Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANJI
Ardi melangkah ke ruang keluarga, di sana sang ibu tampak mengobrol dengan wanita paruh baya yang sepertinya lebih tua dari dirinya, Ardi menebak mungkin dialah tukang urut yang dimaksud sang kakak.
"Yakin nih tukang urutnya?" Ardi berbisik pada Nena yang berada di sebelahnya.
"Kayaknya sih iya," ucap Nena ikut berbisik.
"Kok modelannya kaya dukun beranak, mau ngurut mbak kali nih."
"Enak aja, udah cepetan lo buka baju, awas kalo jerit-jerit, anak gue lagi tidur. Berisik."
Ardi berdecak, membuka kaus yang ia kenakan dan merebahkan diri di kasur lantai yang telah disediakan dengan posisi tengkurap. Jerit-jerit gimana, udah tua gitu tenaganya semana si, palingan juga dielus-elus doang, pikir Ardi.
"Anjiirrr!! Matiiii!!! Bu sakit, Bu sakiiiit...!"
"Ini tangannya udah agak bengkak emangnya kapan jatohnya?" Tanya si tukang urut, Ardi yang tidak mampu menjawab karena menahan sakit pijatan di lengannya itu hanya menggeleng.
"Udah hampir tiga hari deh kayaknya, apa lebih ya, lagi malam minggu dia jatohnya." Marlina yang menjawab.
"Salah urat ini lengannya, untung nggak terlalu parah."
Iya salah urat, abis diurut jadi patah tulang. Ardi mengomel dalam hati. "Anjiirr jan kenceng-kenceng Mboknyaaaaa!!"
"Berisik banget lo Ar, diurut doang juga." Nena mengomel.
"His! Malu ada Karin, lemah kamu, Ar." Marlina mengingatkan.
Ardi yang masih menahan sakit menolehkan kepala. Karin tampak setengah mati menahan tawa. "Tolongin abang, Dek," keluhnya.
"Idih najis!" Nena yang gemas sampai melempar bantal sofa. Kemudian menghampiri sang suami yang tampak ikut menahan senyum. "Mas Justin mau diurut juga, mumpung ada si Mbok."
Justin mengerjap panik, "ah enggak, makasih aku sehat wal afiat," tolaknya dengan memberi alasan.
"Bang gantian Baaaang!!"
**
Selepas di urut dan solat isya, Ardi merebahkan dirinya dengan posisi tengkurap di atas kasur, membuka aplikasi novel plus komik untuk membaca updetan terbaru Kanjeng ribet.
Awalnya pemuda itu tersenyum kecil, kemudian semakin lebar, dan di pertengahan cerita dia berhasil tertawa. "Anjir, anak setan, kenapa berasa lagi nyeritain hidup gue si ini episode," gumamnya.
Namun di part akhir cerita, dia mulai merasa ikut sakit hati, jadi merasa ikut sedih juga, bagian yang paling berkesan di episode kali ini saat Kanjeng ribet menuliskan.
Aku laksana hujan, yang akan membuatmu basah dan kedinginan, jika kamu tidak suka, silahkan berteduh saja.
Ardi mulai membuka kolom komentar, berhubung banyak sekali yang ikut-ikutan menamai akunnya dengan nama Kanjeng, dia pun ingin ikut menjadi seorang kanjeng juga.
Kanjeng Rusuh: Aku laksana api, yang akan membuatmu terbakar dan menjadi abu, jika kamu tidak sanggup silahkan padamkan saja.
Beberapa saat kemudian dia mendapatkan balasan di komentar.
Kanjeng Ribet: Aku laksana ombak di lautan, yang akan membuatmu tenggelam dan terombang-ambing, jika kamu tidak mampu silahkan menepi saja.
Kanjeng Rusuh: Aku laksana batu kerikil, yang akan membuatmu tersandung dan jadi luka, jika kamu tidak bisa silahkan buang saja.
Kanjeng Ribet: Aku laksana embun pagi, yang akan memaksamu terbangun dan jadi ngantuk, jika kamu tidak bersedia silahkan tidur saja.
"Anjir, tau aja lo gue nggak bisa bangun pagi." Ardi jadi mengomel. Kemudian kembali mengetikkan balasan.
Kanjeng Rusuh : wkwkwk wkwk wkwkwk (ketawa se layar)
"Ah masa gini doang balesannya, tolong kerjasamanya dong, Bang," protes gadis remaja yang menjadikan punggung Ardi sebagai bantal kepalanya.
"Kalah gue perang komen sama penulis, ribet banget sumpah. Komentar aja pake mikir."
Karin tertawa, mereka memang tengah berada di kamar Ardi. "Sini biar Karin aja yang ngetik," ucapnya sembari merebut hp sang abang.
Setelah selesai Karin kembali menyerahkan benda di tangannya pada Ardi.
Pemuda itu membacanya. "Aku laksana ojek online yang akan membuatmu menunggu dan jadi bete, jika kamu tidak sabar silahkan cencel saja. Njiir lo nyindir gue ya." Ardi jadi tertawa.
Karin beranjak duduk, "abang katanya mau ngajarin Karin main gitar," ucap gadis itu
Ardi merubah posisi jadi terlentang, mengambil bantal untuk menyangga kepalanya. "Bukannya lo ikut ekskul musik?" Tanyanya.
"Ah, bosen masa disuruh ngapalin kunci mulu."
"Ya emang gitu Ribeeet, emang lo maunya gimana."
"Ya langsung praktek gitu, Bang."
"Lah, songong."
"Nggak mau tau pokoknya ajariin." Karin menarik kaus abangnya.
Ardi beranjak duduk, "yaudah, tapi bikinin gue teh manis," ucapnya kemudian menuruni ranjang. "Gue tungguin di belakang," tambahnya lagi setelah mengambil gitar di dalam lemari.
Karin berseru senang, melesat ke dapur untuk membuat dua minuman.
Gazebo yang terbuat dari bambu di taman belakang rumahnya itu adalah tempat faforit mereka berdua.
Karin memangku gitar dan mulai memetik asal, di hadapannya Ardi tertawa pelan.
"Gimana sih, Bang, susah banget."
"Ya susah kalo lo nggak tau kuncinya." Ardi mengarahkan jari-jari lentik Karin untuk meneka senar, membentuk sebuah kunci, "abis ini ganti jadi gini."
Karin mulai memetik gitar di pangkuannya, dan suara sember yang keluar malah membuat dia kesal, "jelek nih, gitarnya."
Ardi tertawa pelan, "sabar lah, Dek," ucapnya, kembali mengarahkan jari gadis di hadapannya menekan posisi yang benar, "kaku banget dah," omelnya dengan menyentil jari Karin hingga gadis itu mengaduh.
"Ih, sakiit, abang tuh yang nggak sabar ngajarinnya." Karin jadi mengomel. "abang aja yang main," tambahnya lagi dengan menyerahkan benda di pangkuannya itu pada abangnya.
Ardi menerimanya, "yaudah lo liatin dulu," ucapnya, mulai mencari posisi yang nyaman. "Lagu apaan?" Tanyanya kemudian.
Karin mulai berpikir, "lagu yang menggambarkan perasaan abang aja, buat Karin."
Kini gantian jadi Ardi yang berpikir, "lagu apa ya, virgoun aja."
"Yang judulnya apa, Bang?"
Ardi tersenyum, "bukti," jawabnya, kemudian mulai memetik benda di tangannya dengan santai.
"Memenangkan hatiku bukanlah satu hal yang mudah, kau berhasil membuat ku tak bisa hidup tanpamu."
Karin tertegun, bukan hanya karena abangnya yang begitu pintar memetik gitar, tapi suara pemuda itu juga ternyata bagus, dan Karin baru tau.
"Malah bengong, nyanyi dong." Ardi menghentikan petikan gitarnya untuk menjentikkan jari yang membuat Karin sedikit terlonjak.
"Karin nggak hapal, Bang. Kalo yang surat cinta untuk Starla Karin tau."
"Yaudah lagu itu aja, lo yang nyanyi."
"Barengan."
Ardi mengangguk, membuka hp untuk mencontek kunci gitar lagu tersebut.
"Kutuliskan kenangan tentang, caraku menemukan dirimu, tentang apa yang membuat ku mudah berikan hatiku padamu." Karin mulai melantunkan lagu, membuat pemuda di hadapannya itu tersenyum.
Ardi menyambung lagu tersebut, "takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu, kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini."
"Telah habis sudah cinta ini tak lagi tersisa untuk dunia, karena telah kuhabiskan sisa cintaku hanya untumu," seru keduanya.
Saat Karin masih melanjutkan nyanyiannya, Ardi malah menghentikan permainan gitar dan melipat kedua tangannya di atas benda yang ia pangku itu.
"Kenapa?" Tanya Karin yang bingung melihat pemuda di hadapannya itu memandanginya aneh.
"Lo sama Dewa gimana?" Tanya Ardi yang membuat Karin mengerjap gugup, pertanyaan mendadak itu membuat dirinya kelabakan. Dan hal itu tidak luput dari perhatian pemuda di hadapannya.
"Karin sama Dewa...."
"Cuman pura-pura." Ardi memotong ucapan Karin, dan membuat gadis itu mendongak.
"Kok abang tau si?" Tanyanya bingung, semakin bingung saat melihat abangnya itu tertawa.
"Gue cuma nebak."
Karin tertegun, "lah? Abang iiih," omelnya kesal, memukul lengan sang abang yang jadi kesakitan.
"Yaudah lo jadi cewek gue aja," ungkap Ardi yang membuat Karin terdiam, gadis itu menunduk, senyumnya tampak disembunyikan.
"Emangnya boleh?" Tanyanya ragu.
"Buat sekarang sih enggak, soalnya lo masih kecil."
"Terus? Kita pacarannya diem-diem."
Ardi tertawa pelan, "jangan pacaran deh ngomongnya, gue takut."
"Takut kenapa?"
"Takut nggak bisa ngontrol kalo deket lo."
Karin mengerutkan dahi, "ngontrol apa?"
Ardi menggaruk rambut kepalanya, bingung harus menjelaskan bagaimana. Pemuda itu meraih tangan Karin, menggenggamnya.
"Kita kaya biasa aja, nggak usah ada yang berubah."
Karin menarik tangannya, "tapi perempuan itu butuh kepastian, Bang. Cemburu kan juga harus punya alasan, kalo suatu saat abang deket sama cewek, masa Karin diem aja."
"Gue nggak bakalan deketin cewek lain, selain lo."
"Beneran?"
"Tapi lo juga jangan mau dideketin sama cowok lain."
Karin menyeringai senang, "janji?" Tanyanya dengan mengacungkan jari kelingking.
Ardi menyambut jari gadis itu, menautkan kelingkingnya, "janji."
**pesan**
Author: apa gue juga harus ngadain givaway kaya tetangga sebelah buat mendulang banyak poin? Misalnya bagi-bagi bapperware ibu Marlina gitu.
Dan kayaknya gue nggak sesempat itu, mon maap bukannya pelit ya, emang medit eh.
Nggak deh, gue tuh ya, udah bisa update aja udah alhamdulillah boro-boro mikirin gituan.
Gini aja, kalian suka ya vote, kalo nggak mau ya nggak apa apa nggak maksa.
Kitamah santuy aja, lagian gue nulis tuh karena hoby, bukan buat cari duit, tapi kalo emang dapet duit ya Alhamdulillah
Makasih buat kalian yg setia.
Kanjeng Ribet: kalo mau update tiap hari nggak bisa panjang panjang ya. Seribu kata lebih aja aku sanggupnya.
Kanjeng Rusuh: Tim pengumpul poin, semangat yaaa 😘😘😘😘