Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 : MENYUSAHKAN KITA
Cahaya jingga di ufuk barat mulai meredup, menyisakan bayang-bayang panjang di dinding kamar yang kusam. Aku terbangun dengan mata sembab dan kepala yang berdenyut hebat. Lelah menangis adalah jenis kelelahan yang paling menguras tenaga.
Aku menatap langit-langit, memikirkan betapa beruntungnya Mas Reyhan. Ia sempat mencicipi bangku kuliah dan kini memiliki pekerjaan yang mapan. Dulu, hidup kami tak sekelabu ini.
Ayah punya posisi bagus di perusahaan asing, sampai suatu hari ia dipecat tanpa pesangon—sebuah misteri yang tak pernah ia jelaskan hingga hari ini.
Sejak itu, roda hidup kami patah. Mas Reyhan menjadi tulang punggung, Ibu membanting tulang di kios sayur, sementara Ayah... Ayah lebih memilih menghamburkan sisa harga diri dan uang Ibu di atas meja judi.
“Ashilla...” Suara Ibu terdengar serak di balik pintu.
Aku bergeming. Rasanya seluruh badanku sakit, seolah habis dipukuli kenyataan.
“Shilla, sudah jam lima sore. Bangun, Nak. Apa kamu tidak bekerja hari ini? Makan dulu,” panggil Ibu lagi.
“Iya, Bu. Aku sudah bangun,” sahutku parau.
Aku beranjak, memutar kunci pintu yang sengaja ku kunci rapat. Saat pintu terbuka, Ibu berdiri di sana dengan nampan di tangan. Matanya yang kelelahan mencoba mengirimkan senyum yang dipaksakan.
“Mau mandi dulu atau makan?” tanyanya sambil melangkah masuk.
“Makan dulu, Bu. Aku lapar sekali.”
Perdebatan panas dengan Mas Reyhan tadi siang memang menguras seluruh energiku. Begitu melihat menu di piring, mataku sedikit berbinar. “Cumi hitam?”
Aku menyuap dengan rakus. Rasa gurih dan pedas itu sempat membuatku lupa sejenak pada luka di hati. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa kunyahan.
“Shilla... maafkan Ibu. Apa kamu sudah gajian?” Suara Ibu bergetar. Senyumnya hilang, digantikan garis-garis kecemasan yang mendalam.
Aku menghentikan gerakan sendokku. “Hari ini harusnya gajian, Bu. Tapi sepertinya cair besok. Ada apa?”
Ibu menunduk, meremas ujung daster kusamnya. “Ayahmu... Ayahmu sekarang di penjara, Nak.”
Dunia seakan berhenti berputar. Cumi hitam di mulutku mendadak terasa hambar, bahkan sulit untuk kutelan.
“Ibu tidak bercanda, kan?”
“Tidak, Shilla. Jam dua dini hari tadi, polisi menjemputnya. Kasus narkoba.”
Jantungku mencelos. “Narkoba? Ayah?”
“Dia bilang dia dijebak teman nongkrongnya. Katanya Cuma disuruh mengantar paket dengan bayaran lumayan. Tapi isinya ternyata barang haram itu,” tangis Ibu mulai pecah.
“Ibu sudah tanya Pak RT, katanya kalau mau Ayah bebas, harus ada uang jaminan.”
Ibu menggenggam tanganku kuat-kuat. Genggaman yang penuh keputusasaan. “Mas Reyhan sudah memberi lima juta. Tapi jaminannya sepuluh juta, Shilla.”
Aku tertawa getir di dalam hati. “Bu, gajiku hanya tiga juta sebulan. Itu pun untuk makan kita semua.”
“Maafkan Ibu, Nak... Maafkan Ibu...” Ibu terisak, bahunya berguncang hebat. Melihat Ibu hancur seperti ini jauh lebih menyakitkan daripada berita penangkapan Ayah.
Sejujurnya, aku tidak kaget Ayah ditangkap. Ini yang kedua kalinya. Dulu judi, sekarang narkoba. Ayah tidak pernah belajar. Ayah selalu menjadi badai yang menghancurkan rumah yang susah payah kami bangun.
“Kenapa sih Ayah selalu menyusahkan kita, Bu? Harusnya dulu Ibu setuju waktu Ayah minta cerai,” ucapku dingin. Kalimat itu tajam, aku tahu itu melukai Ibu, tapi dadaku sudah terlalu sesak.
“Jangan bicara begitu, Shilla. Ibu hanya takut... Ibu takut hidup kalian kacau kalau kami berpisah. Terutama kamu, kamu anak perempuan, Nak. Kamu butuh wali untuk menikah nanti.”
Aku memalingkan wajah. Wali? Aku punya Ayah secara biologis, tapi jiwanya tak pernah ada untukku. Dia hanya ada saat butuh uang, atau saat ia tertimpa masalah. Namun, melihat wajah Ibu yang hancur, aku tak tega untuk terus menghujat.
“Aku akan cari sisa lima jutanya. Ibu jangan menangis lagi,” ucapku sambil menghapus air mata di pipi keriputnya.
Ibu memelukku erat. Badanku gemetar. Di dalam pelukan itu, aku tidak merasa hangat, aku justru merasa memikul beban yang sangat berat.
Setelah Ibu keluar membawa piring kotor, aku terduduk lemas. Lima juta. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam semalam?
Aku meraih ponsel. Layarnya penuh notifikasi. Ada pesan dari Zunai, dan beberapa dari... Mas Rifal.
Aku menarik napas panjang, lalu menekan tombol panggil.
“Halo?” Suara berat Mas Rifal menyahut di seberang sana.
“Mas... nanti lembur?” tanyaku, mencoba menormalkan suara.
“Tidak. Ada apa, Shill?”
“Bisa ketemu jam delapan malam nanti di warung dekat pabrik? Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Jam delapan? Masuk shift kita kan jam sebelas. Kenapa mendadak sekali?” Nada suaranya berubah curiga.
“Penting, Mas. Tolong, jangan telat ya. Aku tunggu.”
Aku menutup telepon sebelum ia sempat bertanya lebih jauh. Malam ini, aku akan menggadaikan harga diriku, atau mungkin masa depanku, demi lelaki yang bahkan tak pernah menganggap ku ada.
...****************...
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,