NovelToon NovelToon
Rojali Dan Ratih

Rojali Dan Ratih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Ilmu Kanuragan
Popularitas:8.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RR 28

Tak ada sambutan gamelan. Tak ada teriakan MC. Bahkan angin pun seperti menahan napasnya.

Suasana mendadak hening. Waktu seolah melambat, dan hanya satu suara yang terdengar—desiran angin yang menerpa lembut wajah Ratih, membuat kerudungnya berkibar pelan.

Langkah demi langkah Ratih menjadi pusat perhatian. Mata semua orang terpaku padanya. Dunia seperti membeku, hanya menyisakan suara detak jantung dan tatapan kagum, cemas, bahkan takut.

Para pemuda yang dulu mencibirnya kini hanya bisa menelan ludah. Tak ada lagi cemooh, tak ada bisik-bisik kotor. Yang tersisa hanyalah keterpukauan yang membungkam lidah-lidah keji.

Dengan tenang, Ratih melangkah ke deretan kursi tamu. Tapi alih-alih duduk di sofa empuk yang disediakan untuk tamu kehormatan, ia memilih kursi plastik sederhana di sisi samping. Di kiri-kanannya duduk Yohana dan Rojali, keduanya anggun dan tenang, seperti tamu agung yang tak butuh pengakuan—karena kehadiran merekalah yang menyita perhatian sejati.

Mereka bertiga duduk sejajar, tak berkata apa-apa. Tapi kehadiran mereka cukup untuk mengguncang pesta ini.

“Mas Bagas, bisa kita mulai akadnya?” suara penghulu membuyarkan lamunan Bagas yang sedari tadi tak henti melirik ke arah kursi plastik tempat Ratih duduk.

Ada sesak yang menekan dadanya. Penyesalan menyesap perlahan—mengenang semua kenangan bersama Ratih, dan membandingkannya dengan kenyataan hari ini. Ratih tidak datang sebagai perempuan yang hancur. Ia datang sebagai pemenang—dengan tenang, anggun, dan tak tergoyahkan.

“Baik, Pak…” jawab Bagas pelan, suaranya gugup. Tangannya sedikit bergetar.

Sinta di sisi lain tak kalah gelisah. Sejak kemunculan Ratih, pikirannya kacau. Semua rencana yang ia susun—dari fitnah, penghinaan, hingga harapan melihat Ratih tersungkur—runtuh seketika. Yang muncul bukan Ratih yang menangis dan lusuh, tapi Ratih yang tersenyum dengan sorot mata yang menghujam. Senyum yang justru membuat Sinta merasa telanjang—terbongkar, terhina, tak berarti.

Penghulu mulai membacakan ijab kabul. Semua mata menatap Bagas, menanti satu kalimat suci yang akan mengikat hidup dan masa depannya.

“Bagas bin Samsuri, saya nikahkan engkau dengan Sinta binti…” suara penghulu mengalun tenang.

Bagas menarik napas. Matanya sempat terarah ke depan, tapi sebelum membuka mulut, pandangannya terpaku pada Ratih—yang menatapnya datar, tanpa benci, tanpa harap… hanya tenang. Dan itu yang membuatnya semakin goyah.

Dengan suara tercekat, Bagas mengucap,

“Saya terima nikahnya… Ratih binti…”

Semua langsung terdiam.

Waktu seolah membeku.

Wajah penghulu berubah tegang. Para tamu saling berpandangan. Beberapa langsung menutup mulut menahan keterkejutan.

Sinta membelalak. Nafasnya tercekat. Wajahnya memucat, dan matanya menatap Bagas seperti tak percaya apa yang baru didengarnya.

Bagas sendiri tersentak. Ia membeku, lalu buru-buru menunduk, mencoba memperbaiki ucapannya. Tapi semua sudah terlambat.

Nama Ratih telah terucap.

Dan semua orang tahu… siapa yang sebenarnya ada di dalam hati Bagas.

Ijab kabul diulang, tapi semua orang tahu—kejadian yang sudah berlalu tak bisa dihapus. Nama Ratih yang terucap di tengah akad menjadi sejarah yang memalukan, bukan hanya untuk Bagas… tapi juga untuk Ratih. Walau ia tak bersalah, tapi lidah-lidah kampung tak peduli soal benar atau salah—mereka hanya peduli pada cerita yang bisa mereka bicarakan sepanjang minggu.

Sementara itu, dari deretan kursi plastik, satu kejadian lain menarik perhatian tamu-tamu yang jeli.

Pak Camat dan istrinya, Bu Indah, tiba-tiba berdiri. Wajah Bu Indah tampak kaget, lalu menyipitkan mata saat menatap seorang perempuan bergaun elegan.

“Yohana?” ucap Bu Indah, suaranya bercampur heran dan senang.

“Tante… sudah lama sekali tidak jumpa,” balas Yohana ramah sambil berdiri dan memeluk ringan wanita itu.

“Ya ampun, ternyata kamu toh yang bikin proyek wisata di kampung ini…” kata Bu Indah, lalu menoleh ke Pak Camat. “Mas, ini Yohana… keponakan jauh dari keluarga Ibu saya, yang sekarang jadi pengusaha besar itu!”

Mereka pun duduk berlima di kursi plastik—Pak Camat, Bu Indah, Yohana, Rojali, dan Ratih. Obrolan mereka ringan, hangat, dan penuh tawa kecil. Ratih sesekali tersenyum, tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat siapa pun yang memandang merasa segan.

Aneh rasanya.

Baru saja Pak Camat menolak tawaran makan dari Narti berkali-kali, katanya harus buru-buru karena banyak urusan lain. Tapi kini ia duduk santai, tertawa dan mengangguk-angguk saat Yohana dan Ratih berbicara. Seolah waktu tak berjalan, seolah seluruh pestanya Sinta bukan hal penting dibanding percakapan mereka.

Para tamu mulai saling melirik. Berbisik. Siapa sebenarnya Ratih? Kenapa Pak Camat lebih tertarik ngobrol dengan mereka daripada dengan keluarga pengantin?

Narti menahan amarahnya dengan senyum kaku. Ia kembali menawari makan—sekadar jaga muka—tapi lagi-lagi ditolak halus.

“Aduh, Bu… nanti saja, ya. Lagi asyik ngobrol, nih,” sahut Bu Indah sambil menepuk tangan Ratih pelan.

Dan saat itu juga, posisi sosial pun bergeser diam-diam. Yang duduk di kursi plastik justru menjadi pusat kekaguman… sementara yang di pelaminan mulai tampak seperti bayang-bayang dalam pestanya sendiri.

Setelah sekitar tiga puluh menit mengobrol hangat, Pak Camat dan Bu Camat akhirnya pamit pulang. Mereka bersalaman dengan Yohana, Rojali, dan Ratih dengan penuh hormat sebelum naik ke mobil dinas mereka.

Saat mobil menjauh, Ratih berdiri anggun bersama Yohana dan Rojali. Bertiga, mereka melangkah menuju pelaminan—membuat kerumunan tamu otomatis membuka jalan.

Jantung Bagas berdegup kencang. Kehadiran Ratih hanya beberapa langkah darinya membuat pikirannya kacau. Di balik senyum Ratih yang tenang, Bagas merasa semakin kecil. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, tekad pun tumbuh—ia berjanji akan mendapatkan Ratih kembali, bagaimanapun caranya.

Ratih menyalami Sinta dan Bagas, mengucapkan selamat dengan senyum lembut namun menusuk. Senyum itu tak menyindir, tapi juga tak merendah. Senyum orang yang telah menang.

Lalu ia beralih ke Narti, menyodorkan tangan dengan sopan.

Narti membalasnya sambil berbisik pelan di sela senyumnya yang kaku, “Habis ini kamu ganti baju, bantu cuci piring.”

Tapi sebelum Ratih bisa menjawab, suara Yohana terdengar.

“Ehm…” dehemnya pelan namun tajam. “Ibu tahu kan, Pak Sardi saja tidak datang. Tapi Pak Camat bisa hadir. Ibu tahu itu karena siapa?”

Nada suara Yohana tenang, namun berisi. Bukan sekadar pertanyaan—melainkan pernyataan tak terbantahkan. Semua orang tahu, secara logika, jika Sardi yang pejabat desa saja tak hadir, maka seharusnya Camat pun tak datang… kecuali ada sosok yang lebih tinggi pengaruhnya.

Yohana menatap langsung ke mata Narti. “Kalau ibu macam-macam sama Ratih, aku bisa bubarkan pesta ini. Biarkan Ratih menikmati acara ini sebagai tuan rumah,” ucapnya tegas.

Narti terdiam. Lidahnya kelu. Aura Yohana terlalu kuat, terlalu menekan. Tadi dia menyaksikan sendiri—sosok itu bisa duduk santai ngobrol empat mata dengan Pak Camat selama setengah jam penuh. Itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh orang biasa.

“Y-ya sudah, Nak… nikmatilah pestanya,” ucap Narti akhirnya, menyerah sepenuhnya.

Ratih mengangguk pelan, lalu melangkah menuju Sinta. Senyumnya tetap terjaga, hangat dan sopan. Di hadapan semua orang, ia mengulurkan tangan.

“Selamat ya, Sinta…”

Sinta membeku sejenak. Wajahnya pucat, tapi demi menjaga wajah di hadapan tamu, ia membalas senyum dan jabatan tangan itu—meski hatinya terasa remuk.

Tak lama kemudian, fotografer mendekat. “Mbak, boleh minta foto bareng ya… bertiga.”

Sinta sempat hendak menolak, tapi fotografer dengan lembut memaksa. “Ini dokumentasi penting, Bu. Cantik sekali… sayang kalau dilewatkan.”

Akhirnya, Sinta setuju. Mereka bertiga berdiri sejajar: Ratih, Sinta, dan Yohana.

Klik.

Satu foto terabadikan.

Tapi di benak sang fotografer, sudah ada rencana. Foto itu tak akan sekadar disimpan. Foto itu akan dipajang di depan studio—karena hari ini, bukan pengantin yang jadi pusat perhatian… tapi Ratih dan Yohana.

Mobil kembali melaju perlahan meninggalkan lokasi hajatan. Udara sore terasa tenang, dan suasana di dalam mobil pun mulai mencair. Rojali yang duduk di kursi depan menoleh ke belakang, menatap Yohana dan Ratih yang masih tampak elegan meski hari mulai menjelang senja.

“Kamu hebat, Bu,” ucap Rojali kagum. “Bisa sampai mendatangkan Pak Camat ke pesta kayak gitu.”

Yohana tertawa lepas. “Hahaha… siapa aku, Rojali… jangan berlebihan. Aku nggak sehebat itu. Istrinya memang saudara jauhku, tapi kami nggak pernah akrab.”

“Terus tadi itu… waktu kamu ngomelin Bu Narti, itu cuma gertakan dong?” tanya Rojali, setengah kaget, setengah terkesima.

Yohana tersenyum licik. “Dia aja yang terlalu panik. Padahal aku cuma nanya, bukan bikin pernyataan. Soal Pak Camat datang atau enggak, aku juga sebenarnya nggak tahu pasti. Tapi setahu aku, kalau jadwal sudah ditetapkan, ya mereka akan datang. Pejabat juga manusia, Jol… mereka butuh eksistensi, butuh pengakuan dari rakyat. Salah satunya ya dengan sering muncul di acara warga.”

Ratih tertawa kecil mendengar penjelasan itu. “Jadi semua yang tadi… cuma permainan kata?”

“permainan kata dari jiwa yang tidak mudah ditindas hahah”

1
Ibrahim Efendi
buka NT utk kesekian kalinya. msh blm update... penasaran.....
Ibrahim Efendi
tak sabar menunggu lanjutannya..
Purnama Pasedu
kerenkan ratih
saljutantaloe
lagi up nya thor
Ninik
kupikir lsg double up gitu biar gregetnya emosinya lsg dapet
Ibrahim Efendi
lanjutkan!!! 😍😍😍
Ranti Calvin
👍
Purnama Pasedu
salah itu
Purnama Pasedu
sok si kamu sardi
Ibrahim Efendi
makin seru!! 😍😍
Purnama Pasedu
pada pamer,tapi jelek
Purnama Pasedu
nah loh
Ninik
edaaannn....kehidupan macam apa ini
saljutantaloe
nah loh pusing si Narti jdinya
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
saljutantaloe
nah gtu dong ratih lawan jgn diem aja skrg kan udh ada bg jali yg sllu siap membela mu
up lg thor masih kurang ini
Purnama Pasedu
telak menghantam hati
Purnama Pasedu
jurus apa lagi rojali
Purnama Pasedu
tapi kosong ucapannya
Purnama Pasedu
kayak pendekar ya
saljutantaloe
widih bg jali sakti bener dah
bg jali bg jali orangnya bikin happy
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!