kopi. Semua anggota tim marketing berkumpul, suasana terasa hangat dengan tawa dan obrolan santai.

Revan duduk di kursi paling depan, berusaha tetap tegak meski wajahnya pucat. Matanya sedikit berat, tapi ia memaksa untuk tersenyum.

"Pertama-tama, aku mau bilang terima kasih lagi untuk kerja keras kalian semua. Acara kemarin sukses besar, dan itu berkat kekompakan kita," ucapnya, suaranya terdengar agak serak.

Beberapa orang bertepuk tangan kecil. Namun, Tasya yang duduk di samping Fira hanya menatap Revan tanpa ikut bersuara. Tatapannya penuh cemas, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ia tahu betul kondisi Revan sedang tidak baik.

"Sekarang kita evaluasi aja, biar jelas apa yang perlu ditingkatkan," lanjut Revan sambil membuka catatan di tangannya.

Saat rapat berjalan, beberapa orang menyampaikan masukan dengan santai. Namun, perhatian Tasya teralih ketika ia melihat Revan mulai mengusap keningnya, lalu menghela napas berat.

"Pak Revan, minum dulu." Vera, salah satu rekan kerja mereka datang mendekat sambil membawa segelas teh hangat. Ia menaruhnya di depan Revan dengan senyum manis. "Dingin banget malem ini, Pak."

Revan sempat menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. "Makasih, Vera."

Tasya yang melihat adegan itu merasakan sesuatu menusuk dadanya. Ia menggenggam lutut di bawah meja, berusaha menahan ekspresi wajahnya tetap netral. Fira, yang duduk di sebelahnya, sempat melirik karena menyadari perubahan kecil di wajah sahabatnya.

"Kalau Bapak mau, aku bawa beberapa obat dan vitamin. Saya ambilkan ya, Pak?" ucap Vera penuh perhatian.

"Nggak perlu, Vera. Makasih, tapi, saya juga bawa, kok."

Revan menyesap teh perlahan, suaranya kembali terdengar saat melanjutkan evaluasi. Tapi bagi Tasya, momen itu sudah cukup membuat hatinya berdebar dengan perasaan aneh, antara kesal, cemburu, dan tak rela.

"Kenapa aku harus ngerasa kayak gini?" gumamnya pelan, sambil pura-pura sibuk mencatat evaluasi di bukunya.

Suasana rapat makin hangat. Beberapa orang saling lempar komentar, bahkan ada yang bercanda sampai membuat ruangan penuh tawa. Tapi Tasya tetap tidak bisa fokus, pikirannya terpecah setiap kali matanya melirik Revan yang wajahnya semakin pucat.

Seketika, Aldo berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke meja minuman dan mengambil dua cangkir kopi. Dengan langkah santai, ia kembali lalu menyodorkan salah satunya ke Tasya.

"Minum dulu, Tas. Makin malem makin dingin banget," ucapnya lembut.

Tasya sempat terkejut, tapi akhirnya menerimanya dengan senyum tipis. "Thanks, Al. Iya perasaan tahun lalu ke sini nggak sedingin ini deh."

"Karena lagi hujan juga deh kayaknya jadi makin dingin." Aldo menyeruput teh hangatnya.

Fira langsung menutup mulutnya menahan tawa kecil. "Ih, kalian makin deket aja, ya?" bisiknya ke Tasya, yang buru-buru menunduk dengan pipi memanas.

"Doain, Fir! Biar makin deket, makin lengket kayak perangko," timpal Aldo sambil tertawa.

"Nggak gampang deketin Tasya, Al. Harus ada perjuangan keras. Dia mana pernah mikirin hari atau cinta-cintaan," kata Fira karena memang ambisi Tasya yang besar untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang sang Ayah.

"Waduh, kasih kisi-kisi dong, Tas, cara biar bikin hati kamu luluh," ucap Aldo menatap Tasya.

Tasya tersenyum lebar seraya kepalanya menggeleng pelan. Menganggap Aldo hanya bercanda. "Bisa aja kamu, Al."

Namun, tanpa sadar, tatapan Revan terarah ke mereka. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya diam sambil menggenggam cangkir tehnya lebih kencang.

Vera yang duduk tak jauh darinya memperhatikan perubahan kecil itu. "Pak, Bapak kelihatan pucat, pasti karena kehujanan tadi, ya?" tanyanya khawatir.

Revan menarik napas dalam, berusaha tenang. "Aku baik-baik aja, udah minum obat juga," jawabnya singkat, lalu kembali menunduk pada catatannya.

Tapi Tasya sempat menangkap ekspresi itu. Ada sesuatu dalam tatapan Revan, entah lelah, entah … cemburu? Dan anehnya, justru hal itu membuat dadanya makin sesak.

Evaluasi akhirnya ditutup dengan ucapan singkat dari Revan. "Oke, semua sudah jelas. Malam ini kita istirahat aja. Besok ada agenda fun game di halaman belakang, jadi jangan tidur terlalu larut."

Semua orang bubar dengan riang, kembali ke kamar masing-masing. Tasya ikut berdiri, tapi langkahnya melambat ketika melihat Revan masih duduk, kepalanya menunduk, satu tangan menekan pelipisnya.

Ada dorongan kuat dalam hati Tasya untuk mendekat, tapi ia menahan diri. Gengsinya masih lebih besar.

Namun, sebelum ia berbalik pergi, suara batuk pelan dari Revan terdengar di telinganya.

Tasya terhenti di tempat, jantungnya berdegup lebih kencang. "Dia … sakit beneran?" bisiknya pelan nyaris tak terdengar.

---

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Lampu kamar redup, udara dingin Puncak makin menusuk lewat celah jendela. Tasya berbaring menatap langit-langit, tapi matanya tak bisa terpejam. Di sampingnya, Fira sudah pulas, napasnya teratur.

Tasya menoleh ke meja kecil, pandangannya jatuh pada pouch obat yang selalu ia bawa. Ia menggigit bibir, ragu sejenak, lalu perlahan bangkit dari ranjang. Dengan hati-hati agar tak membangunkan Fira, ia meraih beberapa butir obat dan sebotol kecil minyak kayu putih.

"Cuma sebentar … abis ini aku balik," gumamnya lirih pada dirinya sendiri.

Dengan langkah ringan, ia keluar kamar dan menyusuri koridor villa yang sepi. Hanya suara detak jarum jam dan hujan gerimis di luar yang terdengar. Ia berhenti di depan pintu kamar Revan, mengetuk pelan.

Tok … tok … tok …

Tak ada jawaban.

Tasya menunggu beberapa detik, lalu kembali mengetuk, sedikit lebih keras. "Revan … kamu masih bangun, nggak?" suaranya nyaris berbisik.

Tetap sunyi.

Akhirnya, dengan hati-hati ia memutar gagang pintu, tidak terkunci. Pintu berderit pelan, menyingkap ruangan gelap dengan lampu tidur kecil di sudut. Revan terlihat terbaring di ranjang, tubuhnya bergerak resah.

"Revan?"

Tasya melangkah mendekat, duduk di sisi ranjang. Perlahan ia menyentuh dahi Revan, dan seketika matanya melebar. "Ya Tuhan … panas banget."

Dia mencari obat yang mungkin Revan bawa. Tapi Tasya tidak menemukannya dimana pun. Tanpa pikir panjang, Tasya beranjak ke dapur kecil villa, mengambil baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Ia kembali lalu menaruhnya di meja, mulai mengompres kening Revan dengan hati-hati.

Revan menggeliat, napasnya berat. Kelopak matanya akhirnya terbuka, menatap samar sosok di depannya. "Tasya …?" suaranya serak.

Belum sempat Tasya menjawab, Revan tiba-tiba meraih lengannya dan menariknya dalam pelukan erat. Tasya terpaku, tubuhnya menegang, tapi ia tidak menolak.

"Jangan pergi," bisik Revan lemah, napasnya hangat di bahu Tasya. "Tolong … lebih lama hidup di bumi."

Tasya membeku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari apapun. Tangannya yang semula kaku perlahan terangkat, ragu-ragu menepuk punggung Revan yang basah oleh keringat.

Di antara dingin malam Puncak, justru pelukan itu terasa paling membakar.

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!