Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Sepakat
Hari itu, hujan turun rintik-rintik sejak pagi. Lapangan sekolah sepi, dan sebagian besar siswa memilih berteduh di lorong panjang dekat ruang UKS.
Icha dan Albar memanfaatkan waktu istirahat untuk mengerjakan PR bersama di perpustakaan. Duduk berseberangan, keduanya kelihatan khusyuk—setidaknya dari luar.
“Cha, jawaban nomor lima ini bener nggak?” tanya Albar sambil menggeser bukunya.
Icha melirik, lalu menghela napas. “Bar, ini tuh bukan 25, tapi 36. Salah kali lipatnya.”
“Yaelah… makanya gue nggak pernah cocok sama Matematika. Beda sama lo, otaknya kayak kalkulator.”
Icha tersenyum kecil, tapi segera menunduk lagi. Mereka memang harus hati-hati. Sejak memutuskan berpacaran, Icha bersikeras agar hubungan mereka tidak diketahui orang sekolah, demi menghindari gosip yang bisa mengganggu belajar.
Sayangnya, tanpa mereka sadari, dari balik rak buku, Dinda sudah berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia baru saja mencari novel, tapi malah menemukan pemandangan “intim” ini—Albar dan Icha berbisik-bisik sambil tersenyum satu sama lain.
Dinda menahan diri untuk tidak langsung muncul. Ia memilih mundur, lalu keluar dari perpustakaan sambil menyimpan informasi ini di kepalanya.
Di tempat lain, Rio sedang berjalan menuju kantin ketika ia melihat pemandangan yang tak kalah mencurigakan: Albar dan Icha keluar perpustakaan bersama, berjalan agak berdekatan. Saat melewati lorong yang sepi, Albar dengan santainya menarik ujung tas Icha agar gadis itu berjalan di sisinya.
Rio langsung menahan langkah. “Nah… ini dia yang aneh,” gumamnya.
Ia tak mau sembarangan menuduh, tapi mata Rio terlalu awas untuk mengabaikan interaksi itu.
Sore hari, hujan masih mengguyur. Rio memutuskan mengajak Dinda nongkrong di kantin belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi. Mereka berdua cukup akrab karena sering terlibat di kegiatan OSIS.
“Nda, lo akhir-akhir ini liat yang aneh nggak sama Albar sama Icha?” tanya Rio sambil menyeruput teh hangat.
Dinda mengangkat alis. “Lo juga sadar?”
“Lah, lo juga?”
“Gue liat mereka berduaan di perpus, Bar-nya nyender dikit ke meja Icha sambil bisik-bisik. Gimana menurut lo?”
Rio mengangguk mantap. “Tadi gue liat mereka jalan bareng dari perpus. Kayaknya… mereka jadian.”
Mereka saling berpandangan, lalu tertawa kecil. Bukan tawa mengejek, tapi tawa orang yang baru saja menemukan rahasia besar.
Keesokan harinya, Rio sengaja menghampiri Albar di parkiran sepeda.
“Bar, gue mau nanya jujur. Lo sama Icha… ada apa?”
Albar langsung tegang. “Hah? Maksud lo?”
“Udah lah, gue sama Dinda udah tahu. Gue liat sendiri.”
Albar menatapnya lama, lalu menghela napas. “Lo mau nyebarin?”
“Enggak lah. Gue nggak sejahat itu.” Rio tersenyum nakal. “Tapi… gue minta traktir bakso minggu depan.”
Di waktu yang hampir bersamaan, Dinda menemui Icha di koridor.
“Cha, gue tanya sekali aja… lo sama Albar pacaran?”
Icha membeku. “Kok lo nanya gitu?”
“Karena gue liat. Dan gue nggak bakal ngomong ke siapa-siapa… asal lo janji kalau dia nyakitin lo, lo cerita ke gue.”
Icha sedikit terharu, meski juga gugup. “Oke, janji.”
Akhirnya, di jam istirahat, empat orang ini—Albar, Icha, Rio, dan Dinda—diam-diam duduk di meja kantin paling pojok.
Rio membuka pembicaraan. “Oke, kita semua udah tahu. Tapi demi ketenangan bersama, kita sepakat nggak akan ngomong ke siapa pun.”
Dinda menambahkan, “Dan kalian berdua… hati-hati. Gue nggak mau denger ada guru atau orang iseng yang nyebarin gosip.”
Icha mengangguk cepat. “Tenang, gue juga nggak mau hubungan ini jadi bahan omongan.”
Albar tersenyum lega. “Thanks, kalian baik banget.”
Rio melirik Albar sambil terkekeh. “Gue baik? Nggak juga sih. Minggu depan lo tetep traktir.”
Albar memukul pelan bahunya. “Dasar modal dikit, mulut banyak.”
Mereka tertawa bersama. Meski awalnya gugup karena rahasianya terbongkar, Albar dan Icha merasa sedikit lega. Setidaknya, rahasia itu sekarang disimpan oleh orang yang mereka percayai.
Yang mereka belum tahu adalah… kadang rahasia justru paling rawan bocor saat terlalu banyak orang yang mengetahuinya.