Seorang gadis berusia tujuh belas tahun secara tak sengaja menyelamatkan nyawa seorang raja mafia yang dingin dan penuh bahaya. Bukannya jadi korban dalam pertarungan antargeng, ia malah jadi istri dari pria yang selama ini ditakuti banyak orang.
Gadis itu polos dan manis. Sedangkan pria itu tegas dan kuat, dan hampir sepuluh tahun lebih tua darinya. Tapi, ia tak kuasa menolak perasaan hangat yang gadis itu bawa ke dalam hidupnya.
Meski membenci dunia gelap yang pria itu jalani, ia tetap tertarik pada sosoknya yang dingin dan berbahaya.
Dan sejak saat itu, takdir mereka pun saling terikat—antara gadis menggemaskan dan raja mafia muda yang tak pernah belajar mencintai...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Breakfast
Sinar matahari menembus kaca jendela, menyebar ke lantai dan memenuhi ruangan dengan kehangatan.
Di tengah ketenangan itu, dua sosok masih terlelap, dibalut sinar pagi yang lembut.
Liora perlahan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Lucien yang masih tertutup topeng.
Kata-kata yang pria itu ucapkan semalam kembali terngiang, membuat sudut bibirnya melengkung tipis.
Meski masih belum tahu siapa sebenarnya Lucien, rasa penasaran itu tak lagi terasa penting baginya.
Dengan hati-hati, Liora bangkit dan melangkah turun menuju dapur.
Sesampainya di sana, ia mendapati Bibi Mariam sudah sibuk menyiapkan masakan.
“Bibi?” Liora memanggil pelayan itu dengan suara lembut.
Wanita paruh baya itu menoleh sambil tersenyum hangat. “Nona, bangun pagi sekali. Saya belum sempat menyiapkan sarapan.”
“Tidak apa-apa,” sahut Liora cepat sambil tersenyum malu. “Sebenarnya, aku ingin menyiapkan sarapan sendiri… untuk Lucien.”
“Benarkah? Dia pasti akan sangat senang,” ucap Bibi Mariam penuh arti.
“Mengapa begitu?” tanya Liora penasaran.
“Bukankah sudah jelas? Karena sarapan itu dibuat olehmu.”
Liora menunduk, senyum malu pun tak bisa ia tahan.
“Bibi, biar aku saja yang urus. Bibi bisa keluar dulu,” ucapnya pelan.
“Baiklah,” jawab Bibi Mariam sambil mengangguk, lalu meninggalkan dapur.
Begitu ruangan itu sepi, Liora langsung menyingsingkan lengan bajunya dan mulai menyiapkan sarapan.
Ia memutuskan membuat nasi goreng.
Gadis itu tampak begitu serius dalam kesibukan kecilnya di dapur.
......................
Di sisi lain
Lucien masih terlelap. Tangannya meraba ke sisi ranjang, mencari hangat tubuh Liora—namun yang tersentuh hanya dinginnya seprai kosong.
Tanpa sadar, matanya perlahan terbuka. Begitu menoleh, ia mendapati tempat itu sudah kosong…
Lucien segera bangkit dari tempat tidur dan melangkah cepat. Ia membuka pintu kamar mandi, namun ruangan itu kosong.
Pikiran buruk langsung menghantuinya. Bagaimana jika gadis itu benar-benar meninggalkannya?
Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuruni tangga.
“Bi Mariam!” seru Lucien.
Belum sempat mencari lebih jauh, sebuah suara familiar terdengar dari arah dapur.
Lucien menoleh—dan bukannya menemukan Mariam, ia justru melihat Liora.
Gadis itu berdiri dengan celemek kebesaran, spatula masih tergenggam di tangannya.
Tanpa berpikir panjang, Lucien langsung melangkah maju dan memeluknya erat.
Gadis itu tertegun, sama sekali tidak mengerti kenapa sikapnya begitu aneh pagi ini.
“Ada apa?” tanyanya pelan dengan raut wajah bingung.
Lucien tidak menjawab, ia hanya menguatkan pelukannya.
Bibi Mariam yang tadi sempat dipanggil, terhenti di ambang pintu. Sorot matanya sulit dijelaskan saat menyaksikan pemandangan itu.
“Jangan tinggalkan aku,” bisik Lucien tiba-tiba.
Liora bisa merasakan ketakutan pria itu. Rasa kehilangan begitu nyata dalam dekapannya, membuat dadanya ikut sesak.
Ia meraih tangan Lucien dan menggenggamnya erat. “Aku kan sudah janji nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya lembut.
Mendengar itu, Lucien akhirnya melepaskan pelukannya. Ia menunduk, menatap wajahnya lekat-lekat.
"Ya, aku percaya," balasnya dengan senyum tipis.
Tatapan Lucien kemudian jatuh pada sesuatu di tangannya. "Kenapa kamu pegang ini?" tanyanya lembut.
"Aku lagi bikin sarapan buat kamu," jawab Liora santai.
Wajah Lucien seketika mengeras. Ia berbalik, menatap tajam ke arah Mariam.
“Aku sudah bilang, kau yang harus siapkan sarapannya,” ucapnya dingin.
“Tuan…” suara Mariam bergetar.
Liora segera maju, mencoba meredakan suasana. "Jangan menyalahkan nya. Aku cuma pengen bikin sarapan sendiri, nggak usah marah."
Lucien menghela napas, lalu mengambil spatula dari tangannya. “Kamu nggak perlu repot dengan hal-hal begini.”
Di balik sikap kerasnya, ada hangat yang tak bisa ia sembunyikan. Ia senang Liora rela menyiapkan sarapan untuknya, tapi tak tega melihatnya lelah.
Mariam hanya menunduk, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang terbit di wajahnya.
“Ini hal yang biasa,” gumam Liora pelan.
“Mulai hari ini, kamu nggak boleh masuk dapur lagi.”
“Ya sudah, kalau itu maumu.”
Lucien tersenyum tipis. “Bagus.”
“Tapi jangan salahkan Bibi Mariam ya. Semua ini keinginanku.”
Lucien hanya bisa menghela napas pendek. Ia berbalik menatap Mariam. “Kalau ini terulang lagi, kembalilah ke kediaman lama. Aku tidak peduli siapa yang menyuruhmu pindah ke sini.”
Bibi Mariam menunduk dalam, tangannya meremas apron yang ia kenakan. "Baik, Tuan."
Begitu Mariam meninggalkan ruangan, Liora menarik Lucien ke arah meja makan.
"Ini semua aku yang masak," kata Liora sambil tersenyum manis.
"Benarkah" ucap Lucien dengan nada lembut.
"Kalau begitu, cepat mandi dan turun untuk sarapan," ujar Liora sambil mendorongnya pelan.
“Lucien hanya tersenyum tipis lalu naik ke atas. Tak lama setelah mandi, ia turun kembali dan mendapati Liora sedang duduk, wajahnya tampak puas dengan hasil masakannya.”
“Kenapa kamu belum makan?” tanya Lucien pelan.
“Aku ingin menunggu mu,” jawab Liora sambil tersenyum manis.
“Baiklah,” ucap Lucien lembut.
“Cobain nasi goreng ini, rasanya enak banget,” ujar Liora sambil menyodorkan piring kecil.
Lucien menerima dan mencicipinya dengan tenang, setiap gerakannya tampak elegan.
“Hmm, enak sekali,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Liora pun ikut menyantap sarapannya setelah mendengar ucapan Lucien.
Usai makan, Lucien sempat bersikeras ingin mengantar gadis itu ke sekolah. Namun gadis itu malah bertingkah manja, hingga akhirnya ia hanya bisa menyerahkan tugas itu pada Aiden.
Sebelum berangkat, Liora bergegas naik ke kamar, mandi, lalu berganti seragam sekolah. Setelah selesai merapikan diri, ia segera turun dengan tas ranselnya, ia sudah siap untuk diantar.
Dengan tenang, Aiden membawa mobil keluar dari kediaman, mengantar gadis itu menuju sekolah.
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa nyaman. Liora bersandar di kursi belakang, menatap keluar jendela.
“Di sini saja, kamu bisa berhenti,” ucapnya pelan.
“Baik,” jawab Aiden sopan.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Aiden turun, lalu membukakan pintu untuknya.
“Terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Itu memang sudah menjadi tugas saya,” balas Aiden dengan tenang.
ditunggu up nya lagi...😊