7 tahun bertahan, lalu ditinggal tanpa alasan. Hanna pikir, cinta sudah cukup menyakitkan untuk dicoba lagi dan mungkin sudah saatnya ia memilih dirinya sendiri.
Namun jika bukan karena cinta yang pergi tanpa pamit itu.. mungkin dia tidak akan bertemu dengan dr. Hendra.
Sayangnya, dr. Hendra seperti mustahil untuk digapai, meski setiap hari mereka berada di bawah atap yang sama.
Kali ini, akankah Hanna kembali memilih dirinya sendiri? Entahlah..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon deborah_mae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JARAK YANG TAK TERUCAP
Sudah hampir tiga Minggu sejak percakapan terakhir Hanna dan dr. Arga malam itu — pesan singkat sederhana dari dr. Arga yang bertuliskan "Selamat malam, kak Hanna. Jangan lupa tablet tambah darah sekali seminggu sebelum tidur, ya.". Sejak malam itu pula, percakapan mereka mulai terasa.. Berbeda.
Bukan berhenti.
Hanya berkurang.
Seolah seseorang sedang perlahan menutup pintu, tapi tetap menatap dari celah kecil yang tersisa.
Hanna menyadarinya.
Biasanya dr. Arga akan mengirim laporan setiap minggu atau bahkan meminta data daily transaction setiap hari dengan tambahan kalimat ringan seperti "sinyal hari ini lumayan baik, semoga awan juga baik ya di sana."
Tapi sekarang, pesannya kaku lagi. Formal. Kembali ke format awal: singkat, to the point dan selesai
📩 dr. Arga (Klinik Kebun)
Kak Hanna, data pasien sudah dikirim. Mohon konfirmasi penerimaan.
📩 Hanna
Sudah saya terima, dok. Terima kasih.
Selesai.
Tidak ada lanjutan.
Tidak ada "hehe" atau "emot senyum" seperti biasanya.
Hanna menatap layar ponselnya lama. Bukan karena kecewa, tapi karena ada sesuatu yang ia rasa hilang — sesuatu yang kecil tapi pernah membuat harinya terasa hangat.
Sementara itu, di klinik kebun yang sunyi, dr. Arga menatap ponselnya dengan wajah lelah.
Pesan dari Hanna masih terbuka, tapi jarinya berhenti di atas keyboard.
Ada begitu banyak hal yang ingin ia ketik — tapi semuanya berhenti di dada, tak berani keluar.
Ia menutup ponselnya pelan, menatap langit senja di luar jendela klinik.
"Kenapa makin sering denger suaranya makin berat ya rasanya?" gumamnya pelan.
Beberapa hari terakhir, ia gelisah.
Bukan karena pekerjaannya, tapi karena dirinya sendiri.
Ia mulai sadar, setiap kali notifikasi dari Hanna muncul, hatinya berdebar aneh. Dan setiap kali membaca pesannya, ia merasa ingin tahu lebih jauh. Tentang Hanna. Tentang kisahnya. Tentang matanya yang terlihat tenang di foto profil itu.
Namun di sisi lain, logika menamparnya.
Dia tahu
Dia tidak boleh jatuh terlalu dalam.
Mereka hidup di dua keyakinan yang berbeda, dan dr. Arga tahu betul berapa rumitnya dunia yang terpisah oleh hal itu.
Ia pernah melihat bagaimana perbedaan keyakinan bisa menghancurkan seseorang. Ia pernah jadi saksi dari kisah cinta yang gagal hanya karena doa yang mereka panjatkan tidak menuju arah yang sama.
Dan ia tidak ingin menyeret Hanna ke dilema itu.
Atau mungkin.. tidak ingin dirinya sendiri hancur duluan.
Sejak saat itu, dr. Arga mulai menjaga jarak. Ia masih sopan, masih profesional, tapi sudah tak lagi hangat
Ia berusaha menormalkan dirinya, menolak perasaan yang mulai tumbuh terlalu jauh.
Namun setiap kali Hanna membalas pesannya dengan emot senyum, dadanya tetap bergetar pelan.
Ada rasa bersalah yang aneh. Seolah ia sedang memadamkan cahaya yang justru membuatnya hidup.
Suatu malam, akhirnya Hanna memberanikan diri mengetik pesan :
"Dok, akhir-akhir ini sibuk banget ya? Chatnya juga udah jarang😊"
Pesan itu dikirim setelah Hanna menatap layar cukup lama — menimbang apakah dia terdengar kepo, atau hanya sekedar peduli. Pesan terkirim, tapi tidak langsung dibaca.
Hanna menunggu. Lima menit. Sepuluh menit.
Sampai akhirnya muncul tanda "read", tapi tanpa balasan.
Beberapa jam kemudian, tepat sebelum Hanna tidur, ponselnya berbunyi.
"Iya, maaf Kak Hanna. Lagi banyak pasien disini. Hehe"
Cuma itu.
Dan Hanna tahu, "hehe" itu bukan tawa yang tulus, tapi tanda bahwa sesuatu sudah berubah.
Ia menarik nafas panjang.
Tidak tahu kenapa rasanya seperti kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat benar-benar ia miliki.
Sementara di kejauhan, dr. Arga menatap langit malam dari jendela klinik. Di tangannya, ponsel itu masih menyala, menampilkan chat terakhir dari Hanna. Ia mengetik sesuatu pelan.
"Kalau aku terus ngobrol sama kamu, aku takut jatuh terlalu dalam." lalu dihapus lagi
"Maaf, aku cuma takut". Dihapus lagi
"Gak jadi"
Akhirnya dia menutup ponselnya. Menatap kosong ke luar, membiarkan perasaannya tenggelam di balik suara jangkrik malam.
Kadang cinta bukan tentang memiliki — tapi tentang tahu kapan harus berhenti sebelum semuanya jadi salah.
Dan bagi dr. Arga, mungkin inilah saatnya.
Namun, tanpa dia sadari, doa kecil di hatinya belum benar-benar berhenti. Doa yang bunyinya sederhana:
"Tuhan, kalau dia memang bukan untukku, tolong biarkan aku tetap mendoakannya tanpa sakit."