Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Ritme Manis di Balik Salju
Salju di Boston masih sering turun, sesekali lebat, namun tidak lagi terasa menusuk seperti awal Februari.
Kini, pertengahan bulan itu, suasana di penthouse Aaron Silvan telah bertransformasi sepenuhnya. Dinding-dinding kaca yang dulunya memantulkan kesunyian dan kesibukan Aaron, kini menghantarkan melodi baru: tangisan bayi, tawa lembut Claire, dan sesekali suara berat Aaron yang kini terdengar lebih lunak.
Pagi hari adalah ritual suci yang baru. Claire akan terbangun lebih dulu oleh ocehan atau rengekan pelan Ethan dari bassinet di samping ranjang mereka. Aaron, yang biasanya sudah terjaga lebih dulu, kini akan membalikkan badan, matanya setengah terbuka, mengikuti Claire yang beranjak.
"Pagi, Ethan," bisik Claire pada Ethan, mengangkatnya dengan lembut untuk diganti popoknya.
Aaron bangkit, meregangkan tubuhnya, lalu berjalan ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, ia akan keluar, mengenakan kaus t-shirt abu-abu gelap dan celana training hitam, rambutnya masih sedikit basah, aroma mint dari sabunnya menguar. Ia akan duduk di tepi ranjang, memerhatikan Claire.
"Sudah bangun, Tuan Aaron?" Claire akan menggodanya, tahu betul Aaron sudah terjaga sejak awal.
Aaron hanya mengangguk, lalu tangannya terulur, menyentuh lembut kaki mungil Ethan yang menggeliat. "Dia... butuh sesuatu?"
"Hanya ganti popok dan sarapan susu," jawab Claire, tersenyum geli melihat Aaron yang kini begitu lugu dalam menghadapi bayi.
Setelah popok Ethan diganti, Claire akan menyerahkannya pada Aaron. "Boleh kau gendong sebentar? Aku mau menyiapkan booster."
Aaron akan menerima Ethan dengan hati-hati, memposisikannya di lengannya, lalu menatap wajah kecil itu. Mata Ethan yang bulat akan menatapnya polos, seolah membaca jiwanya. Aaron seringkali merasa terpaku oleh tatapan itu, sebuah koneksi tak terlihat yang mengikatnya. Ada senyum tipis yang sering muncul di bibirnya saat Ethan menggeliat atau mengoceh padanya.
Setiap hari, Aaron menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Jika tidak ada rapat penting di kantor, ia akan memilih bekerja dari ruang kerja di penthouse, atau bahkan dari sofa ruang keluarga, sekadar agar bisa dekat dengan Claire dan Ethan.
Pemandangan Aaron dengan laptop di pangkuan, sesekali melirik bassinet tempat Ethan tertidur pulas, atau melihat Claire yang sedang menyusui di sofa lain, telah menjadi pemandangan biasa.
"Apa kau tidak perlu ke kantor?" tanya Claire suatu pagi, saat Aaron sedang melipat lengan kemejanya di sofa, bersiap untuk bekerja.
Aaron mengangkat bahu. "Ada beberapa hal yang bisa kuselesaikan dari sini." Ia tidak akan mengakui bahwa ia sebenarnya ingin berada di sini, dekat dengan mereka. Namun, Claire tahu. Ia bisa merasakan perubahan dalam diri Aaron, kehangatan yang perlahan mencairkan dinding-dinding es yang dulu mengelilingi pria itu.
Momen-momen Aaron berinteraksi dengan Ethan adalah favorit Claire. Aaron, dengan segala kekakuannya, akan berusaha menjadi ayah yang baik. Claire ingat suatu sore, Aaron mencoba mengganti popok Ethan lagi, di bawah pengawasan ketat Susan yang menahan senyum. Aaron mengerutkan keningnya, tangannya begitu besar dan berhati-hati saat mencoba mengancingkan perekat popok.
"Susan, apa ini sudah benar?" Aaron bertanya, nadanya terdengar sedikit putus asa.
"Anda sudah semakin mahir, Tuan!" Susan menjawab sambil tersenyum tulus, merasa senang melihat perubahan Aaron.
Claire terkikik geli. Aaron menoleh, menatapnya. "Kau tertawa?"
"Tidak," kata Claire, berusaha menahan tawanya, namun gagal. Aaron hanya menggelengkan kepalanya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Momen-momen seperti inilah yang membuat penthouse itu terasa seperti rumah, bukan sekadar properti mewah.
Ethan benar-benar telah menjadi pusat alam semesta kecil mereka. Setiap gerakannya, setiap tangisannya, setiap senyumnya adalah hal baru yang menarik. Claire, yang kini merasa semakin nyaman dan berani, memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekat pada Aaron. Manjanya tidak lagi terselubung malu, melainkan terang-terangan dan tulus.
Suatu sore, salju kembali turun dengan butiran-butiran besar, menempel di jendela ruang keluarga. Aaron duduk di sofa kulit favoritnya, mata tajamnya fokus pada layar laptop, memeriksa laporan. Samuel sedang membereskan beberapa dokumen di meja lain dekat jendela, sementara Susan sibuk di dapur yang terbuka, menyiapkan teh. Ethan baru saja selesai menyusu dan kini tertidur pulas di bassinet-nya di sudut ruangan.
Claire, yang baru saja selesai membereskan beberapa mainan Ethan, berjalan mendekati Aaron. Hatinya tiba-tiba dipenuhi keinginan untuk berada dekat dengan pria itu, merasakan kehangatan yang terpancar darinya. Ia tidak memedulikan Samuel dan Susan yang berada di ruangan yang sama.
Aaron kini miliknya, dan ia ingin merasakannya.
Tanpa berkata apa-apa, Claire melangkah maju. Ia duduk di pangkuan Aaron, mengangkang menghadapnya. Aaron terkejut, kelopak matanya berkedip sekali. Laptop di pangkuannya nyaris terjatuh, langsung dipindahkannya disebelah. Ia menatap Claire, alisnya terangkat, namun tidak ada kemarahan di matanya. Hanya... kejutan.
Claire tersenyum kecil, meletakkan tangannya di dada Aaron. "Kau sibuk?" bisiknya, suaranya sedikit serak, matanya menatap lekat-lekat pada Aaron.
Aaron menelan ludah. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Claire, aroma sabun bayinya yang masih melekat, dan getaran jantungnya sendiri yang kini berdetak lebih cepat. Tangannya yang bebas secara refleks melingkar di pinggang Claire, seolah takut wanita itu akan jatuh. Ia bahkan tidak memedulikan tatapan sekilas dari Samuel yang kini menoleh, lalu cepat-cepat kembali pada pekerjaannya.
"Tidak sesibuk itu," jawab Aaron, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia menutup laptopnya dengan satu tangan, meletakkannya di meja kopi. Kini seluruh perhatiannya tercurah pada Claire.
Claire menyandarkan kepalanya di dada Aaron, mendengar detak jantungnya yang bergemuruh. Tangannya bermain-main dengan kancing kemeja Aaron yang terbuka satu. "Aku hanya... ingin dekat denganmu," bisiknya, suaranya manja.
Aaron mengelus rambut Claire, membiarkan jemarinya tenggelam dalam kelembutan surai itu. "Kau tidak merasa lelah?" tanyanya, ada perhatian tulus dalam nada suaranya.
"Sedikit," Claire mengakui. "Tapi berada di dekatmu rasanya... nyaman."
Aaron mengangguk. Ia menunduk, mengecup puncak kepala Claire, sebuah kecupan yang terasa ringan, namun mengandung kehangatan yang dalam. Ethan kini telah menjadi jembatan tak terlihat yang menghubungkan mereka, menghancurkan dinding-dinding Aaron dengan perlahan.
Malam harinya, di kamar tidur, setelah Ethan tertidur pulas di bassinet-nya di samping ranjang, keheningan melingkupi mereka. Aaron dan Claire berbaring saling berhadapan, dengan tangan Aaron melingkar di pinggang Claire, menariknya mendekat.
"Tidurlah, Nona Hayes," bisik Aaron.
Claire mendongak. "Aku tidak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Aku... aku hanya memikirkan betapa beruntungnya aku," bisik Claire, menatap mata Aaron yang gelap. "Memilikimu, dan Ethan."
Aaron terdiam, menatapnya. Matanya adalah lautan dalam yang sulit ditebak. "Keberuntungan bukan hal yang kebetulan," katanya, suaranya datar namun ada nada serius. "Kau berjuang untuk itu."
Claire tersenyum kecil. "Ya. Aku berjuang." Ia menempelkan kepalanya lagi di dada Aaron, mendengar detak jantungnya yang teratur.
Perjuangannya tidak sia-sia.
Dalam beberapa minggu ini, Aaron mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam. Kenyamanan ini, kedamaian yang ia rasakan setiap kali Claire dan Ethan ada di dekatnya, adalah sesuatu yang tidak pernah ia cari, namun kini ia sangat membutuhkannya.
Ia tidak lagi melihat Claire hanya sebagai ibu dari keponakannya, atau wanita yang terikat kontrak dengannya. Claire, dengan segala kemanjaan dan semangatnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya. Dan Ethan, bayi mungil itu, adalah jangkar yang mengikat mereka.
Setiap kali Ethan menggenggam jari telunjuknya, atau menatapnya dengan mata polos, Aaron merasakan getaran aneh di dadanya. Ada rasa bangga, rasa protektif, dan cinta yang baru lahir yang mengalirinya. Ia mungkin belum menyebutnya cinta, tapi perasaan itu sudah tumbuh, perlahan namun pasti, jauh melampaui tanggung jawab semata. Aaron menyadari betapa ia menikmati peran barunya ini, betapa Claire dan Ethan telah mengubah hidupnya.
Namun, di sudut benak Aaron, sebuah pikiran samar mulai muncul, seperti riak kecil di permukaan air yang tenang. Ia tidak tahu mengapa, tetapi sesekali, ia akan merasakan keraguan tipis. Ethan... begitu mirip dengannya. Dan terkadang, ia menangkap ekspresi aneh di mata Claire, sebuah bayangan yang cepat berlalu setiap kali nama Benjamin disebut. Sebuah naluri kecil, sebuah firasat yang belum ia pahami, mulai mengusik ketenangan yang baru ia dapatkan. Sesuatu yang ia anggap remeh, kini mungkin akan menjadi lebih signifikan dari yang ia kira.
Di laci meja samping ranjang, di bawah beberapa majalah, terselip sebuah buku bersampul kulit tua. Buku harian Claire. Tak ada yang tahu isinya, kecuali Claire. Dan tak ada yang tahu, di dalamnya, tersimpan kunci dari kebenaran yang akan mengguncang dunia Aaron.