NovelToon NovelToon
Pernikahan Darah Sang Raja Mafia

Pernikahan Darah Sang Raja Mafia

Status: tamat
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Pelakor jahat / Tamat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.

​Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”

​“Sederhana. Pernikahan.”

​Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.

​“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.

​Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”

Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?

CHAPTER 31

Chapter 31

Masa Kini

POV – Kairav Arumbay

“Kai?” Suaranya begitu parau. Dia pasti baru saja menangis.

Aku menangkup wajahnya. Lega karena aku bisa datang dan melihat wajahnya. Meskipun kami hanya berpisah satu hari saja, tapi perasaanku ini seperti satu abad lamanya.

Aku mengontrol emosiku di depannya. Dia tidak perlu melihat seorang Kai yang marah karena keadaan saat ini. “Sayang, tenang. Aku sudah di sini.”

Tangisnya pecah. Aku memeluknya. Mencium keningnya. Tidak lupa aku juga mencium pipinya yang di penuhi air mata. Aku harus menghapus semua air mata ini. Dia tidak boleh berada dalam kesedihan. Aku tidak akan membiarkannya.

“Kai, kamu akhirnya da…datang.” Dia terbata-bata.

“Shhh…iya sayang aku ada di sini. Semuanya akan kembali seperti semula.” Aku mencium rambutnya. Dia pasti mandi di rumah ini. Apa Oza memaksa dia?!

Tanganku mengepal. Tenang, Kai. Kamu harus menenangkan Islana bukan membuat dia takut.

Aku melihat wajahnya yang begitu sedih. “Kita akan pulang sekarang juga.”

Ekspresi wajahnya berubah. Ada kelegaan dari tatapannya padaku. Kami bahkan tidak bisa menikmati hari pertama kami setelah menjadi suami-istri. Aku akan memastikan dia kami mendapatkan semuanya setelah ini.

“Kai,” dia menarik lenganku. “aku mau ketemu sama Kakak dan Adik aku. Aku bener-bener sudah kangen sama mereka.”

Nada putus asa begitu tersirat dari kalimat itu. Aku tahu tidak adil selama ini dia tidak bisa berhubungan dengan mereka. Setelah mengalami penculikan hingga ke kota ini, sudah sepantasnya aku memberikan apa yang menjadi keinginannya.

Aku mengangguk. Mencium bibirnya dan menaruh dahiku di depan dahinya. Mata kami saling bertatapan. “Kamu akan ketemu sama mereka, sayang. Setelah kita kembali.”

Dia memelukku.

Pelukan tanpa sebuah paksaan dariku. Aku juga balik memeluknya dengan erat. Lalu aku teringat sesuatu.

Aku melihat wajahnya, leher, tangan dan kakinya. Aku tidak menemukan apapun. “Nggak ada bekas luka. Apa di balik baju kamu…”

“Nggak ada,” ucap Islana. “untungnya dia belum menyakiti aku secara fisik.”

Belum.

Ya, Oza memang suka membuat ‘korban’ yang merasa bahagia dulu lalu menerkamnya tanpa orang itu sadari.

“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” Islana berbisik. Beranggapan kalau dinding di rumah ini bisa bicara.

Jangankan dinding tapi kamera pengawas di rumah ini juga sudah kami matikan. “Kamu jangan khawatir, aku bakal cerita pas kita sudah di mobil.”

Islana mengangguk. “Kepalaku sepertinya sudah tidak tahan. Aku terlalu lelah karena menangis. Aku hampir tidur pas kamu bangunin aku.”

Aku menggosokkan tanganku di lengannya. Dia sepertinya juga kedinginan. “Tenang, kamu bisa tidur selama perjalanan pulang.”

Saat aku menggendongnya, Isla sama sekali tidak menolak. Alasan pertama karena dia terlalu letih untuk menolak, alasan berikutnya mungkin dia sudah terbiasa ketika aku menyentuhnya.

Aku berharap alasan kedua yang benar.

Terutama karena kami melewati malam pernikahan yang begitu sempurna. Harusnya bukan cuman aku saja yang bahagia kali itu. Harusnya dia juga merasakan hal yang sama.

Aku membawa Islana yang langsung menutup matanya saat aku gendong. Kami berjalan di lorong yang sudah di penuhi oleh Arumthaga. Mereka tidak bersuara. Salah satu hal yang aku sukai dari mereka adalah mereka tidak akan ikut campur dengan urusan pribadi majikan mereka. Urusan mereka adalah melukai dan ‘membereskan’ siapapun orang yang menghalangiku.

Aku melewati lorong, tangga dan berbagai ruangan di rumah yang terlalu gelap untuk seorang Islana ada di dalamnya. Ini bukan rumah tapi seperti rumah Iblis!

Tidak tahan dengan aroma rumah ini, aku mempercepat jalanku. Arumthaga berjalan di depan dan belakangku untuk memastikan tidak ada ‘masalah’ yang mendadak muncul dan menghentikan kami berdua.

Aku melihat tumpukan para pasukan ‘Baragon’ – mendengar nama itu saja sudah membuat perutku mulas – yang sudah terkapar tanpa suara. Mereka tidak sadarkan diri berkat rencana kami.

Mereka ada di mana-mana. Di pintu utama, dekat tangga dan bahkan di lorong-lorong kecil. Semuanya berhasil kami lumpuhkan dengan sempurna.

Ketika sampai di pintu depan, Omar sudah menunggu kami. Wajahnya cemas melihat Islana yang tertidur di gendonganku. Dia berhenti menatapnya ketika aku menggeram ke arahnya.

“Semuanya sudah beres?” Hanya itu yang perlu aku tahu.

Omar melihat ke dalam mobil. Dia mengangguk. “Mereka tidak bergerak sama sekali.”

Ini harus aku lakukan.

Untuk mencegah potensi hal buruk yang sama terjadi di kemudian hari.

Aku masuk ke dalam mobil dengan menaruh Islana dengan hati-hati. Sementara Omar berada di mobil depan. Aku tidak akan mengijinkan dia duduk di mobil yang sama dengan kami lagi.

Lima belas menit kedepan adalah waktu paling krusial. Kami akan keluar dari kota ini secepat mungkin. Barabay terkenal dengan warga mereka yang tidak kalah kejam dibandingkan kriminal.

Kami keluar dari pekarangan rumah itu dan bersiap memasuki jalan besar. Ini sekarang jam dua pagi. Tidak ada orang yang keluar dari rumah mereka. Jalanan begitu kosong dan gelap.

Bagaimana bisa orang tinggal di kota mengerikan seperti ini?

Hanya orang-orang gila seperti Oza Barabay tentunya.

Darr! Darr!

Suara tembakan melesat entah dari sisi mana. Tapi yang jelas bukan mobil ini yang terkena tembakan itu. Sepertinya mobil di belakangku. Aku mengamati dari kaca belakang. Ya, kaca mobil di belakang kami pecah. Tapi untungnya mereka masih bisa melaju.

Mobil kami yang berjumlah lima belas melakukan formasi untuk memastikan mobilku berada di tengah. Kami sudah sering berlatih kondisi seperti ini. Memang sudah saatnya semuanya di praktekkan. Meskipun bukan berarti Islana harus jadi bagian dari kepelikan ini.

Darr!Darr!Darr!

Tiga tembakan baru. Aku tetap memastikan Islana di dalam pelukanku sambil melihat ke arah jendela. Dugaanku mereka memiliki penembak jitu di gedung-gedung tinggi sepanjang jalan ini.

Setelah aku memeriksa dengan seksama, ada dua orang yang sedang mengamati kami.

“Hamdan! kasih kabar ke yang lainnya penembak jitu pasti akan mengincar kita sampai ujung jalan. Ubah senjata mereka!”

Hamdan melakukannya dengan cepat.

Tembakan muncul lagi dengan intensitas yang banyak. Arumthaga mengeluarkan senjata mereka dan membalas tembakan-tembakan sebelumnya.

Islana bergerak meskipun masih terlelap.

Aku menutup telinganya dengan penutup suara. Memastikan pandangannya tertutup. Dia tidak perlu melihat semua ini. Dia bisa punya mimpi buruk berminggu-minggu.

Beberapa mobil kami keluar dari barisan. Bunyi ban mereka terdengar jelas setelah mereka berusaha menghindari tembakan lainnya. Sialan!

Penembak jitu mereka masih banyak ternyata.

Kita sudah sampai di ujung jalan dan para penembak jitu masih menembaki kami dari atas.

Mobil kami terpaksa bergerak secara Zigzag dan ketakutanku terjadi. Islana terbangun karena pergerakan mobil yang terlalu tidak beraturan.

“Kai,” panggilnya. Dia melepaskan penutup telinganya sebelum sempat aku menahan tangannya.

​Dia ketakutan saat suara tembakan itu terjadi. “Kai! kita ditembak!”

​“Shhh…kamu tenang aja, pakai penutup ini lagi.” Aku memasangkan lagi penutup telinga itu.

​Dia menurut perkataanku. Berlindung di balik jaket hitamku. Aku mengelus pipinya dan berbisik untuk menenangkannya. Penutup telinga itu hanya mengurangi suara tembakan, karena itu aku berusaha berbisik di telinga dia untuk menutupi suara dari luar.

​Aku mengelus bibirnya. “Kamu tidur aja sayang…semuanya akan selesai sebentar lagi.”

​Saat Islana sudah menutup matanya lagi dan mulai bernapas dengan lebih tenang, aku mengamati kondisi luar. Kita sudah melewati mereka semua. Tapi masih ada satu penghalang di ujung pintu masuk kota.

​Kami tidak tahu seberapa banyak mereka yang ada di sana.

​Setengah jam lagi kami akan sampai di sana.

​Lalu kita akan keluar dari kota neraka ini.

​Selamanya.

​Dan akan kupastikan kami semua keluar hidup-hidup.

1
danisya inlvr
Gemes banget 😍
Irisa_Sherenada: Gemes* Sama Kai ya? 😊
Irisa_Sherenada: Genes Sama Kai ya Kak? 😘
total 2 replies
Inari
Baru baca beberapa chapter aja udah pengen rekomendasiin ke temen-temen semua!
Irisa_Sherenada: Makasih kakak. Stay tuned yah 😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!