NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nona introvert

Perjalanan pulang terasa jauh lebih canggung dibanding sebelumnya. Mungkin karena kali ini Sena benar-benar akan mengantarkannya sampai ke rumah. Bukan sekadar tumpangan darurat di pinggir jalan, tapi betul-betul mendatangi kediaman pribadinya.

Kecemasan menggelayut di benak Camelia. Ia gelisah membayangkan bagaimana jika hal ini sampai diketahui orang tuanya. Sebab, belum pernah sekalipun ia membawa teman laki-laki ke rumah, apalagi seorang dosen. Bukan karena ada larangan, tapi karena tidak pernah ada yang cukup dekat untuk diajak sejauh itu.

"Mawar, Blok Tiga, kan?" tanya Sena, tanpa menoleh.

"Iya, Pak," jawab Camelia singkat, suaranya terdengar malu-malu.

Sena mengangguk, lalu tersenyum. "Kamu dari keluarga berada, ya, rupanya. Tinggalnya di perumahan yang penghuninya orang-orang kaya,”

Camelia hanya menanggapi dengan senyum kecil, enggan memperpanjang pembahasan.

"Wah, saya jadi sungkan ini. Membawa anak orang kaya pulang malam-malam seperti ini," celetuk Sena, mencoba mencairkan suasana.

Kali ini Camelia tidak memilih diam. Ia menoleh dan berkata, “Pak, sudah dong. Jangan menggoda saya terus.”

Sena terkekeh. “Iya, iya. Maaf. Saya tidak bermaksud membuat kamu tidak nyaman.”

Mobil berwarna hitam itu perlahan memasuki kawasan perumahan elit yang sunyi dan tertata rapi. Di gerbang Blok Tiga, Camelia menelan ludah pelan. Jantungnya berdetak cepat, terlebih ketika dari kejauhan ia melihat lampu depan mobil sang ayah menyala, memasuki halaman rumah secara bersamaan.

Aduh, mati aku, batinnya, panik.

Nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin lagi ia meminta Sena memutar arah. Apapun yang terjadi setelah ini, harus ia hadapi. Ia hanya bisa berharap semoga Ayahnya tidak salah paham.

Sementara itu, Sena tidak berniat berhenti hanya di depan gerbang. Ia bukan laki-laki gila yang tidak paham sopan santun. Bagi Sena, jika sudah mengantarkan seseorang pulang, maka harus tuntas. Termasuk berpamitan dengan orang tuanya. Ia tidak ingin terlihat seperti laki-laki yang meninggalkan putri orang begitu saja di tepi pagar.

Di sisi lain halaman, Edo Sasongko, pria paruh baya dengan perawakan karismatik itu mengernyit saat melihat mobil asing masuk ke halaman rumahnya. Dahi lelaki itu sedikit berkerut, penasaran.

Siapa itu? pikirnya.

Namun, ketika pintu mobil terbuka dan sosok Camelia muncul, disusul pria muda berpakaian rapi dengan postur gagah, ekspresi Edo berubah. Ia menyipitkan mata, lalu tersenyum kecil.

“Camelia... dengan kekasihnya?” gumamnya.

Sena yang menyadari kehadiran ayah Camelia langsung melangkah mendekat dan menyodorkan tangan dengan sopan. "Selamat malam, Pak," sapanya hangat.

"Selamat malam." balas Edo ramah, menjabat tangan Sena sambil mengamati sosok pria muda di hadapannya.

Camelia yang berdiri di samping Sena hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal, ia gugup. Takut dimarahi, atau lebih parah, disalahpahami dan diusir hanya karena pulang dengan dosennya di malam hari.

"Saya mohon maaf sebelumnya, Pak. Saya mengantarkan Camelia pulang agak malam karena tadi kami sempat berbincang sebentar di kafe." ujar Sena sopan.

"Oh, tidak masalah. Camelia juga sudah dewasa. Tidak perlu terlalu khawatir," jawab Edo dengan nada santai.

"Perkenalkan, saya Girisena Pramudito. Kebetulan saya dosen Camelia di kampus," lanjut Sena, menyebutkan namanya lengkap.

Edo terkekeh kecil. "Oh, dosen ternyata. Wah, pacar kamu dosen, Nak? Bagus, pinter. Kalau cari pasangan memang harus yang punya latar belakang jelas."

Camelia sontak memerah. Pipi gadis itu hampir sama warnanya dengan tomat matang.

"Pa! Bukan!" sahutnya cepat, nyaris panik. "Pak Sena ini cuma dosen aku, bukan pacar. Sumpah!"

"I-iya, Pak. Benar, saya hanya dosennya," tambah Sena, ikut merasa kikuk.

Edo tertawa lebar, seperti menikmati kekacauan kecil di hadapannya. "Padahal Papa sudah senang dengarnya. Eh, kita malah ngobrol di luar, ayo masuk dulu ke dalam."

Sena buru-buru menolak dengan sopan. "Terima kasih, Pak. Tapi saya harus segera kembali. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan malam ini. Kalau begitu, saya pamit dulu. Selamat malam."

Sena sedikit membungkuk sebagai salam perpisahan. Sebelum melangkah pergi, ia menepuk pelan pundak Camelia, gestur singkat namun menimbulkan debar baru di dada gadis itu.

Mobil Sena perlahan meninggalkan halaman rumah, dan juga meninggalkan kelegaan sekaligus kehangatan yang aneh di dada Camelia. Tapi satu hal yang belum bisa ia hindari, tatapan ayahnya yang sejak tadi belum juga lepas darinya.

Setelah mobil Sena meninggalkan pelataran rumah, Camelia berdiri kikuk di depan pintu. Perasaannya kacau, terlebih saat menatap tatapan sang Ayah yang terasa menusuk, berbeda dari raut ramahnya tadi saat berbicara dengan Sena.

"Masuk," perintah Edo. Suaranya tegas, khas pria paruh baya yang sulit ditebak isi kepalanya.

"Iya..." sahut Camelia pelan, lalu menunduk dan melangkah lebih dulu memasuki rumah.

Dari arah tangga menuju kamar utama, Rindi, sang ibu, muncul sambil menenteng sebuah tablet. Ia tidak berkata sepatah kata pun, hanya melempar tatapan acuh pada Camelia dan suaminya yang baru saja masuk. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa.

Begitu tiba di ruang tengah, Edo duduk di sofa utama, menunggu Camelia ikut duduk di depannya. Gadis itu duduk dengan kaku, mencoba menenangkan diri. Tapi ia tahu, percakapan ini tak akan menyenangkan.

"Sudah sejak kapan?" tanya Edo, langsung ke inti persoalan, tanpa basa-basi.

Camelia mendongak, mengerutkan kening dan tersenyum kecil, senyum terpaksa yang coba menyamarkan rasa kesalnya.

"Papa terlalu berasumsi. Pak Sena cuma dosenku. Kita nggak punya hubungan apa-apa," jelasnya, berusaha terdengar tenang.

"Seorang pria mengantarkan mu pulang, lalu berpamitan langsung dengan orang tuanya. Itu jelas bukan hubungan biasa." Nada bicara Edo tetap tenang, tapi mengandung penekanan.

"Pa, sungguh... kita nggak ada apa-apa. Aku nggak sebodoh itu pacaran sama dosen sendiri!" kata Camelia, mulai tidak bisa menyembunyikan amarahnya.

Dari sudut ruangan, Rindi yang sejak tadi berdiri memperhatikan, sedikit mendongak saat mendengar ucapan putrinya. Matanya menajam, namun ia tidak ikut campu. Ia memilih diam, mencatat semuanya dalam kepala.

Dan benar saja, dugaannya tepat. Ayahnya kini berasumsi bahwa dirinya menjalin hubungan dengan Sena, hanya karena pria itu mengantarnya pulang dan sempat menyapa.

Nyesel banget rasanya waktu itu nolongin dia, ujung-ujungnya malah dianggap pacaran, batin Camelia geram.

Edo kembali bersandar di sofa, lalu mengangguk tipis sambil bergumam, "Tapi Papa tidak menyangkal. Sena itu tampan, berkelas. Dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau dia bukan orang sembarangan."

Camelia yang mendengar itu langsung berdecak, tidak menyembunyikan kejengkelannya. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dan meninggalkan ruang tengah.

Langkahnya cepat menuju tangga, lalu menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Sesampainya di kamarnya, ia membuka pintu dengan kasar.

Bruk!

Pintu kamar terbanting cukup keras. Napasnya memburu. Dadanya sesak bukan karena lelah, tapi karena muak. Sudah berbulan-bulan, ia dan ayahnya tidak benar-benar berbicara dari hati ke hati. Tidak ada pertanyaan hangat seperti, "Kuliahmu bagaimana?" atau "Kamu baik-baik saja?" Yang ada justru tuduhan dan asumsi tak berdasar.

Camelia melemparkan tasnya sembarangan ke atas sofa di kamarnya. Dengan gerakan frustasi, ia menjatuhkan tubuh ke atas sofa panjang berwarna pink, tempat favoritnya melepas penat.

Nggak lagi-lagi deket sama orang... apalagi sama Sena.

Batinnya menggumpal kesal. Satu keputusan baik, memberi tumpangan berakhir menjadi bumerang. Camelia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Tapi satu hal yang pasti, kehangatan yang ia rasakan beberapa jam lalu, kini digantikan kekacauan yang tak ingin ia ulangi.

Ting!

Suara notifikasi dari dalam tas menyentak Camelia yang masih berbaring di sofa kamarnya. Ia tahu betul, hanya satu orang yang bisa mengirim pesan pada jam-jam seperti ini—Gray, pria asing dari aplikasi Love yang entah mengapa terasa tidak terlalu asing akhir-akhir ini.

From: Gray - Selamat malam, Malika. Sedang apa? Apakah aku mengganggumu?

Camelia tersenyum kecil, jemarinya bergerak mengetik balasan.

To: Gray - Selamat malam, Gray. Aku baru saja selesai beraktivitas. Kamu nggak gganggu sama sekali. Justru aku butuh teman, aku sedang suntuk.

Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan pesan, melainkan panggilan. Camelia ragu sejenak, tapi akhirnya menekan tombol hijau.

“Halo,” sapanya ramah, mencoba terdengar tenang meski hatinya masih menyimpan kekesalan hari ini.

“Halo! Wah, aku kira kamu bakal tolak panggilan ini. Ternyata dugaanku salah.” Suara Gray terdengar hangat dan bersahabat.

“Jadi kamu nggak suka kalau aku fast respon, gitu?” ujar Camelia.

“Eh, bukan begitu. Jangan sensitif, dong. Justru aku senang banget. Soalnya kalau kamu lama balas, rasanya kayak nunggu bertahun-tahun. Sampai jamuran!” gurau Gray.

Camelia tertawa kecil. Nada ringan dari Gray selalu berhasil mencairkan suasana.

“Omong-omong, kamu bilang suntuk tadi. Bad day?” tebak Gray.

“Yup, exactly! Tapi... maaf, aku nggak bisa cerita detailnya. Intinya, aku cuma kesel sama seseorang yang... entahlah, terlalu caper.”

“Wah, siapa tuh? Bukan aku, kan?” tawa Gray menyambung.

“Bukanlah. Ini orang di real life. Aku nggak terlalu kenal juga. Dia lebih tua. Sebenarnya, mungkin dia cuma mau membalas kebaikan yang aku lakukan, tapi... aku nggak nyaman.”

“Karena?”

“Karena dia terlalu mencoba akrab. Dan aku nggak suka. Real life-ku itu sepi, Gray. Aku nggak punya teman ngobrol, nggak punya tempat buat cerita. Bahkan nongkrong pun nggak ada yang klik. Makanya, saat ada orang yang mencoba masuk, aku risih.”

Sejenak, suara Gray menghilang. Lalu, “Aku jadi merasa tersinggung, nih.”

“Ck, pengecualian. Kalau aku merasa terganggu, jelas panggilanmu tadi nggak bakal aku angkat. Chat kamu pun pasti sudah tenggelam di antara notifikasi lain.” jawab Camelia, menahan senyum.

Terdengar tawa renyah dari seberang.

“Kok malah ketawa? Nggak ada yang lucu, tahu.”

“Maaf, Malika. Tapi... kamu lucu banget. Serius deh, kamu benar-benar tipe orang yang introvert. Tapi menurutku, kamu jangan terlalu membatasi diri. Kamu berhak punya teman, di dunia nyata juga. Biar hidupmu berwarna, kalau dari cerita kamu, aku nggak bisa sepenuhnya salahkan orang itu juga. Bisa jadi dia cuma mau menunjukkan perhatian. Tapi karena kamu terlalu tertutup, kamu malah ngerasa itu aneh. Padahal, perhatian kecil itu... ya hal yang wajar. Coba deh buka diri pelan-pelan. Mulai dari hal-hal kecil. Mungkin kamu bisa mulai belajar percaya, dan berpikir positif juga.”

Camelia terdiam lebih lama. Lalu, tanpa sadar senyumnya mengembang. Entah mengapa, kata-kata Gray berhasil menembus dinding tebal yang selama ini ia bangun. Padahal mereka belum pernah bertemu. Tapi rasanya, berbeda.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!