Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Kekaisaran Hanbei, Istana Langit Jing.
Langit pagi begitu cerah, seolah memberkati hari besar itu. Seluruh ibu kota Hanbei berhias dalam balutan warna merah dan emas. Bendera dengan lambang phoenix dan naga berkibar tinggi di menara-menara istana.
Hari itu, sejarah mencatat momen langka: seorang wanita dari masa kelam yang berhasil membalik takdirnya—Wei Lian, secara resmi akan dinobatkan sebagai Permaisuri Hanbei, satu-satunya pendamping Kaisar Mo Yichen, yang dikenal sebagai penguasa tanpa selir.
—
Di dalam istana dalam, Paviliun Giok Putih.
Wei Lian berdiri di depan cermin besar yang dipenuhi ukiran angsa dan bunga teratai. Ah Zhi dan Yan’er sibuk membenarkan jubah kebesaran berwarna merah tua berhias benang emas.
Rambut Wei Lian disanggul tinggi, dihiasi mahkota phoenix berlapis batu giok merah muda—lambang kebangkitan dan kesetiaan satu hati.
Namun, di balik gemerlap perhiasan, sorot matanya tetap seperti dulu. Tenang, kuat, dan… menyimpan banyak cerita.
“Siapa sangka,” ujar Ah Zhi lirih sambil tersenyum haru, “seorang wanita yang dulu ditinggalkan dan dikhianati, kini berdiri sebagai permaisuri satu-satunya di seluruh daratan tengah.”
Yan’er menambahkan, “Itu karena dia tidak hanya punya wajah cantik, tapi keberanian dan otak yang tak bisa dibeli siapa pun.”
Wei Lian tersenyum. “Hari ini bukan akhir dari perjuangan. Tapi awal dari tanggung jawab yang lebih berat.”
Mereka semua menunduk hormat padanya.
—
Sementara itu, di aula utama Istana Langit Jing.
Mo Yichen telah bersiap dengan jubah kaisarnya. Ia menatap takhta kosong di sampingnya—tempat yang telah lama ia jaga agar tetap kosong, menunggu seseorang yang pantas mengisinya.
“Jenderal Wei dan keluarga sudah tiba di paviliun kehormatan,” bisik Zhao Jin.
Mo Yichen mengangguk. “Hari ini… bukan hanya tentang penobatan. Tapi pemulihan martabat keluarga yang dulu dihancurkan.”
Tak lama kemudian, musik pengiring mulai terdengar.
Gerbang besar dibuka.
Wei Lian melangkah masuk.
Langkahnya pelan, namun tiap langkah memantulkan kekuatan dari seseorang yang telah melewati dua kehidupan, menyaksikan kehancuran, dan memilih untuk bangkit.
Semua menteri, pejabat tinggi, dan utusan negara sahabat bangkit berdiri. Hening, tak satu pun berani bersuara.
Mo Yichen tersenyum saat menatapnya. “Kau datang, bukan untuk dinobatkan… tapi untuk menuntaskan jalan yang telah kau pilih.”
Wei Lian berhenti di tangga terakhir, lalu berlutut di hadapan takhta.
Namun sebelum ia sempat membungkuk lebih dalam, Mo Yichen turun dari takhta, berdiri di hadapannya dan berkata dengan lantang:
> “Hari ini, aku tidak menempatkanmu di sisiku karena kekuasaan, atau demi menyenangkan siapa pun. Tapi karena kau telah berdiri sendiri melawan badai, dan menyelamatkan lebih banyak nyawa dibanding semua pejabat di sini.”
Ia mengulurkan tangannya.
“Berdirilah. Seorang permaisuri sejati tidak pernah berlutut untuk gelar.”
Wei Lian menatapnya, lalu menggenggam tangan itu dan berdiri.
Mahkota phoenix ditempatkan di kepalanya oleh Mo Yichen sendiri.
Gemuruh tepuk tangan meledak.
Kembang api meletup di luar istana.
Dan teriakan dari rakyat di luar istana menggema:
“Hidup Permaisuri Wei Lian!”
“Hidup Kaisar Mo Yichen dan permaisuri tunggalnya!”
—
Malam harinya, di taman belakang istana
Wei Lian dan Mo Yichen duduk berdua, jauh dari keramaian. Lilin-lilin kecil terapung di kolam teratai, memantulkan cahaya redup yang indah.
“Apa kau percaya…” Wei Lian berkata lirih, “bahwa seseorang bisa hidup kembali… untuk menebus takdir yang salah?”
Mo Yichen menatapnya lama. “Aku tidak peduli bagaimana kau tahu hal-hal yang tak mungkin diketahui orang lain. Tapi aku tahu satu hal—apa pun jalan hidupmu sebelumnya, aku bersyukur kau memilih berdiri di sini malam ini… bersamaku.”
Wei Lian menggenggam tangannya. “Dan aku bersyukur… tidak mengikuti jalan dendam sepenuhnya. Karena akhirnya, aku menemukan sesuatu yang lebih besar dari pembalasan.”
Mo Yichen tersenyum. “Yaitu?”
Wei Lian memejamkan mata sejenak, lalu menjawab:
> “Kesempatan kedua yang tidak kupakai untuk membalas… tapi untuk melindungi.”
—
Dan di langit malam Hanbei, bintang-bintang bersinar lebih terang.
Karena dua hati yang dulu dihancurkan… akhirnya memilih menyembuhkan, bukan menghancurkan lagi.
Dan dari bayang-bayang takdir, mereka melangkah bersama… menuju akhir yang bukan hanya bahagia, tapi penuh makna.
Bersambung