Tidak pernah menyangka pernikahan ketiga Naya Aurelia (32th) mendapatkan ujian yang penuh dramatis.
Ia dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara memilih suami atau anak kandungnya.
Berawal dari suaminya Juan Bagaskara (27th) yang tidak mau menerima Shaka sebagai anak sambungnya sehingga Naya dengan terpaksa harus berpisah dengan putri kesayangannya. Ia menitipkan Shaka pada bi Irah asisten rumah tangganya yang diberhentikan dari rumah tersebut.
Bertahun-tahun Naya tersiksa batinnya karena ulah suami yang usianya lebih muda darinya. Apalagi suaminya pun memiliki pekerjaan di luar dugaannya yang membuatnya sangat terpukul. Pekerjaan apa kira-kira?
Disisi lain ia sangat ingin kembali hidup bersama anaknya. "Nak, izinkan mama kembali meraih cintamu..." ucap Naya lirih.
Akankah kebahagiaan berpihak pada hidup Naya selanjutnya?
Ikuti kisahnya!💕
Follow author ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 Tanya Alamat
Elana merasa wanita yang ada di hadapannya itu bukan wanita baik-baik.
"Masa iya selera kak Arya seperti ini?" monolognya dalam hati.
Elana sama sekali tidak percaya. Yang ia tahu, kakak sepupunya itu sangat menyukai wanita berhijab yang memiliki attitude baik di situasi apa pun. Elana juga sangat tahu kalau kakak sepupunya belum memiliki kekasih dan lebih mengejar karir untuk masa depannya. Ia merasa dilema antara memberitahu atau tidak.
"Mbak. Kok ditanya diam saja. Mbak masih punya mulut, kan? Tinggal bilang tahu atau enggak. Kalau tahu di mana? Jangan diaaam aja, kayak aku engga ada kerjaan lain aja!"
Deg
Elana terhenyak, tenyata wanita yang mengaku kekasih sepupunya itu tidak hanya berpenampilan seperti artis namun ia juga bertutur kata yang tidak sopan. Belum juga kenalan sudah bicara yang tidak baik. Benar-benar tidak masuk kriteria keluarga Arya yang mengidamkan wanita bermartabat, cerdas dan berkarakter.
"Huft...baru bertemu saja sudah menunjukkan sikap yang tidak baik. Lagaknya udah kayak artis. Amit-amit punya ipar model ondel-ondel begini. Bisa-bisa setiap hari di rumah kak Arya perang terus, hhhhhhiih," monolognya dalam hati, dia merinding lalu memalingkan mukanya.
Terbersit dalam pikirannya untuk mengerjai wanita tersebut. Namun di luar dugaan Mang Tono mengatakan hal yang mengejutkan.
"Eh mamang lupa Mbak. Mbak ini memang tuna rungu. Ga bisa dengar apalagi ngomong," ujarnya sambil menenteng bungkusan pesanan Elana.
"Lha tadi yang nanya hubungan saya dengan nama di kartu ini kan dia?"
Protes Arisa merasa ada yang janggal. Ia tidak terima karena wanita itu jelas-jelas tadi menanyakan hal tersebut. Ini kenapa mendadak jadi tuna rungu?
"Itulah hebatnya Mbak ini. Punya kelebihan. Suaranya akan terdengar kalau lawan bicaranya berbicara dengan sopan. Ucapan mbak yang pertama kan sopan tuh, makanya direspon dengan baik. Nah pertanyaan kedua, mbak ngomongnya engga disaring, makanya mulutnya jadi terkunci. Paham kan mbak? Ternyata ucapan itu sangat menentukan attitude seseorang lho."
Arisa bergeming merasa apa yang dikatakan tukang nasi goreng itu benar adanya. Ia mengibaskan rambutnya.
"Ya udah sekarang katakan di mana rumah mas Arya. Mbak pasti tahu orangnya kan?"
Elana masih belum terusik dengan ucapan Arisa. Dia masih mengikuti permainan yang diciptakan mang Tono.
"Haist si Mbak dibilangin ngomongnya yang sopan," ujar mang Tono mengingatkan.
"Kalau pengen dijawab dengan baik sama Mbak ini ya harus bicara dengan baik. Mbak sekolah tinggi kan? Masa kayak gitu aja harus diajarin mbak. Aku aja yang cuma lulusan SMA ngerti tata cara bertanya sama orang yang belum dikenal. Masa Mbak ga bisa?" lanjut mang Tono penuh selidik
Elana yang mendengarnya menahan senyum. Mang Tono bergitu berani berhadapan dengan wanita asing yang sombong. Berkali-kali wanita itu kalah telak. Ia merasa bersyukur masih ada orang yang mau melindungi dari orang semacam Arisa. Ucapan mang Tono tepat sasaran.
"Ini Mbak El pesanannya sudah jadi."
Mang Tono memberikan sebungkus nasi goreng yang siap diangkut oleh pemesannya.
"Terima kasih Mang Tono. Mang Tono cerdas," puji Elana sambil menyambar bungkusan nasi goreng dengan senyuman yang tertahan karena melihat ekspresi Arisa.
"Sama-sama cantik," Jawab mang Tono memuji Elana.
"Nah kan suaranya keluar. Ini pasti sengaja ngerjain, kan?" emosinya mulai tersulut lagi.
"Ya engga lah. Suaranya terdengar karena Amang orang baik dan berkata baik, jadi otomatis bibirnya mengajaknya untuk berbicara," ujar mang Tono nyengir tanpa dosa.
"Hadeuh dasar tukang nasgor. Hey Mbak jangan pergi dulu. Kamu belum menjawab pertanyaanku!"
Elana tidak menggubris teriakan Arisa yang terus meminta jawaban atas pertanyaannya tadi. Dia menganggap suara Arisa sebatas angin lalu.
Arisa berusaha mengejar Elana sampai hak sandalnya patah.
"Hadeeeeuuuh apes bener malam ini. Ngejar-ngejar orang sombong. Aku sumpahin tuh orang jadi tuna rungu beneran!" sungut Arisa kesal.
Arisa berjalan terseok menuju bangku yang ada di tempat itu. Baru saja Arisa duduk. Mang Tono menyuruhnya untuk pindah.
"Mbak maaf tolong pindah ya! Bangkunya mau diambil. Aku mau ngider lagi ini," ujar mang Tono dengan nada tegas.
"Tolong lah mang, kakiku sakit banget ini. Kayaknya kakiku keseleo deh," ujar Arisa sambil memijat kakinya yang terasa nyeri sambil sesekali meringis kesakitan.
Mang Tono melirik. Merasa kasihan juga dengan wanita yang ada di belakangnya.
"Makanya kalau pake sendal atau sepatu ga usah neko-neko yang berhak segala. Kamu kan tinggi, pakelah yang teplek. Sendal jepit kek? Itu lebih aman, mau lari-lari, jungkir balik sekali pun ga bakalan patah," ujarnya sambil memasukkan mangkok yang sudah dicuci ke dalam gerobak.
"Ini sendal mahal tahu..." katanya sambil membuka sendal sebelah kanannya.
"Mau harganya mahal jutaan sekali pun kalau membuat kamu celaka, buat apa? Barang mahal kok bangga. Beli yang murah asal awet. Jadi orang tuh biasa aja, jangan sok-sokan gagayaan segala. Mending sepatunya beli dari uang sendiri kalau beli dari hasil minta ke orang tua? Bikin malu saja!"
"Hadeuh Mang udah dong ceramahnya. Mamang bisa bantuin aku ga sih, ngurut kaki gitu. Ini sakit banget tahu!"
Mang Tono bergeming melihat Arisa yang meringis kesakitan. Ada rasa kasihan juga dengan keadaannya malam ini. Namun di sisi lain dia merasa sebal.
Akhirnya Mang Tono mau tidak mau membantu Arisa.
"Sini aku urut saja,"
Mang Tono menarik kaki kiri Arisa yang merasa sakit. Seraya berjongkok di hadapan Arisa.
"Aaaauuuuw! pelan-pelan atuh Mang," Arisa mencengkram punggung Mang Tono.
Mang Tono dengan sabar mengurut kakinya sampai membaik.
"Gimana masih sakit?"
Arisa menggerak-gerakan kaki kirinya secara perlahan lalu menggerakannya dengan cepat.
"Waaah hebat ini, kakiku sudah tidak sakit lagi. Makasih ya Mang,"
"Syukurlah kalau kamu sudah tidak sakit lagi. Sebentar!"
Mang Tono pergi ke warung seberang untuk membeli sendal jepit. Tidak lama kemudian dia kembali lagi dengan menyerahkan sendal tersebut.
"Nih pake! Buang saja sendal yang bikin celaka itu. Sekarang minggir, aku mau ambil bangkunya. Gegara kamu aku telat ngider!" ujar Mang Tono dingin.
Arisa harus rela sendal mahalnya di tinggalkan, karena dipakai pun percuma sudah tidak layak lagi.
"Iya maaf,"
"Gitu dong minta maaf kalau salah."
Arisa berdiri, menatap Mang Tono yang mulai beranjak pergi.
"Mang...!"
"Apa lagi?" tanya Mang Tono mengurungkan niatnya sejenak untuk beranjak dari tempat itu.
"Mang makasih ya! Tapi bolehkah aku ikut pulang? Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Rumah kekasihku saja belum ketemu. Boleh ya mang?"
Mang Tono hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku rela kok kalau aku harus tidur di dalam sementara mamang tidur di luar!"
"Apa?"
Up lg thor
Up lg thor