Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Kabar Buruk
...•••Selamat Membaca•••...
Marchel duduk bersama dengan Alessandro dan Louis, mereka sudah mengetahui apa yang membuat Marchel mengamuk seperti itu.
“Maaf Marchel, tapi kau harus menerima kenyataan kalau saat ini Hulya tidak memiliki rasa lagi padamu. Sudah sering aku katakan padamu bukan, jangan terus menerus mengasari dia, kau sendiri yang akan rugi, lihatlah! Dexter hadir memberikan kelembutan padanya, wanita mana yang tidak akan luluh diberi kelembutan setelah sekian lama menerima kekerasan,” tutur Alessandro, Marchel hanya diam dengan tatapan kosong, sebotol minuman di tangan kiri dan sebatang rokok di tangan kanannya.
“Semakin kau begini, semakin lama kita di sini. Semangatlah Marchel, masih ada tugas penting yang harus kita selesaikan, biarkan saja Hulya puas dengan semua ini dulu,” saran Louis, Marchel tetap tak membalas, dia berdiri lalu kembali ke apartemennya.
Apartemen mewah dengan desain interior yang mengagumkan, tidak menghibur hati Marchel sama sekali. Ia memasuki bathub lalu membenamkan seluruh tubuhnya di dalam air, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Hulya dan Dexter yang saling bermesraan.
“Aku benar-benar bodoh, aku mencintaimu tapi selalu menyakitimu, sekarang apa yang harus aku lakukan? Kau sudah berpaling pada Dexter, semakin sulit bagiku untuk mendapatkan kamu lagi, Hulya,” jerit hati Marchel, dia benar-benar kalut saat ini.
...***...
Dexter dan Hulya semakin dekat, tapi Hulya sama sekali tidak membalas perasaan Dexter, baginya, Dexter hanyalah teman yang bisa menghibur dia saja.
Seperti biasa, Dexter menemui Hulya di butik, kali ini Dexter membawakan makan siang, Hulya tampak senang dengan kedatangannya.
Sambil makan, mereka tetap bicara hal ringan yang membuat suasana terasa lebih baik dan hangat.
“Aku pikir ini kesempatan untukmu bisa kabur dari Marchel, aku akan membantu dirimu untuk pergi darinya.” Hulya terdiam mendengar perkataan Dexter, karena selama Marchel pergi, tidak pernah terlintas di benaknya untuk kabur.
“Kau kan tahu sendiri, dia punya banyak anak buah.”
“Haha aku juga punya banyak, kau tidak perlu khawatir.”
“Hm... sebenarnya aku tidak ingin kabur lagi darinya, sudah cukup aku membuat dia emosi setiap saat, Dexter.”
“Maksudmu?”
“Begini, aku dan dia mungkin memang ditakdirkan untuk bersama, aku sangat mencintai Marchel dan sekarang aku sedang hamil dua bulan, aku tidak ingin anak ini kehilangan sosok ayah,” ungkap Hulya, Dexter sedikit kaget mendengarnya.
“Kau hamil lagi? Bagaimana jika dia tahu ini? Dia akan mencelakai kamu lagi.”
“Entahlah, sepulangnya dia dari Norwegia, aku akan katakan baik-baik.” Dexter kini mengerti, kenapa Hulya tidak mau menerima cintanya, karena wanita itu sedang hamil anak Marchel.
Dexter menggenggam tangan Hulya, menatap mata wanita itu, lalu berkata, “Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, aku berharap bisa mendapatkan wanita baik dan tulus sepertimu, Hulya.”
“Semoga kebahagiaan selalu mengiringi langkahmu, Dexter.”
Mereka kembali melanjutkan makan siang, besok Dexter akan kembali ke Italia dan kemungkinan, mereka akan sangat jarang bertemu lagi.
Hulya yang baru saja sampai di rumah, langsung berendam untuk menyegarkan pikiran, hatinya merasa rindu pada Marchel, sudah lebih dari seminggu, pria itu sama sekali tidak menghubunginya.
Selesai berendam, Hulya memilih untuk rebahan, rasa lelah dan letih menggerogoti dirinya, belum lagi pikirannya yang benar-benar terbebani dengan semua ini. Baru saja memejamkan mata, Hulya mendapat telepon dari Alessandro yang dengan cepat dia angkat.
“Hulya, Marchel mengalami kecelakan fatal dan kondisinya saat ini terluka parah, dia koma.” Hulya langsung mendudukkan tubuhnya, kepalanya terasa semakin berat mendengarkan kabar itu.
“Tolong siapkan penerbanganku ke sana, Alessandro. Aku ingin bertemu dengan Marchel.” Suara Hulya bergetar.
“Dia berpesan untuk tidak membawa kamu ke sini, cukup berbahaya untukmu, kami pasti akan mengantarkan dia pulang, entah dia sembuh atau mati.” Tangan Hulya semakin tidak kuat memegang benda pipih di telinganya itu, air matanya meluncur bebas mendengar perkataan Alessandro.
“Kalau kamu tidak mau, aku akan pergi ke sana sendiri.” Hulya mematikan panggilan itu, memeluk kedua lututnya lalu meraung, sangat sakit baginya mendengar kabar buruk mengenai pria yang sangat dia cintai itu.
Hulya menyiapkan beberapa pakaiannya untuk pergi ke Norwegia, dia akan melakukan penerbangan hari ini juga. Mata Hulya sembab, tidak kuat menahan kepedihan ini, dadanya sesak.
“Kenapa kau begini Marchel? Kau benar-benar membuat aku tidak bisa tenang,” tangis Hulya sembari mengemasi barang-barang yang dia perlukan, sesekali dia menghapus air matanya.
Beberapa anak buah Marchel yang berjaga di mansion itu melarang Hulya untuk pergi malam-malam begini, setelah perdebatan panjang, akhirnya Hulya mengalah, dia kembali ke kamarnya dan menghubungi Alessandro, tapi kali ini tidak diangkat.
Dia mencoba menghubungi Louis, Justin tapi tak ada seorang pun yang bisa dia ajak komunikasi.
“Mereka semua pada ke mana? Apa misi ini benar-benar membuat mereka kelimpungan? Ya Tuhan, tolong jaga Marchel, aku tidak ingin kehilangan dia.” Hulya kembali menangis, dadanya terasa sesak luar biasa.
Sudah larut malam, Hulya masih tidak bisa tidur, pikirannya benar-benar terganggu sekarang. Dia tidur dengan gelisah, berharap Alessandro, Louis atau Justin mengabarinya mengenai Marchel.
Karena lelah menangis, akhirnya Hulya tertidur sambil memeluk guling, ponsel dia letakkan di dekat kepalanya agar siapa pun yang menghubungi bisa langsung ia ketahui.
Waktu terus berputar, hingga pagi menjelang, Hulya yang memang kelelahan telat bangun. Dia kaget saat melihat cahaya matahari sudah sangat terang di balik gorden kamar.
Hulya langsung bergegas melirik jam dinding dan sudah menunjukkan pukul 10 pagi, dia merutuki kebodohannya ini.
“Pakai acara kesiangan pula.”
Tanpa buang waktu, Hulya bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dia sudah memesan tiket untuk ke Norwegia hari ini menyusul Marchel. Padahal dia sendiri tidak mengetahui di mana posisi Marchel sekarang karena Norwegia itu cukup luas, yang jelas, dia harus sampai di negara itu.
Baru keluar dari kamar mandi, kepala Hulya terasa begitu pusing dan tubuhnya terasa lemah, mual juga menyerang.
“Kenapa harus pusing sekarang? Aku harus pergiiiii akhhh,” geram Hulya sambil memegangi kepalanya.
Cukup lama dia meringis kesakitan, Hulya merebahkan tubuhnya terlebih dahulu di atas kasur hingga rasa pusing itu perlahan menghilang, tanpa dia tahu, dia malah ketiduran dengan hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya.
Entah berapa lama dia tertidur, Hulya bangun dengan kondisi lebih baik dari sebelumnya, dia teringat kalau penerbangannya siang ini jam satu. Hulya langsung mengganti pakaian tidurnya itu dengan pakaian yang telah dia siapkan untuk pergi.
Setelah semua beres, Hulya keluar kamar dengan cepat namun ada yang ganjal di hatinya. Hulya berdiri cukup lama di depan kamar, memikirkan sesuatu yang aneh lalu kembali melengos ke dalam kamar.
“Sepertinya ada yang aneh, tapi apa ya?” pikir Hulya, dia menggeleng cepat lalu teringat kembali kalau sebelum tidur, dia hanya mengenakan handuk dan saat bangun tadi, dia sudah mengenakan pakaian tidur lengkap dengan dalaman.
“Siapa yang memakaikan pakaian padaku?” desis Hulya.
...•••BERSAMBUNG•••...
Cepat kak lanjut lagi ke series 2 pliiisss gak sabar aku nungguinnya