NovelToon NovelToon
Anak Kandung Yang Bangkit

Anak Kandung Yang Bangkit

Status: sedang berlangsung
Genre:Murid Genius / Mengubah Takdir / Keluarga / Idola sekolah
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: ariyanteekk09

"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.

Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 23

    

Dirga, dari balik kerumunan kantin yang ramai, menyaksikan pertengkaran sengit antara Senja dan Caca. Bukan balapan liar yang membuatnya terpesona, melainkan keberanian Senja yang tak gentar menghadapi hinaan dan cacian. Gadis itu membela diri dengan lantang, suaranya bergema di tengah hiruk pikuk kantin. “Selain jago balapan liar, ternyata cewek ini pemberani banget. Dia cocok jadi pasangan hidup gue,” gumam Dirga dalam hati, sebuah pikiran yang membuatnya tersenyum tanpa sadar.

Aldo, sahabat Dirga, memperhatikan senyum misterius itu. “Lo kenapa senyum-senyum, Bos? Jangan bilang lo suka sama Senja?” tanyanya, nada penuh curiga.

Dirga mengangguk. “Ya, dari awal gue lihat dia, entah kenapa gue tertarik sama cewek itu,” akunya jujur.

Rizal, sahabat mereka yang lain, menambahkan dengan nada khawatir, “Kayaknya Bos bakal susah deketin dia, deh. Dia punya kakak-kakak yang super protektif, lho.”

“Radit dan Galih? Tenang aja, gue berteman baik sama si kembar itu, kok,” jawab Dirga, meyakinkan teman-temannya.

Kedekatan Dirga dengan Radit dan Galih memang tak terlihat di sekolah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar lingkungan sekolah. Sementara itu, di sudut kantin yang lain, Caca pergi dengan perasaan malu dan dendam. Kebohongan tentang jati dirinya—bahwa ia bukan anak kandung keluarga Wijaya—telah terbongkar.

“Ini nggak bisa dibiarkan. Gue udah dipermalukan sama Senja… Awas lo, Senja! Gue bakal balas perbuatan lo ini!” Dendam membara di hati Caca.

Setelah kepergian Caca, suasana kantin kembali normal. Para siswa melanjutkan makan siang mereka yang sempat tertunda.

“Ayo, Dek, makan dulu baksonya. Udah dingin… Apa Kakak beliin yang baru lagi?” tanya Galih pada Senja, penuh perhatian.

“Gak usah, Kak. Ini masih bisa dimakan, kok,” jawab Senja, melanjutkan makannya.

Dina, gadis yang sebelumnya ikut menghina Senja, masih berdiri di dekat meja Radit dan Galih. Ia berharap Radit akan mengajaknya bergabung.

“Lo ngapain masih di sini? Sana pergi! Gue sama adik-adik gue mau makan,” usir Radit, ketus.

“Gue boleh gabung duduk di sini, nggak?” tanya Dina, dengan harapan yang mulai pudar.

“Gak sudi! Nggak tau diri banget lo jadi orang! Setelah ngehina adik gue, lo minta gabung? Mending sekarang lo cepat pergi dari sini sebelum gue marah!” bentak Galih, tegas.

Dina pergi dengan perasaan marah dan kecewa. Sekali lagi, ia ditolak oleh Radit. Namun, di tempat lain, benih-benih perasaan mulai tumbuh di hati Dirga untuk Senja, sementara dendam Caca semakin membara, siap memicu konflik baru.

     Nadira dan Dinda sengaja menjaga jarak, membiarkan Senja bersama kedua kakaknya dan Hendra. Kedua sahabat Senja itu memahami penderitaan yang dialami Senja, setelah mendengar cerita pilu lewat telepon tadi malam.

“Dra, gue harap setelah ini lo jangan kejar Senja lagi. Biarkan dia bahagia dengan yang lain saja,” ucap Dinda, suaranya lembut namun tegas.

Hendra mengangguk berat. “Kalian tenang aja, gue nggak akan kejar Senja lagi.” Janjinya terdengar tulus, meski ada sedikit kesedihan yang tersirat.

Mengejar Senja memang percuma. Restu orang tua tak akan pernah ia dapatkan. Untuk saat ini, Hendra memilih fokus pada sekolah dan menikmati kesendiriannya. Ia perlu waktu untuk menerima kenyataan pahit dan melepaskan Senja. Keputusan ini berat, namun demi kebaikan Senja dan dirinya sendiri, ia harus melangkah maju.

********

Mentari masih meninggi di langit M, cahaya teriknya menyinari gedung perkantoran tempat Rudy bertemu Liam. Udara terasa panas, tapi suasana di ruangan ber-AC itu tetap nyaman. Aroma kopi robusta masih terasa, mengingatkan Rudy pada kesegaran khas Lombok. Pembicaraan mereka mengalir ringan, hingga pandangan Rudy tertuju pada wallpaper ponsel Liam. Sebuah foto gadis remaja yang sangat mirip dengan Caca, mantan anak pungutnya, terpampang jelas.

"Liam, siapa cewek di HP lo itu? Kok mirip banget sama…," Rudy memulai, pura-pura tak mengenali.

Liam terkekeh, "Oh, ini? Sugar baby gue, Rudy. Namanya Caca. Masih SMA, tapi… hmm… dia cukup ahli dalam memuaskan." Liam tersenyum penuh arti, mengingatkan Rudy pada senyum licik yang pernah menghiasi wajah Caca dulu. Sinar matahari yang masuk melalui jendela seakan menerangi senyum itu, membuatnya terlihat lebih tajam dan mengancam.

"Masak anak seumuran itu udah… bisa kayak gitu? Berapa umurnya?" Rudy bertanya, sedikit terkejut. Ia merasakan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

"Enam belas, kalau nggak salah. Tapi dia kayaknya udah berpengalaman banget deh," jawab Liam santai. Ia menyesap kopinya, seolah-olah membicarakan hal yang biasa saja, sementara di luar, kehidupan kota Mataram terus berdenyut di bawah terik matahari.

"Seumuran sama Senja, putri gue. Dia juga enam belas, tapi nggak mungkin bisa kayak simpanan lo itu," kata Rudy, anak gue itu hobby nya balapan liar.

"Itu karena dia belum ketemu yang tepat aja, Rudy," Liam menyahut, "Caca? Dia punya bakat alami, katanya dari kecil udah terbiasa. Gue aja sampai…" (Liam berbisik, menceritakan detail yang terlalu vulgar untuk dituliskan).

Rudy tersentak kaget dengan penuturan Liam ternyata selama ini sudah tertipu dengan muka polos caca dan semua yang senja tunjukkan memang benar adanya.

" putri saya gadis yang cerdas jadi dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu apalagi darah nya mengalir darah keluarga Wijaya

Rudy terdiam. Cahaya matahari yang menyinari ruangan seakan menyoroti kesenjangan antara dua gadis dengan usia yang sama namun dengan pengalaman hidup yang sangat berbeda.

Pertemuan singkat dengan Liam siang itu meninggalkan jejak pertanyaan yang menggantung di hatinya. Apakah ia telah melakukan yang terbaik untuk melindungi Senja dari dunia yang kejam? Apakah ia telah memberikan Senja pondasi yang cukup kuat untuk menghadapi godaan-godaan yang mungkin datang? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menyertai langkah kakinya saat ia meninggalkan kantor, menuju rumah,

Sepanjang perjalanan pulang, ucapan Liam masih bergema di telinga Rudy. "Bakat alami... dari kecil sudah terbiasa..." Kata-kata itu menusuk hatinya seperti duri. Ia bersyukur Caca sudah tidak tinggal lagi di rumahnya. Bayangan wajah Caca yang dulu kurus dan penuh luka, kini bercampur dengan bayangan wajahnya yang lebih dewasa, lebih berani, dan mungkin, lebih… terluka.

Rudy mengerem mobilnya di depan rumah. Rumah yang sama yang pernah menjadi tempat berlindung bagi Caca, yang kini menjadi tempat tinggal Senja, putrinya yang masih lugu dan polos. Melihat Senja bermain di halaman, berlarian dengan riang, Rudy merasa lega sekaligus was-was. Lega karena Senja masih terjaga kepolosannya, was-was karena ia tahu dunia luar tidak selalu seindah taman bermain di depan rumahnya.

Ia keluar dari mobil, langkahnya terasa berat. Bayangan Caca dan Senja terus berputar dalam pikirannya, dua gadis dengan usia yang sama, tapi dengan nasib yang sangat berbeda. Ia harus lebih berhati-hati, lebih melindungi Senja. Ia harus memastikan Senja tidak akan mengalami nasib yang sama seperti Caca.

Rudy menghampiri Senja, menariknya ke pelukan. Aroma tubuh Senja, aroma anak perempuan yang masih polos dan bersih, menenangkan hatinya. Ia berjanji pada diri sendiri, akan selalu ada untuk Senja, akan selalu melindunginya dari dunia yang kejam dan penuh godaan. Ia akan menjadi benteng pertahanan bagi Senja, agar ia tidak terjerumus ke dalam jurang yang sama seperti yang pernah dialami Caca.

Tetapi, di balik rasa syukurnya karena Caca sudah tidak tinggal bersamanya, tersimpan juga rasa sesal. Apakah ia telah melakukan yang terbaik untuk Caca? Apakah ia telah memberikan Caca perlindungan dan kasih sayang yang cukup? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, mengingatkannya pada tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, tidak hanya untuk Senja, tapi juga untuk semua anak yang membutuhkan perlindungan. Pertemuan dengan Liam telah membuka matanya akan realita yang keras, dan ia bertekad untuk lebih peka dan lebih peduli terhadap anak-anak di sekitarnya.

1
Rita Rita
bagus senja,bikin kehidupan si Caca rubah betina itu gelap,kalo pun bukan untuk melakukan buat keluarga mu yg bego itu buat untuk diri mu sendiri.
Rita Rita
ku kira tadi si ChaCha rubah betina itu anak hasil selingkuhan si Rudi 🤔🤔🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!